Ini tentang aku, bukan kamu. Jadi duduklah diam menyimak apa yg ingin aku beri tau. aku tau, tidak mudah untuk menjadi seorang pendengar jika ada yg bercerita. tapi bisakah diam sejenak untuk menyimak ceritaku?
Ini tentang aku, lahir dari keluarga suku Banjar Kaltim Samarinda. Banjar itu terletak di Kalimantan Selatan, tapi aku tidak pernah kesana. Aku pria Banjar yg lahir di Kaltim Samarinda. Dan sampai detik ini, aku pun belum tau pasti apa itu Banjarmasin Kalsel, bagaimana kota Banjarmasin tempat asal usul orangtuaku. Bukan aku tak mau, atau orangtuaku tak mengijinkan. Tapi aku tak bisa kesana, aku tak bisa melangkah jauh dari rumah. Aku tak bisa meninggalkan orangtua dan saudara-saudaraku. Mau tau alasannya? Diamlah, sedikit lagi aku lanjutkan ceritaku.
Ini tentang aku, jangan protes jika aku selalu mengulang kata-kata itu. Karena ini semua tentang diriku. Aku yg selalu melayani orangtua dan saudara-saudaraku. Dan juga pamanku yg terkurung di lantai bawah memang ruangan disediakan khusus untuknya. Ketika umurku mencapai 24 tahun, barulah aku tau kalau pamanku itu ada di lantai bawah rumahku. Dan saat umurku 24 tahun pula, aku mengetahui pamanku itu belum merasakan sinar matahari menyirami tubuh selama hidupnya. Kulitnya putih bersih karena ibuku sering ke lantai bawah merawat paman yg dulunya ku fikir ibu membereskan apa yg berantakan dibawah sana. Orangtuaku mungkin malu mendaftarkan paman kedalam kartu keluarga. Paman sungguh tidak ada di lingkunganku. Tidak ada yg tau paman selain kami yg ada dirumah itu. Paman pun tak pernah mengeluarkan suara keras yg membuat tetangga curiga. Semua tertutup rapi seperti menyembunyikan sebuah contekan ketika aku sekolah. Pernah aku kebawah dikenalkan oleh ibuku, paman menatapku cukup lama sekali, begitupun aku. Kami seperti sepasang kekasih bertatap mata melepas kerinduan karena lama tak berjumpa. Paman bingung, aku pun bingung. Aku heran apa yg terjadi dengan pamanku, dan dia juga heran aku baru saja tau kalo ada pamanku di lantai bawah.
Ini tentang aku, “ah bosan aku! Tentang aku, tentang aku terus!” salah satu kawanku memprotes. Aku diam, kutundukan kepalaku agar maksud mereka iba dan membiarkan aku meneruskan cerita tentang diriku. Dan berhasil, kawanku yg lain berkata “kamu diam! Biar dia bercerita saja, apa salahnya kita sejenak mendengarkan”. Aku mengambil singkong goreng yg sudah mulai dingin karena dibiarkan, ku gigit dengan gigiku untuk membentuk ukuran lebih kecil agar muat dalam tenggorokanku. Aaah, nikmat sekali singkong ini. Setiap kunyahan yg ku kunyah memerankan rasanya. Manis dan lembut. Alangkah indahnya, jika hidupku seperti rasa singkong goreng ini. “bolehkah aku melanjutkan?” tanyaku kepada yg lain. “aku suka bercerita, jika tak suka silahkan cari kesukaan sendiri” ancamku pada mereka. Aku lanjut bercerita
Ini tentang aku, pria 26 tahun yg belum pernah menyentuh wanita. Aku diajarkan oleh orangtuaku, bahwa wanita itu adalah racun dunia. Jauhi sebisa mungkin. Aku takut racun, sepengetahuanku racun bisa merubah warna kulitku. Bisa menghentikan nafasku. Bisa membuat aku lumpuh seperti pamanku. Dan aku belum bisa menemukan jawaban, apakah ibuku termasuk racun? Aku tak pernah menanyakan hal itu kepada bapakku. Sedari kecil, aku sungguh menghindari wanita. Tidak pernah berbicara kepada mereka. Bahkan guruku saja yg kuyakin dia wanita, aku tak mau menatapnya. Dan itu membuat dia kesal. Jawaban yg bisa kujawab ketika bu guru bertanya kenapa. Aku memilih diam. Rani, tetangga dilingkunganku dan kebetulan satu sekolah denganku dulu juga sangat penasaran denganku. Selalu saja mengikutiku kemana saja. Berangkat kesekolah, pulang sekolah, berkunjung kerumah pohon ini, kesungai untuk mandi, mengambil buah mangga di rumah pak RT, dan diapun kadang memberanikan diri memanggil namaku. Aku hanya diam dan cuek. Karena aku yakin, kamu adalah racun dunia.
