Semarak Merdeka Belajar~ Revolusi industri 4.0 yang sebentar lagi akan bergeser pada pembangunan 5.0 berhasil memodernisasikan segala lini kehidupan manusia. Tak tanggung-tanggung, gawai dan internet saat ini menjadi kebutuhan primer untuk segala usia dalam rangka "menyambung hidup", baik untuk mencari nafkah hingga mencari jati diri individual. Ketergantungan penggunaan gawai dan internet ini tentunya memiliki sisi positif dan negatifnya, namun sayangnya dikalangan pelajar hal ini lebih banyak mengundang bencana di dalamnya. Dalam hal internet, game online dan sosial media salah satunya. Memang jika kita berpikir positif tentunya hal ini tidak menimbulkan dampak buruk dan jika dimanfaatkan "hanya" sebatas hiburan semata, namun apalah daya saat ini pelajar kita sangat disibukkan dan seakan-akan menjadi pecandu dengan hadirnya game online dan media sosial.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Jap, Tiatri, Jaya, dan Suteja pada tahun 2013 mengungkapkan bahwa 10,15% remaja di Indonesia terindikasi mengalami kecanduan game online. Artinya, 1 dari 10 anak di Indonesia terindikasi mengalami kecanduan game online. Fenomena kecanduan game online ini tentunya akan semakin meluas dan semakin memprihatinkan seiring dengan bertambahnya jumlah remaja yang menjadi pecandu game online. Bukan hanya mengenai game online, tetapi sosial media pun menjadi tantangan yang sangat besar untuk ditaklukkan di kalangan remaja bahkan pelajar. Pada tahun 2017, Asosiasi Penyelenggara Jaminan Internet Indonesia (APJII) merilis hasil survei mengenai penetrasi dan perilaku pengguna internet di Indonesia. Hasil survei menunjukkan terjadi peningkatan pengguna internet di Indonesia yaitu mencapai 143,26 juta jiwa dari total populasi penduduk Indonesia yang berjumlah 262 juta jiwa. Artinya sebanyak 54,68% penduduk Indonesia telah terpapar dengan internet. Rilisan hasil survei APJII pada tahun 2017 tersebut juga menunjukkan beberapa hasil penting diantaranya, data menunjukkan bahwa penetrasi internet pada kategori usia 13-18 tahun mencapai 75,50%, dan penetrasi internet pada kategori usia 19-34 tahun mencapai 74,23%, hal ini menjelaskan bahwa data penetrasi internet di kalangan penduduk usia muda lebih tinggi dibandingkan dengan penetrasi internet pada kategori usia lebih tinggi. Selanjutnya, jika dilihat dari perangkat yang sering digunakan, tampak bahwa sebagian besar penduduk (83.44%) menggunakan gawai (smartphone dan tablet) pribadi dibanding menggunakan komputer/ laptop dan perangkat lainnya untuk mengakses internet. Hal ini memberikan gambaran kepada kita betapa tingginya penggunaan gawai dan internet di kalangan generasi muda yang pada umumnya adalah pelajar.
Penggunaan gawai dan internet di kalangan para pelajar ini ternyata berbanding terbalik dengan budaya yang dulunya berusaha dihidupkan oleh berbagai institusi, yakni budaya literasi. Bahkan penggunaan gawai dan internet berhasil menggeser budaya literasi siswa, akibatnya angka literasi di Indonesia sangatlah rendah. Pada riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Botswana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Selain itu, pada tahun 2018 Program for International Student Assessment (PISA) merilis data bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-72 dari 78 negara peserta survei tes kompetensi PISA. Data menunjukkan bahwasanya kemampuan membaca siswa Indonesia adalah yang terendah dibanding kemampuan dalam bidang matematika dan sains. Merujuk pada Skor PISA bahwa nilai kemampuan membaca siswa Indonesia adalah 371, tertinggal 116 poin dari rata-rata negara lain yaitu 487. Nilai kemampuan Matematika sebesar 379, lebih rendah 110 poin dari nilai rata-rata negara lain yaitu 489. Sedangkan nilai sains adalah 396, lebih rendah 93 poin dari nilai rata-rata PISA sebesar 489. Bahkan pada tahun selanjutnya, yakni pada 2019 survei serupa dari Program for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh OECD, menempatkan Indonesia sebagai bagian dari 10 negara yang memiliki tingkat literasi rendah, di peringkat 62 dari 70 negara yang menjadi peserta survey..
Hal ini tentunya menjadi tantangan besar bagi kita semua terkait dengan bagaimana cara menghidupkan kembali kebiasaan berliterasi di kalangan para pelajar kita di tengah-tengah gempuran "wabah" gawai dan internet di era saat ini. Menurut UU nomor 3 tahun 2017 pasal 1 ayat (4) tentang Perbukuan menyatakan bahwa: “Literasi adalah kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya.” Dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, literasi merupakan kemampuan dan keterampilan individu dalam berbahasa yang meliputi membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah tentunya telah menghadirkan berbagai macam regulasi dan program terkait penguatan literasi pada masyarakat dan lebih khususnya adalah pelajar. Untuk membangun budaya literasi bangsa, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sedikitnya delapan payung hukum yang terkait diantaranya adalah:
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 5;
Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan pasal 48 ayat 1;
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan pasal 1 dan 36;
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2014 tentang pelaksanaan UU nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan pasal 74;
Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti bagian VI;
Standar Nasional Perpustakaan Nasional 2017;
Panduan gerakan literasi nasional tahun 2017;
SK Dirjen Pendis Kementerian Agama nomor 511 tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah.
