Contoh nyata dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti anak yang baru belajar karate yang cenderung sok berbicara dan memamerkan kemampuannya di depan teman-temannya. Dibandingkan dengan yang sudah memiliki tingkat keahlian tinggi, yang cenderung lebih rendah profilnya. Analogi ini dapat diterapkan dalam berbagai situasi, seperti seseorang yang sebenarnya tajir melintir namun tetap memilih tampil sederhana atau individu yang berkuasa namun memilih bersikap lembut, diplomatis, dan berperikemanusiaan.
Dalam konteks ini, kualitas batin seseorang menjadi penentu utama dalam menilai nilai sejati seseorang. Tidak ada kemungkinan bagi seseorang untuk menyembunyikan kualitas aslinya, karena kualitas sejati tidak dapat dibohongi. Sikap dan perilaku yang mencerminkan kualitas batin seseorang akan menjadi objek penilaian utama, melampaui tampilan fisik atau afiliasi kelompok.
Menghadapi kompleksitas kehidupan modern, penting bagi setiap individu dan masyarakat untuk mencapai harmoni antara beragama dan berspiritualitas. Ritual dan praktik yang religius harus diimbangi dengan perkembangan kualitas batin yang mendalam. Oleh karena itu, pemuka agama memiliki peran sentral dalam membimbing umatnya mencapai keseimbangan ini. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai pemandu dalam praktik keagamaan, melainkan juga sebagai mentor yang mendorong umatnya untuk merenung dan mengembangkan kualitas batin.
Sehingga, perbedaan antara beragama dan berspiritualitas dapat bersatu dalam harmoni yang menyeluruh. Negara ini negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama dan kepercayaan. Maka dari itu, negara ini membutuhkan pemuka agama yang matang, moderat, intelek, dan memiliki kemampuan untuk membimbing umatnya ke arah kematangan spiritual. Dengan demikian, kita dapat menciptakan masyarakat yang bijak, santun, dan bertanggung jawab, serta menciptakan lingkungan yang memiliki keseimbangan antara praktik religi dan kualitas batin.
Kesimpulannya, perbedaan antara beragama dan berspiritualitas menggarisbawahi bahwa fokus pada aktivitas ritual seringkali menghasilkan keberagamaan yang terbatas pada aspek formalitas, tanpa pengembangan kedewasaan batin. Fenomena ini tidak terbatas pada satu agama saja, melainkan tersebar dalam berbagai keyakinan. Di sisi lain, spiritualitas memiliki perspektif yang lebih mendalam dan menekankan pada pengembangan kualitas batin tanpa perlu validasi atau afiliasi kelompok. Kualitas batin menjadi penentu nilai atau prinsip sejati seseorang daripada sekedar aksesori ritual atau afiliasi kelompok. Mencapai harmoni antara beragama dan berspiritualitas menjadi esensial dalam kehidupan modern, di mana ritual keagamaan harus diimbangi dengan perkembangan kualitas batin yang mendalam. Pemuka agama memegang peran sentral dalam membimbing umatnya menuju keseimbangan tersebut. Itulah mengapa pentingnya untuk bersikap 'selektif' memilih narasumber atau pemuka agama yang matang dan intelek agar menciptakan kematangan spiritual dan lingkungan yang mengedepankan keseimbangan antara aktivitas religius dan kualitas batin.. Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah menciptakan masyarakat yang bijak, humanis, dan moderat.Â
Tim penulis:
- Aloysius Mahardhika / XII_IPS_2_04
- Glennaldo Bucho / XII_IPS_2_16
- Natasya Samantha / XII_IPS_2_24
- Sebastianus Tegar / XII_IPS_2_28
SMA Pangudi Luhur II Servasius
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H