Mohon tunggu...
Moh Ichsean Maulana
Moh Ichsean Maulana Mohon Tunggu... Human Resources - HR Practitioner at Local Start Up Company

Penulis adalah praktisi HRD, aktivis muda Muhammadiyah, dan pembelajar Hukum yang bercita-cita menjadi Legal Corporate.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menakar Keberpihakan Penegakan Hukum pada Tragedi Kanjuruhan

25 November 2022   21:11 Diperbarui: 1 Desember 2022   16:21 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini Jumat, 26 November 2022 bertepatan dengan 55 hari sejak tragedi berdarah pecah di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, pada 1 Oktober lalu. Pengusutan perkara  masih jauh dari kata tuntas. Baru ada enam tersangka yang ditetapkan penyidik Polda Jawa Timur. Berkas perkaranya pun belum lengkap. Jangan sampai 135 nyawa yang menjadi korban bobroknya sistem tersebut sekadar menjadi angka belaka.

Sejatinya kejadian memilukan ini bukan duka milik Aremania atau duka pencinta sepak bola semata, namun mestilah pula milik seluruh bangsa Indonesia yang sama-sama merindukan idealnya penegakkan hukum di Indonesia.

Kenapa tidak, tragedi tersebut mutlak disebabkan oleh faktor bobroknya sistem yang kebetulan didukung dengan ketidakbecusan asosiasi (baca: PSSI), panitia pelaksana, dan diperparah dengan arogansi aparat yang secara menjijikkan melakukan penanganan konflik dengan brutal di lapangan.

Suporter BUKAN Penyebab Utama!

Penulis terpaksa mesti menekankan pada bagian ini dikarenakan banyak opini di luar bersileweran menyatakan bahwa suporter -dalam hal ini Aremania- lah yang berperan menjadi faktor utama penyebab tragedi ini terjadi. Bagi penulis, orang-orang yang memiliki opini seperti itu adalah mereka yang sebenernya tidak pernah mengikuti bahkan tidak paham soal dinamika persepakbolaan di Indonesia. 

Mereka beropini jelek hanya demi menumpangi ombak yang sedang viral -riding the wave- atau -mohon maaf- emang murni otaknya saja yang bermasalah alias konslet sebab tidak mau mencari tahu akar masalah yang sebenarnya dimana.

Berpuluh-puluh tahun sepak bola kita dikelola secara "amatir". Bisa kita lihat, PSSI sebagai asosiasi atau organisasi resmi di bawah FIFA yang mengurusi sepak bola di Indonesia dari masa ke masa selalu saja dijalankan oleh hanya segelintir kelompok yang itu-itu saja. 

Ketua Umum maupun Anggota Komite Eksekutif (Exco PSSI) selalu diisi oleh orang-orang politik yang bahkan tidak memiliki rekam jejak dan prestasi di dunia persepakbolaan. Jika bukan politikus maka jabatan strategis tersebut selalu saja diduduki oleh purnawirawan Polri ataupun TNI.

Tingkah laku suporter yang terlihat buruk itu ibarat puncak gunung es yang menyimpan lebih banyak bahaya di bawahnya. Penyebab di dalamnya ada banyak sekali. Ini yang sebenarnya gagal dipahami oleh masyarakat umum yang sama sekali tidak pernah mengikuti dinamika sepak bola lokal kita. 

Maka dalam tulisan sederhana ini penulis mencoba secara objektif dan berimbang menganalisa apa saja faktor-faktor atau sistem yang berperan tersebut.

Diantara yang paling berperan adalah gagal totalnya aparat dalam pengamanan suporter dengan manajemen konflik yang baik. Tidak terelakkan fakta bahwa tren kekerasan yang dilakukan oleh aparat di Indonesia termasuk ke salah satu yang terburuk di dunia. Data yang dikumpulkan oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkap temuan 677 kekerasan oleh aparat Kepolisian sepanjang Juli 2021-Juni 2022.

Angka ini tentunya belum termasuk dengan apa yang terjadi di tragedi Kanjuruhan. Penggunaan gas air mata yang serampangan -yang katanya sudah sesuai SOP-, arogansi oknum-oknum aparat yang ingin terlihat perkasa dengan brutal dan beringas memukuli juga menendang suporter, hingga tiadanya kesadaran nurani untuk bertanggung jawab oleh pejabat aparat terkait yang selalu berlindung di balik kata "sudah sesuai SOP". 

Jangankan merasa bertanggung jawab, meminta maaf atas nama institusi pun terkesan enggan terucap dari institusi sakti ini, meski belakangan pejabat terkait akhirnya dicopot dan digantikan oleh pejabat lain yang tidak kalah problematik.