Selain itu, program pembudayaan kegemaran membaca dalam keluarga melalui fasilitas buku murah dari pemerintah sudah bisa dirasakan sejak tahun 2008 silam. Melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah secara bertahap telah membeli hak cipta (Copyright) penulis buku teks pelajaran dari mulai tingkat SD sampai tingkat SLTA. Setelah membeli dan memeriksa isi, pemerintah selanjutnya mengunggah soft file buku tersebut di website kemendikbud. Masyarakat boleh mencetak, menggunakan, dan memperjualbelikan dengan catatan harus sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi yang tercantum di cover belakang buku. Namun sayangnya, program ini pun masih belum bisa mendongkrak kegemaran membaca pada kalangan usia muda kita karena dinilai terlalu monoton.
Dari masalah inilah yang melatarbelakangi hadirnya program Limit In Dilation yang merupakan singkatan dari Literasi Lima Menit In Digital Innovation. Inovasi ini adalah pembaruan dari cara berliterasi siswa yang pada awalnya menggunakan buku digantikan melalui gawai dan media internet. Bukan hanya berliterasi dengan e-book akan tetapi media sosial pun dapat menjadi bahan dalam meningkatkan budaya literasi. Hal ini tentunya sejalan dengan budaya modern yang sedang trend dikalangan usia muda yang lebih didominasi oleh pelajar, di mana gawai, internet dan literasi bergerak bersama dalam menumbuhkan budaya literasi pada siswa. Program ini dilaksanakan dengan:
Literasi lima menit dilaksanakan sesaat sebelum kelas pembelajaran dimulai;
Bahan literasi diperoleh secara individu oleh masing-masing pelajar melalui gawai dan internetnya, bukan hanya berpaku pada e-book semata, namun bahan literasi bisa diakses dari platform manapun baik dalam bentuk tulisan, gambar, maupun video pembelajaran;
Durasi membaca informasi hanya lima menit, setelah durasi selesai para pelajar diharapkan untuk mampu menyimpulkan apa yang telah dia baca dan mendapatkan nilai tambahan dalam hal ekstra kurikuler;
Pelajar dengan bahan literasi yang melebihi batas yang ditentukan, kreatif, dan inovatif, dalam satu semester berhak mendapatkan reward atas pencapaiannya;
Bukti penilaian terdapat dalam jurnal literasi yang dipegang oleh pelajar dan guru.
Program ini tentunya dinilai lebih efektif dari kegiatan literasi sebelumnya, karena lebih mengikuti perkembangan teknologi yang sedang marak dijalankan oleh para pelajar. Selain itu, dengan mendapatkan nilai tambahan dan juga reward untuk mereka yang berhasil menyelesaikan program ini dalam semester tersebut tentunya akan lebih memotivasi siswa berlomba-lomba untuk mencapai target yang telah ditentukan. Selain menumbuhkan budaya literasi, program ini memiliki beberapa tujuan lainnya, yakni:
Buka Gawai Agar Pandai
Di mana dengan menggunakan gawai pelajar diharapkan mampu menggunakan teknologi secara tepat guna, bukan hanya menggunakannya untuk bermain game online ataupun sibuk bersosial media julid sana julid sini, akan tetapi digunakan pula dalam hal meningkatkan daya berpikir kritis dan menalar dalam suatu masalah.
Dengan Gawai Kita Peduli Sesama
Melalui gawai pelajar diharapkan mampu menumbuhkan rasa empati pada sesama.
Dengan Gawai Kita Tambah Ilmu Pengetahuan
Dimana dengan menggunakan gawai secara tepat sasaran, kita tidak hanya mendapatkan kabar mengenai realitas kehidupan, namun juga kita dapat menambah ilmu pengetahuan.
Dengan Gawai Kita Belajar
Dimana pelajar juga bisa memanfaatkan gawai untuk belajar dan berliterasi sebagai bagian dari kemerdekaan dalam belajar.
Modernisasi Cara Belajar Agar Nyaman Saat di Kelas
Belajar dengan cara "itu-itu saja" tentunya akan membuat pelajar suntuk saat di kelas, namun dengan memanfaatkan gawai yang sedang trend tentunya lebih membuat para siswa bersemangat dalam mengikuti pembelajaran.
Kedepannya, program ini perlu dikembangkan secara meluas, bukan hanya dalam lingkup belajar saja, namun bisa diterapkan pada masyarakat umum di luar sekolah. Hal ini sejalan dengan data yang terus dikeluarkan bahwasanya pengguna gawai dan internet di Indonesia sangat tinggi, namun tingkat literasinya begitu rendah. Selain itu berbagai macam program pemerintah dihadirkan namun tidak juga berhasil mendongkrak budaya literasi bangsa. Sehingga diperlukan inovasi yang menggabungkan antara program literasi dan digital yang bisa berjalan bersama.
Di akhir tulisan ini, penulis berharap seluruh elemen masyarakat berkenan untuk terlibat dalam program ini. Penulis yakin, jika seluruh elemen berpartisipasi aktif, maka permasalahan mengenai literasi dan penyalahgunaan teknologi bisa kita hadapi bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H