“bagaimana dengan Ibumu?” Tanya salah satu kawanku. “sudah kubilang, diam dan simak ceritaku. Aku tak akan mau mengulangnya lagi!” jawabku dengan kesal.
Ini tentang aku, pendidikan telah menyelamatkanku dari pengepul minuman tuak dari hasil kebunku. Dan dia kadang menipuku untuk membeli dengan harga yg sangat murah dariku. Aku tau, karena aku mengumpulkan informasi harga dari kawan2 yg baru pulang dari luar. Infomasi itu kudapat pun tidak gratis. Dan itu yg membuat aku mendapatkan data cukup akurat. Pengepul hanya tdk berani denganku. Tapi aku juga diam, tidak mau seperti pahlawan yg selalu membela yg benar. Aku hanya perduli kepada diriku dan keluargaku. Dan kuputuskan untuk tidak memberi tau kepada yg lain kalau pengepul itu kadang menipu.
Ini tentang aku. Bisa saja aku meninggalkan rumah dan mencari kehidupan lebih layak ke kota besar. Tapi aku tak mau, kasian orangtua dan saudaraku jika aku meninggalkan mereka hanya karena alasan mencari uang yg lebih banyak padahal yg pendapatan sekarang sudah cukup. Selain itu, aku juga tidak mau terjebak dalam kebiasaan orang diluar sana. Tidur kadang larut malam, berhutang untuk mendapatkan barang-barang yg istimewa, memakan-makanan yg bukan dari kebudayaan kita, memakai baju yg berbeda dengan bergaya dunia barat. Dan berkelahi dengan alasan yg tidak masuk akal sehatku, berkelahi hanya untuk memperebutkan lahan parkir.
Ini tentang aku. Tidak punya televisi bukan berarti aku tidak tau apa yg terjadi diluar sana. Banyak kawan-kawanku membawakanku sebuah majalah atau koran setiap minggunya. Karena aku tau, ada banyak manfaat ketika aku membaca. Bahkan, aku pernah di bawakan oleh kawan. Sebuah majalah yg isinya lebih banyak gambar wanita tidak berbusana ketimbang berita yg dituliskan. Sejak itulah aku mengetahui maksud dari racun dunia dari orangtuaku. Melihat wanita tanpa busana membuat jantungku berdebar kencang, penisku mengeras yg biasanya di waktu pagi saja saat bangun tidur, fikiranku berterbangan liar, mataku tak berkedip melihat bentuknya. Aku keracunan.
Ini tentang aku. Aku menyesal ketika banyak wanita mengejarku seperti Rani. Aku abaikan begitu saja karena aku takut keracunan. Kenyataan yg kumengerti sekarang. Racun itu tidak membunuhku. Racun itu hanya akan mengubah diriku menjadi pria. Hey kalian, ternyata aku normal. Tuduhan kalian tentang diriku yg tidak normal sangat salah. Buktinya, penisku mengeras ketika melihat wanita tak berbusana. Kalian salah! Tapi, tetap aku menyesal tentang apa yg terjadi. Rani telah pergi keluar sana. Mencari pendidikan yg lebih tinggi, mungkin ke China. Karena orangtuaku pernah bilang “Tuntutlah ilmu sampai kenegeri China” dan kenapa aku tak dibolehkan untuk menuntut ilmu ke China. aku tidak mengerti, apakah karena aku adalah anak yg harus menghidupi, melayani, merawat, dan mencarikan rejekin buat rumahku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ingin keracunan.
Ini tentang aku. Berubah itu wajar, setelah 27 tahun. Barulah aku tau racun dunia itu tidak seburuk yg orangtuaku ceritakan. Tapi syukurlah aku mengetahuinya sekarang. Bukan dari dulu, karena jika dari dulu. Mungkin aku sudah menjadi playboy kelas atas, pria yg punya banyak wanita dalam hidupnya. Seperti Don Juan De Marco, yg ku tau nama itu dari sebuah majalah. Aku tampan kata mereka, kulit bersih tinggi tegap, alis tebal mata yg sangat tajam ketika memandang. Wanita seumuranku berebut menonton aku jika aku mandi disungai. Dan sekarang barulah aku tau racun-racun itu nafsu melihatku.