Dalam hal ini, harusnya pejabat Kepolisian Indonesia bisa meneladani pejabat Kepolisian Korea yang langsung membungkuk meminta maaf lalu mengundurkan diri dengan legowo pasca tragedi Hallowen di Itaewon beberapa waktu lalu yang juga merenggut ratusan nyawa.

Selanjutnya ada faktor panitia pelaksana dan televisi (baca: Indosiar) yang melulu mementingkan rating semata pun tentu tidak luput dari keharusan bertanggung jawab dalam tragedi ini. Jam tayang pertandingan yang terlalu larut malam mengingat laga Derby Jatim -Arema melawan Persebaya- termasuk satu diantara laga terpanas liga Indonesia menjadikan faktor keletihan suporter dan teknis pengamanan yang sudah buruk menjadi semakin runyam.

Asosiasi dalam hal ini PSSI mestinya menjadi pihak yang paling harus bertanggung jawab dan sesegera mugkin mesti berbenah total, karena tata kelola organisasi yang buruk akan selalu berimbas ke semua lini sepak bola Indonesia. Kinerja buruk mereka bisa tergambarkan dengan bagaimana mayoritas stadion-stadion yang terverifikasi PSSI justru sangat buruk dari segi infrastruktur dan fasilitasnya.

Stadion yang tidak bisa menjamin kenyamanan dan keamanan suporter tentunya akan menjadikan sebuah pertandingan sepak bola menjadi sebuah tontonan yang sama sekali tidak layak untuk ditonton. Sebab tidak ada satu pertandingan pun yang seharga dengan sebuah nyawa.

Dalam analisa yang objektif, suporter yang belum dewasa dalam bersikap mengambil peran tersendiri dalam tragedi tersebut, ketidaksabaran dan kurangnya sportifitas menerima kekalahan tentunya menjadi salah satu faktor diantara banyak faktor di atas.

Namun jangan salah paham. Semua karakter suporter sepak bola di seluruh penjuru dunia seperti Jerman, Turki, Inggris, dan sebagainya itu cenderung memiliki karakter yang sama. Mereka sangat passionate dan berapi-api ketika mendukung klub bola kebanggaan masing-masing. Bahkan tidak jarang banyak kasus di klub negara-negara tersebut, suporter juga ikut tumpah ruah masuk ke dalam lapangan setelah pertandingan.

Pertanyaannya, di abad modern seperti saat ini, mengapa tragedi yang menewaskan 135 jiwa itu hanya terjadi di Indonesia? Bukan di Inggris atau di Jerman dan sebagainya?

Jawabannya adalah, respon pihak pengamanan dalam manajemen konflik lah yang mengambil peran penting bagaimana karakter berapi-api suporter tersebut kemudian bisa dinetralkan dengan cara yang humanis.

Pihak pengamanan atau Kepolisian di negara-negara tersebut tidak akan langsung memukuli, menendang, bahkan menembakkan gas air mata ke arah suporter yang masuk ke dalam lapangan (pitch invader). Sistem manajemen konflik dan pendekatan yang humanis lebih dikedepankan dalam meredam kemarahan atau euforia suporter.

Keberpihakkan Penegak Hukum

Terhitung 55 hari pasca tragedi memilukan tersebut, tagar #UsutTuntas setidaknya sering menjadi trending topic di media sosial Twitter. Anggota keluarga korban tragedi Kanjuruhan dan aktivis kemanusiaan yang peduli dengan penegakan hukum di Indonesia terus-menerus menuntut pengusutan secara tuntas dan transparan dilakukan oleh para penegak hukum.

Lambannnya proses pengusutan tragedi Kanjuruhan seakan menggambarkan kepada kita dengan nyata ketidakseriusan  dan ketidakberpihakkan penegak hukum dalam mengusut tuntas kasusnya. 

Alih-alih menyegerakan pengusutan hingga ke akarnya, Kepolisian justru lebih tertarik mendahulukan dan terkesan gercep sat set dalam pengusutan video porno kebaya merah yang tengah marak dan viral beredar di dunia maya. Hal ini menjadikan publik semakin mempertanyakan prioritas keberpihakkan penegak hukum dalam tragedi Kanjuruhan.

Ditetapkannya sejauh ini enam tersangka oleh Kepolisian tidak cukup menjawab dan mengobati rasa keadilan yang tercoreng akibat brutalnya kekerasan yang terjadi dari dalam stadion dan ketidakbecusan pejabat terkait dalam mengurus pertandingan hingga mengurus organisasi dari luar stadion. Seperti adagium hukum yang berbunyi "Fiat Iusticia Ruat Caelum -- Meskipun Langit Runtuh Keadilan haruslah tetap Ditegakkan".

Proses penegakan hukum yang lamban di kasus ini dikhawatirkan malah memberikan kesempatan bagi para tersangka sebenarnya untuk beramai-ramai cuci tangan dan menghilangkan barang bukti atau mempengaruhi keterangan para saksi. Bahkan yang paling ditakutkan akan mempengaruhi arah proses penyidikan hingga tuntas.

