Itu semua adalah tujuan dan manfaat saya mengajari siswa-siswi tingkat SD di Kelas Jurnalistik. Tapi bukti konkritnya pun saya punya. Sistem metode pengajaran saya ada dua; Pertama, teori dan Kedua, praktek.
Teorinya saya memberikan dorongan dan motivasi pada mereka lebih dulu. Memberitahukan manfaat dari membaca khususnya dan pada umumnya menerangkan bagaimana menulis yang baik itu sesuai modul yang saya buat sendiri. Prakteknya memberikan mereka untuk menceriterakan kembali buku yang telah dibaca dengan cara merangkum layaknya resensi buku, mengadakan workshop kepenulisan dan bedah buku, berkunjung ke pameran buku, bekerjasama dengan media massa atau penerbit dan juga komunitas pecinta buku lainnya. Hal ini pun sudah saya agendakan dalam kegiatan ajar-mengajar saya di Kelas Jurnalistik.
Walaupun pertama-tama saya mengajari di kelas tersebut. Tidak serta merta mudah seperti membalikkan telepak tangan mengajari mereka. Apalagi sudah saya katakan tadi di atas jika sekolah itu tidak ada perpustakaan dan minat baca pun minim. Itu sudah menjadi tantangan buat saya.
Karena apa? Saya harus membuka pikiran dan pemahaman (mindset) mereka dulu. Bukan mereka harus menjadi saya atau harus bisa apa yang saya ajarkan. Bukan itu! Tapi saya harus bisa memberikan dorongan  dan motivasi dulu. Tak lain manfaat dari membaca buku.
Membaca itu asyik. Membaca itu menghibur dan mendapatkan wawasan. Karena buku adalah jendela dunia. Itu saja dulu saya membuka pikiran mereka. Tidak langsung duduk tenang di bangku, matanya mengarah ke depan papan tulis dan menyimak apa yang saya terangkan. Tentu mereka belum tentu siap. Sebab, di antara mereka pun ada juga yang masih asing membaca apalagi dengan ilmu jurnalistik sekolah.
Jika hal itu sudah saya sumpali ke mereka tentang segala macam seluk beluk mana bacaan yang enak dibaca dan asyik, bagaimana menulis yang baik serta bagaimana cara membuat laporan jurnalistik. Alih-alih bisa jadi mereka ingin cepat pulang dari kelas sebelum waktu mengajar saya usai. Lalu sesampai di rumah langsung mengambil gadget mereka dan bermain CoC (Clash of Clans) dan DotA2 (Defense of the Ancients). Game yang ada di aplikasi gadget yang sangat begitu booming dan disukai anak-anak saat ini. Konon game tersebut diklaim sebagai game android terbaik sepanjang masa.
Itulah gambar yang sebenarnya terjadi saya alami. Jika kita sebagai guru tidak bisa ‘mengambil hati’ anak-anak didik kita agar mereka mempunyai dorongan minat untuk membaca, maka itu  adalah  ‘PR’ (Pekerjaan Rumah) besar kita.  Jika nanti belum berhasil juga ya harus bisa diupayakan lagi agar bagaimanapun minat baca harus membuat menarik mereka.
Kenapa bisa begitu? Sebab budaya baca memang belum pernah diwariskan oleh nenek moyang kita. Kita hanya terbiasa mendengar dan belajar dari berbagai dongeng-dongeng atau kisah-kisah budi pekerti yang menghibur secara verbal (mulut) dari orangtua.
Anak-anak hanya didongengi secara lisan. Tidak ada pembelajaran secara tertulis. Jadi tidak terbiasa mencapai pengetahuan dan wawasan melalui bacaan. Dan inilah lagi-lagi tanggungjawab besar kita semua, terutama guru di sekolah khususnya dan orangtua wali murid pada umumnya di rumah agar budaya membaca bisa menjadi oase di tengah gempuran game online yang semakin marak saat ini.
Budaya membaca? Ayo mulai dari sekarang![]
Â