Mohon tunggu...
Azeez Siul
Azeez Siul Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswa fakultas hukum universitas andalas padang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Segelas Kopi Penuh Rahasia

4 Oktober 2017   14:04 Diperbarui: 4 Oktober 2017   14:05 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Segelas kopi hitam buatan Ningsih, kuseruput pelan-pelan di beranda rumah. Dihidangkan dengan gelas keramik besar. Hangat, nyaman sekali kalau digenggam dengan kedua tangan. Pagi serasa lengkap kalau sudah meminum kopi buatannya. Rasanya persis kopi buatan almarhumah ibuku. Sambil bertengger diatas kursi rotan berdudukan karet ban, kuletakkan lengan kiriku di pagar kayu setinggi pinggang yang mengelilingi beranda rumah kami. Di sebelah punggungku terbentang sawah yang luas hingga rumah peninggalan ibuku. Sekarang ditempati adikku dan suaminya. Di sebelah kiriku ada sebuah kolam kecil. Isinya tiga ikan Koi besar. Di atasnya kubuat semacam ornamen dari semen yang dialiri air. Kalau dilihat dengan mata sedikit dipicingkan sekan itu adalah air mancur tiga tingkat.

Tadi aku membersihkan ketiga kolam ikan kami dari sampah. Kolam ikan gabus yang disamping sawah, pagi itu arinya keruh. Mungkin kemasukan biawak. Aku sudah berkali-kali memburu mereka. Rumpun-rumpun padi yang sudah terpotong waktu panen tempo hari sudah ditumbuhi tunas-tunas hijau. Warnanya indah, kuning kecokelatan berkolaborasi dengan warna hijau muda dari tunas padi dan rumput.

Pagi itu aku ditemani Bembi, kucingnya Aslina. Dia bertengger di atas pagar beranda. Dia mengeong halus dan memaju mundurkan kepalanya. Matanya melihat ke arahku, minta dagu dan lehernya dielus. Ku ulurkan tanganku kiriku, dagunya secara spontan dielus-eluskannya sendiri ke jari-jari tanganku. Sampai ku nyalakan sebatang rokok kretek, dia melompat masuk rumah. Dia meninggalkanku. Dia tidak suka bau asap rokokku. Seakan dia memberikan isyarat "Pak! asap rokok tidak baik untuk kesehatan!".

Ningsih mengeluarkan sepeda motornya dari ruang tamu dan memanaskan mesinnya di halaman rumah.  Bau asap kenalpotnya menusuk hidungku. Baunya tidak enak, mungkin seperti ini yang dirasakan kucing tadi. Dia kemudian mengambil sapu dan membersihkan lantai dari jejak bekas ban sepeda motornya. Dari tadi dia diam saja, biasanya kalau sudah panaskan sepeda motor dia selalu minta diangkatkan barang daganannya ke atas motor. Sejak kejadian itu dia berubah lebih baik kepadaku. Kembali seperti awal-awal kita menikah dulu. Dia juga menjadi jauh lebih memperhatikanku dan Aslina. Sudah hampir sebulan dia begini.

Walaupun tidak dimintanya, kuangkat sebuah kotak plastik besar tempat kue-kue daganganya dari atas meja dapur dan kuikatkan ke atas jok sepeda motornya. Berbagai kue basah, onde-onde, dan roti goreng ada di dalam kotak plastik besar itu. Dia sudah memisahkannya dalam kotak-kotak plastik kecil. Siap didistribusikan ke beberapa kedai langganan. Setelah berkeliling ke kedai-kedai langganan, biasanya dia akan pulang sebelum siang dengan bahan masakan dan keperluan memasak kue untuk besok hari.

Setiap hari senin Aslina selalu membonceng dengan Ningsih istriku. Sejak naik kelas empat, anak kami satu-satunya ini sudah menjadi petugas upacara bendera di sekolahnya. Hari ini dia harus berangkat sekolah lebih pagi. Kalau di hari lain, dia biasanya ikut denganku. Sekarang dia sudah kelas enam SD. Katanya minta dibelikan sepeda. Aku belum mengabulkan. Panen ikan gabus masih sebulan lagi. Panen padi hanya cukup untuk makan. Gajiku sebagai PNS di kantor desa pun hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Setelah berpamitan, mereka berangkat. Aku kembali duduk di atas singgasanaku. Kuhirup kembali kopi buatan Ningsih. Enaknya sudah berkurang, sudah agak dingin. Kunyalakan kembali rokok kretekku yang masih separo. Kuhisap dalam-dalam, nikmat sekali.

Pandanganku tertuju pada pot bunga dari karung goni yang baru ini ku ganti. Aku dan Ningsih menanam berbagai macam bunga diantara kolam ikan gurame dan rumahku. Aku jadi teringat pot bunga di bawah jendela kamar tidurku dan Ningsih yang rusak tempo hari. Seseorang seperti sudah menginjaknya dengan keras.

Selain pot bunga yang rusak, juga ada bekas lumpur di dinding kamar. Bentuknya seperti tapak sandal orang dewasa. Aku berasumsi, pelakunya adalah orang yang sama. Aku telah menyikatnya dan membersihkannya dengan air.

Beberapa bulan yang lalu Sandi kembali ke Desa Pucuk Nipah ini. Sebelunya dia tinggal di kota pulau seberang. Membuka bengkel dan berjualan onderdil sepeda motor. Belum lama ini, dia bangkrut dan bercerai dengan istrinya. Dia kemudian balik kampung dan jadi montir di Bengkelnya pak Amat di dekat pasar.

Sekembalinya Sandi ke desa kami, banyak hal aneh yang terjadi pada hubunganku dan Ningsih. Pernah suatu malam, saat kami baru menyelesaikan tugas rutin kami, dia langsung tidur. Katanya capek, dan harus bangun pagi untuk masak kue. Kalau sebelumnya, dia malah selalu menyemangatiku, lagi dan lagi. Kejadian itu berlanjut hingga beberapa bulan. Walaupun begitu aku tetap menyayanginya. Setiap gajian, tetap ku beri uang belanja bulanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun