Di pagi yang kelam aku termangu dingin.
Dinginnya air dan sombongnya embun.
Embun di jendela yang iri menatap lampu.
Lampu yang terlalu lembut untuk menyala.
Bersemangat dengan pamrih di gelap gulita.
Di jalanan yang dengki kunista mentari.
Berjalan ke gedung penuh rayap-rayap.
Rayap-rayap pengunyah kertas.
Kertas naskah usang dan penuh tiruan.
Tiruan-tiruan yang dihafalkan.
Di siang hari aku berpesta kecil.
Berjajar dalam alunan yang khusyuk.
Permainan umat bermata sayu kelabu.
Membuat jati diri semakin miskin warna.
Pudar terhapus fantasi semesta kedua.
Di sore hari aku bermadah lagi.
Menduduki teras yang selalu tertidur pulas.
Diam ditiup angin dan memori bertampin.
Dedaunan kering yang hanya bisa tertawa.
Bersama mereka kunanti redupnya surga.
Di ufuk petang yang setengah berkilauan.
Berpendar sekilas rasa muak tak berperi.
Kubaca sajak rendahan yang terlalu rapi.
Kebijaksanaan palsu meracuni telakku.
Merasuk kalbu meski daging meradang ragu.
Di malam berhujan tanpa akhir.
Aku selesaikan goresan bait dunia kuasa.
Kuasa sunyi yang terkubur gunduk imaji.
Imaji angin lalu yang menghembus doa.
Doa masa depan tentang dusta dan bangga.
Di bawah atap jiwa yang hampir runtuh.
Badai yang kecewa membawa hina.
Dari hantu-hantu yang berseliweran.
Bergentayangan di sekat-sekat tembok.
Tembok-tembok yang berbisik munafik.
Aku bertaruh untuk yang terakhir kali.
Mengadu asa dengan iblis dibalik pintu.
Dari sudut paling najis aku melempar dadu.
Kulihat pada setiap noda yang mengumpat.
Langit-langit hitam yang tertawa seribu abad.
Aku tahu debu akan membunuhku.
Itulah mengapa kubuat meja ini bersih.
Mengkilap oleh sucinya anggur yang merona.
Itulah sebabnya kubuat selimut ini harum.
Di balik sepi kucumbu iblis yang menderum.
Aku hanya satu di antara embun yang asing.
Tercipta dari kabut ketidaktahuan yang usil.
Kukenali dedaunan yang indah hanya sementara.
Sebelum jatuh ditelan tanah.
Dihempas sirna.