Ini tentang aku. Aku belum cerita tentang bapakku yah. Bapakku seorang lelaki tua yg sudah sangat tua. Beliau juga tidak tau berapa umurnya sekarang. Beliau hanya mengingat beliau lahir ketika Jepang masih menjajah Indonesia, dan juga belanda, dan juga Australia. Dulu bapakku seorang pejuang. Lelaki gagah berani membela Negara Indonesia dengan sebuah parang dan tombak dari bambu yg ujungnya sudah diruncingkan. Bapakku hampir mati saat itu, saat berperang. cerita dari ibuku. Itupun ketika mereka belum bertemu, jadi cerita itu belum tentu aku percaya. Bisa saja, cerita itu untuk memikat ibuku yg cantik yang merupakan kembang desa diwaktu gadisnya. Tidak banyak hal yg diingat oleh bapakku, karena otaknya pun ikut menua sehingga yg diingatnya hanyalah kecantikan ibuku dan bagaimana dia melamarnya dulu. Hampir setiap minggu malam aku diceritakan oleh beliau bagaimana Ibuku terjerat cinta bapakku. Dan cerita itu selalu dalam susunan kata yg sama, jumlah kalimat yg sama, dan berakhir dengan hal yg sama yaitu kami tertidur bersama. Aku bersyukur, umurku yang 27 tahun ini masih bisa merasakan tidur dalam pelukan seorang bapak. Seorang pria panutanku, pria yg hanya mencintai 2 wanita dalam hidupnya. Nenekku dan ibuku. Jika Negara tak merawat veteran seperti bapakku, setidaknya aku yg merawat bapakku bukan hanya karena dia yg memproduksiku. Tapi juga sebagai veteran perang yg tua.
Ini masih tentang aku. Menjual minuman bernama Tuak bukan berarti aku mau meminumnya. Biasanya sebelum menjadi tuak, rasa cairan itu sungguh manis dan tidak memabukkan. Sudah kukurangi hasil kebunku dengan Tuak. Sekarang aku lebih suka menanam buah naga yang kudapat informasinya dari majalah dan Koran setiap minggunya. Dan sangat kebetulan, pegawai pemerintahan pernah datang kelingkunganku untuk sosialisasi bagaimana menanam buah naga begitu mereka sebut, dan menjelaskan apa manfaat dari buah naga itu. Fikirku alangkah lebih baiknya ketika kebunku menghasilkan hasil yang bermanfaat untuk orang lain. Berkah melimpah kata orangtuaku.
Ini tentang aku. Aku tidak mau hidup begini-begini saja walaupun sudah merasa sangat cukup. Aku ingin lebih maju dan lebih bisa membuat orangtuaku dan saudaraku bisa lebih makmur tanpa harus keluar dari lingkunganku. Aku yakin bisa. Memutar otakku hingga batas limit pemikiran utk mencari jalan keluar bagaimana aku tidak menjual kepada pengepul, karena pasti hasil lebih murah walaupun aku pasti dapat panen lebih besar dari yg lain karena kebunku memang paling luas disini. Hingga suatu hari, aku bertemu seorang wanita mengenakan jilbab berwarna biru melewati kebunku untuk melihat buah yg dihasilkan dengan teliti. Kebunku lah yg menjadi perhatiannya. Ku hampiri, karena aku tau sekarang. Wanita memang racun tapi tak sampai membunuh. Kusapa, berkenalan, saling bertukar nama hingga aku ajak kerumahku. Ini tentang ketertarikan wanita itu ingin bekerja sama denganku memproduksi buah naga secara rutin dalam jumlah banyak. Dia mengaku dari sebuah instansi distribusi buah paling ternama diluar sana. Aku percaya karena dia menunjukan kartu nama dengan sopan. Kartu nama yg bagus dan harum. Tertuliskan dengan nama Wenni Susanti. Tuhan memberikan aku jalan lain, keseriusanku dalam berfikir untuk lebih maju ternyata mendapatkan jawaban lain. Malah lebih indah dari pemikiranku.
Ini tentang aku. Sudah setahun ini buah naga hasil kebunku tersebar diseluruh Indonesia. Bahkan, aku menjadi pengepul di sebagian desa. Bukan pengepul penipu seperti yg pernah kutemui dulu. Aku memberikan harga sesuai dengan permintaan pasar. Petani-petani itu sungguh puas menjual hasil kebunnya kepadaku. Aku pengusaha sekarang. Berkat Ibu Wenni yg memberikan aku kesempatan dalam mengembangkan hasil kebunku. Aku heran, banyak kebun dilingkunganku. Tapi kenapa dia hanya mau kebunku?
Ini tentang aku. Orangtuaku, saudaraku bahkan pamanku sudah kubelikan rumah yg lebih indah dari sebelumnya. rumah panggung yg merupakan ciri khas daerah kami, konon rumah panggung itu diciptakan lebih ditinggi agar terhindar dari binatang buas pada malam hari. Bapakku ku belikan televisi yg siarannya selalu tentang tausiah keagamaan, ibuku kubelikan sebuah mesin jahit listrik agar Ibu bisa menjahitkan bajuku jika ada yg sobek. Pamanku, kuberikan sebuah ruangan cukup besar di lantai dua. Dan kusiapkan teras di atas sana. Agar paman bisa merasakan indahnya, nikmatnya sinar matahari jika menyentuh menyelimuti kulit. Dari cerita ibuku, paman lebih sering berjemur tanpa busana sehelaipun sekarang. Saudaraku menjadi anakbuahku.
Ini masih tentang aku. Keherananku tentang Ibu Wenni masih membuatku penasaran. Aku beranikan diri untuk keluar dari sini, dari lingkunganku yg sudah kulalui dengan penuh aturan orangtuaku. Ibu Wenni tinggal diluar sana, aku berfikir apakah ibu Wenni tertarik kepadaku. Kedatanganku kekantornya sungguh mengagetkannya. Aku dipersilahkan masuk seperti seorang raja yg berkunjung di istana tetangga. Kantornya luas, meja yg di tempati ibu Wenni sungguh besar, sehingga aku bisa saja berbaring diatasnya. Aku duduk di sofa karena dipersilahkan duduk disana. Ibu Wenni minta ijin sebentar untuk menyelesaikan pekerjaannya, dia minta waktu 10 menit saja. Setelah minumanku habis kuminum, bu Wenni datang menghampiri dan itu kurang dari 10 menit. Ternyata aku haus. Tidak banyak basa-basi. Aku langsung kepokok permasalahan. Ibu Wenni mengira kedatanganku kekantor dia karena ada permasalahan tentang kontrak yg telah dibuat di rumahku. Memang, selama kerjasama aku tak pernah sedikitpun menginjakkan kaki kekantornya. Karena itulah bu Wenni sungguh kaget ketika aku hadir kesana. Aku menanyakan perihal yg membuatku bingung. Kebingunganku ini tidak beralasan kuat. Aku hanya penasaran tentang mudahnya aku mendapatkan kontrak dari Ibu Wenni. Dia hanya tersenyum. Dan menatapku dengan tajam seolah-olah ingin membaca fikiranku. “Malam ini kamu kerumah aku yah” ajak ibu Wenni. Makin liar fikiranku. Apakah bu Wenni tertarik denganku?
Ini tentang aku. Sesampainya dirumah bu Wenni. Aku dipersilahkan duduk diruang tengah yang disana ada televisi yg sungguh besar. Aku disuguhkan acara olahraga sepakbola dari negeri eropa. Jarang sekali aku melihat seperti ini. Menonton sepak bola terakhir adalah ketika Indonesia melawan Malaysia pada piala AFF tahun lalu. Itupun hanya separuh pertandingan, karena aku harus mengawasi hasil kebunku. Aku diberi minuman, diberi makanan, diberi baju yg baru dan layak. Karena aku kurang tau cara memakai baju yg pantas utk diriku. “tampan sekali, sangat cocok” bu Wenni memandangku dari kepala hingga kaki. Aku memakai jas warna hitam yg baru, karena aku tau baju itu baru aku sobek bungkusnya. Kulitku yg putih membuat aku terlihat sangat tampan menggunakan jas warna hitam. Itulah pengakuan bu Wenni. Kami berbincang, tapi aku coba untuk tidak menanyakan dulu apa maksudnya hingga seperti ini. Aku nikmati kecantikannya, tapi bukan berarti aku tertarik dengannya. Aku tak mudah untuk tertarik pada wanita, karena aku memang dididik untuk berhati-hati pada mereka.
Masih tentang aku. Hampir 1 jam aku berbincang hangat dengan bu Wenni. Kami membahas berbagai macam perilaku kami dulu saat pertama ketemu. Menertawakan keluguanku pada saat dulu. Sehingga sesekali aku tertunduk malu. aku mendengar suara mobil didepan rumahnya. Bu Wenni buru-buru kedepan. Kudengar sekilas “masuk bu, dia sudah didalam” siapa itu tanyaku dalam hati. Dan kudengar ada suara lelaki juga disana. Masuklah mereka. Lelaki itu duluan menghampiriku, dia tampan, putih, lebih tinggi dariku dan berkaca mata. Sambil menawarkan tangannya untuk berjabat denganku, dia menyebutkan namanya. Dan dibelakangnya ada seorang wanita menyusul menjabat tanganku. Cantik sekali, sepandan dengan Bu Wenni, jika disejajarkan mereka berdua seperti dua putri raja yang sedang bergosip diujung sana. Fikirku melayang, sungguh tak asing wajah wanita ini. Dia terus menunduk. Berbincang dengan bu Wenni sesekali tersenyum, entah dia membicarakan apa. Lelaki itu terus saja bercerita tentang wanita yg tunduk itu. Wajarlah, mungkin dia suaminya. Serasi sekali mereka. Selalu bercerita betapa cantiknya istrinya, lelaki ini sungguh aneh. Selalu saja membicarakan keindahan wanita itu. Seperti seorang sales menawarkan barang kepadaku.
Masih tentang diriku. Aku sungguh tak ingat dia, lelaki yg bersamanya terus saja mencoba mengingatkanku pada wanita duduk tepat sebelah bu Wenni. Kok bisa? Buat apa suaminya untuk terus memaksaku untuk melihat istrinya yg tertunduk malu disebelah bu Wenni itu. Sungguh aku tak ingat, lelaki itu pergi kedalam dan memanggil bu Wenni. Aku semakin bingung, ditinggal berdua dan tak tau harus berbuat apa. Tak ada kata, wanita itu menghampiriku dan membawaku kehalaman belakang rumah bu Wenni. Disana ada sebuah ruangan kecil tampak seperti gudang terpisah dari bangunan rumah. Aku diajak masuk kedalam gudang itu, aku terpana melihat begitu banyak foto diriku, dan ada beberapa lukisan tentang lingkunganku. Siapa wanita ini, siapa yg memotretku? Aku melihat diriku yg lagi memanen kebun, aku melihat diriku yg bertelanjang dada, aku melihat diriku yg sedang istirahat siang di gubuk, aku yg melihat diriku tersenyum, aku yg melihat diriku berdiri tegap mengawasi kebun. Dari mana semua ini. Aku memilih diam menikmati.
“foto-foto ini diambil ketika aku pulang kerumah” suara wanita itu memulai, aku masih memilih diam.
“sejak dulu, aku selalu ingin bicara denganmu mas. Tapi, kamu selalu acuh. Entah mendengar atau tidak teriakan memanggil namamu” wanita itu meneruskan sambil memegang sebuah buku yg ingin diserahkan kepadaku.
Samar-samar aku mengingat, “apa? Pulang kerumah? apakah kamu Rani?”
“iya mas” Rani menjawab tertunduk malu.
Rani memberikan buku kepadaku, meminta aku untuk membacanya. Isinya tak lain adalah isi hatinya yg jujur. Hampir 5 halaman aku membaca segera kuhentikan, aku tak menyangka Rani menyimpan hati seperti ini, aku mohon diri. Aku pergi.
“Mas!” Rani memangilku. “mau kemana?”
“aku bingung, bagaimana dengan suamimu? Selama ini memang aku mencarimu. Tapi setelah bertemu, kamu muncul bersama suamimu” jawabku
Aku masih belum menoleh kearahnya, karena aku sudah tidak sanggup untuk menikmati kecantikannya karena dia sudah menjadi istri orang lain. aku merasakan Rani melangkah mendekat, ada pelukan secara pelan dari belakang. Hangat rasanya, jantungku berdetak kencang. Tak ingin kulepas pelukan Rani dari belakang. Tapi, aku takut sekali kalau suaminya melihatku istrinya memelukku dari belakang. Bisa mati aku!
“dia bukan suamiku mas” Rani menjelaskan tanpa melepaskan pelukannya. “itu mas Rian, dia suami mba Wenni karyawan kantorku mas”
Aku bingung, “karyawan kantorku”? siapa Bu Wenni, dan siapa sebenarnya kamu Ran. Aku melepaskan pelukannya. Dia menjelaskan bahwa Bu Wenni adalah karyawannya yg diutus untuk membeli hasil kebunku dalam jumlah besar dan kontrak. Ranilah yg menciptakan ini.. aku pejamkan mataku, merasakan hangatnya lagi pelukannya setelah tau dialah yg membuat aku dan keluarga lebih baik dari sebelumnya. Rani, gadis yg dulu kuacuhkan ternyata masih saja mencariku selama ini. Bisa saja dia mendapatkan pria yg lebih modern dariku. Aku mohon diri malam itu. Setelah melepaskan pelukannya. Bu Wenni dan Mas Rian tidak bisa mencegahku. Karena ini rumah Rani.
Ini masih tentang aku. Aku tidak bisa tidur, aku diantar kehotel tempat yg telah dipesan oleh Bu Wenni tadi siang. Mata ini sama sekali tak mengantuk, aku tidak pernah tau namanya cinta selain yg diberikan oleh orangtuaku. Cinta itu rasa yg abstrak membuat kita tak bisa makan, tidur ataupun berfikiran secara jernih. Buku Rani sudah habis kubaca, dan kutau kenyataan bahwa Rani adalah gadis yg menungguku. Mungkin ini yg dimaksudkan bapak yg namanya racun. Aku keracunan.
Baiklah kawan, cerita sampai disini. Singkong goreng ini sudah mulai habis kalian makan. Sudah tidak ada lagi cerita tentang diriku.
“tapi, gmana kabar mba Rani kak?” adik kawan aku bertanya
“entahlah, hingga saat ini aku masih menunggunya”
Sebenarnya masih ada cerita setelah aku dari hotel. Tapi, aku sungguh tak kuat untuk menceritakannya. Cinta kedua setelah orangtuaku tak bisa kuraih karena dia tak mau ikut denganku kembali ke lingkunganku. Rumah pohon ini pun jadi saksi bisu dikala aku melamun tentang Rani. Sebuah cinta yg tak bisa kuduga selama ini. Ya Tuhan. Aku tidak mau menerima cinta lain selain Rani. Aku juga tidak tau, bagaimana perasaannya setelah tak mau ikut denganku kembali kesini. Sabarlah, baru juga 2 bulan ini.
Masih tentang diriku. Buku yg diberikan Rani selalu kubaca berulang-ulang. Selama ini dia selalu menuliskan cintanya kepada buku. Menyatakan cintanya kepadaku lewat tulisan ke dalam buku. Aku tak habis fikir bagaimana tersiksanya perasaan Rani saat itu. Sekarang, aku yg merasakan siksa ini. Apakah Rani masih mau denganku? Dia satu-satunya wanita yg mengerti aku. Dan selalu bertanya tentang aku melalui ibuku. Ibu tidak adil, kenapa selama ini tidak memberitaukan kalo Rani selalu bertanya tentang diriku. Cinta memang merubah seseorang, wanita adalah racun. Karena sekarang aku sedikit benci dengan ibu. Untuk pertamakalinya aku jatuh cinta.
Semua masih terdiam di rumah pohon, memikirkan bagaimana nasib Rani selama ini. ada terikan dari bawah rumah pohon “ini minumnya!”
Lamunan mereka terpecah dan mengambil minuman lewat lift makanan terbuat dari tali dan ember yg diikat ujunganya buatan kami. Wanita itu naik kerumah pohon.
“gimana ceritanya mas? Udah selesai” Tanya wanita itu.
“udah, baru saja” jawabku.
Kelima kawanku yg mungil-mungil ini melihat kami seperti menonton balap mobil, kiri-kanan kiri-kanan. “mba ini siapa kak?” Tanya salah satu anak.
“ini mba Rani, nama istriku ini Raisya Milani. Supaya seru kakak singkat jadi Rani” aku menjawab dengan senyum.
Kawan-kawan mungil aku hanya bisa “oooo…..” sambil sedikit-sedikit tersenyum bingung.
Ini tentang aku dan istriku. Hidup kami penuh cinta, warna, dan kesetiaan. Kami bertemu sejak kami kecil. Terpisah karena pendidikan dan Raisya kembali dengan membawa segudang kesuksesan. Mba Wenni dan Mas Rian sudah menjadi seperti keluarga bagi kami, karena merekalah kami bersama. Dan satu hal yg ingin aku sampaikan. Cinta itu tidak akan pernah bisa dipaksa. Muncul begitu saja, dan menyala sangat cepat menyambar ruang hati setiap pasangan. Jadi, tunggulah cinta. Jangan paksa untuk mencarinya.
Ini tentang ceritaku, apa ceritamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H