Tentunya proses ini mestilah bersama kita kawal. Rekomendasi dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang diketuai Mahfud MD harus segera dilaksanakan. Harapan kepada penegak hukum agar lebih serius mengusut tuntas dan menyegerakan proses yang sedang berjalan juga meluruskan kembali konflik internal Kepolisian yang justru akan merugikan keadilan.

Demi Masa Depan Sepak Bola Indonesia

Reformasi di tubuh sepak bola Indonesia bukanlah suatu hal yang mustahil dilakukan. Belajar dari reformasi Kereta Api Indonesia (KAI), penumpang KAI jaman dahulu itu sangat mengerikan, kacau, dan terkesan bar-bar. Ribuan jumlah pengguna KAI susah diatur dan susah diubah ditambah dengan sistem yang sangat buruk saat itu.

Tapi ternyata masalah ini bisa berubah 180 derajat hingga sekarang. Saat ada pemimpin yang visioner, berani tegas, dan cerdas, masalah ini bisa selesai dan tuntas lewat langkah-langkah yang kongkrit, strategis, dan brilian. Hasilnya bisa kita nikmati saat ini dengan sistem dan fasilitas KAI yang sangat humanis, aman, dan nyaman. Kenapa bisa? Karena memang ada niat dan ada kemauan untuk mengubahnya.

Sama halnya dengan sepak bola Indonesia yang saat ini carut-marut juga bisa berbenah dan mereformasi dirinya seperti halnya KAI. Tentu saja hal pertama yang perlu di reformasi adalah sistemnya secara institusional yaitu PSSI beserta stake holder yang terkait. Jika sistemnya sudah diperbaiki maka secara otomatis perubahan masif pun akan terasa dari dan oleh suporter. System will create their own behaviour, a good system will create a good behaviour.

Tidak perlu menyalahkan suporter secara berlebihan. Lihat contoh dari reformasi KAI tadi, setelah sistem KAI membaik maka karakter penumpang KAI pun akan berubah dan membaik seiring waktu dengan sendirinya. 

Sulit rasanya jika sebagian orang masih keukeuh bahwa langkah pertama yang mesti direformasi adalah suporter. Hemat penulis, justru yang paling masuk akal adalah mereformasi institusi organisasilah yang mesti menjadi langkah awal reformasi total sepak bola Indonesia. Karna institusi itu sifatnya akan mudah diawasi dan dihitung akuntabilitasnya dibanding suporter yang bersifat situasional.

Pembinaan suporter bisa dilakukan sambil asosiasi berbenah, hal yang paling mendasar dalam pembinaan suporter adalah "Law Enforcement" atau penegakan hukum. Jika penegakan hukum dilakukan dengan proper dan ditegakan secara konsisten serta tidak tebang pilih, maka karakter suporter yang taat hukum pun kelak akan menjadi hal yang lumrah dan biasa kita rasakan.

Bayangkan di masa depan semua suporter bisa menyaksikan klub kesayangannya bertanding dengan tenang dan aman. Bayangkan stadion-stadion di Indonesia satu persatu berbenah dan dilengkapi fasilitas yang modern dan nyaman. Bayangkan pendekatan keamanan oleh penegak hukum bersifat lebih humanis dan terorganisir. 

Bayangkan suporter pun sudah bermental dewasa dan sadar ikhlas menerima kekalahan. Terakhir, bayangkan sepak bola kita membaik. 10 tahun dari sekarang Tim Nasional Indonesia menjadi jawara Asia dan bermain di level Piala Dunia.

Ternyata itu semua karena diawali oleh satu hal, yaitu kesadaran kita bersama untuk berubah. Kesadaran semua pihak untuk menghormati korban-korban tragedi Kanjuruhan demi menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak cucu kita. Akhirnya kesadaran tersebut menjadi gerakan nyata yang mereformasi sepak bola kita menjadi lebih baik.

Kelak, 10 tahun dari sekarang, media Internasional akan kagum dengan apa yang kita semua lakukan. Tidak ada lagi berita buruk tentang sepak bola Indonesia, yang ada hanya berita-berita tentang kesuksesan sepak bola dan suporter Indonesia untuk sama-sama berubah. Sebuah artikel pun ramai diperbincangkan dan menjadi acuan publik sepak bola dunia, artikel tersebut ditulis dengan judul "The Rise of Indonesian Football - Kebangkitan Sepakbola Indonesia".

Sekali lagi, ternyata hal yang besar tersebut diawali oleh kesadaran kolektif kita. Saat ini semuanya memanglah sebuah khayalan, tapi penulis percaya bahwa itu semua bukanlah sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun