Mohon tunggu...
Mawar Andini
Mawar Andini Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bungkam Seribu Bahasa Pasca Revisi UU ITE?

2 Desember 2016   05:28 Diperbarui: 2 Desember 2016   13:37 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang menerapkan sistem right to be forgotten atau yang dimaksud dengan hak untuk dilupakan dengan menghapus konten informasi elektronik. Hak untuk dilupakan ini sudah didiskusikan sejak tahun 2006 di Uni Eropa dan Argentina.

Perbincangan hak ini sendiri muncul seiring revisi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang lantas lebih dikenal sebagai UU ITE.  

Menyoal hal ini, saya akui muncul pertanyaan yang mengganjal jika tak dikemukakan: sebenarnya untuk apa hak ini diajukan seseorang? Apakah untuk menghilangkan rekam jejak para ‘si pemilik nama’ kah?

Tentu di luar sana banyak pandangan menyoal hal ini. Mungkin terkait hak asasi atau lebih menyangkut urusan personal. Biarlah hal itu membuka ruang diskusi lebih luas.

Namun menurut saya, pengajuan hak untuk dilupakan perlu mencermati hal ini: semua yang sudah diberitakan dan bahkan tersebar luas ke masyarakat, tidak akan luput dari ingatan dan sudah otomatis terekam di masing-masing memori masyarakat.

Awak Media

Isu lain yang mengemuka di balik adanya revisi UU ITE tersebut adalah kekhawatiran pada para awak media. Lantaran, UU tersebut dinilai dapat membatasi para jurnalis memberitakan suatu isu aktual yang sedang terjadi. Bukan hanya awak media saja tapi juga berimbas pada masyarakat.

Pasalnya, ada beberapa fokus dari right to be forgotten, seperti tentang penyebarluasan informasi melalui media jurnalistik online dan penyebarluasan informasi melalui media online non-jurnalistik. Di sinilah penafsiran bisa ditarik kesana-kemari. Banyak kawan yang concern pada hal ini menyebutnya: pasal karet.

Masalah lainnya ialah jika ada pihak-pihak yang merasa menjadi korban lantaran ditimpa serangan fitnah dan pencemaran nama baik.

Dalam pencemaran nama baik seharusnya tidak seharusnya diatur dalam hukum tindak pidana, melainkan di bawah hukum perdata karena serangan berupa nama baik itu tertuju pada individu.

Merunut beberapa (atau banyaknya) persoalan di atas, tak disadari ternyata masih lumayan juga pekerjaan rumah terkait UU ITE. Jika menilik semangatnya, saya akui UU ITE dibuat memang atas dasar tujuan baik untuk melindungi masyarakat dari maraknya kejahatan di era digital dan juga hiruk pikuknya media sosial.

Sayangnya, UU ITE ini mungkin bisa saja disalahgunakan untuk hal-hal yang dikaitkan dengan pembungkaman atas kasus yang menyangkut pada para pejabat. Ini yang tidak kita harapkan.

Seharusnya para penegak hukum memahami lebih dulu filosofi UU-ITE agar tidak terseret kepentingan penguasa, jangan karena hal tersebut justru membuat masyarakat bungkam seribu bahasa dan kehilangan haknya sebagai warga negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun