Mohon tunggu...
Sean Annas
Sean Annas Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pengangguran

Mohon berikan kritik dan saran

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Selasa

9 Oktober 2021   20:23 Diperbarui: 9 Oktober 2021   20:38 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di pagi yang kelam aku termangu dingin.
Dinginnya air dan sombongnya embun.
Embun di jendela yang iri menatap lampu.
Lampu yang terlalu lembut untuk menyala.
Bersemangat dengan pamrih di gelap gulita.

Di jalanan yang dengki kunista mentari.
Berjalan ke gedung penuh rayap-rayap.
Rayap-rayap pengunyah kertas.
Kertas naskah usang dan penuh tiruan.
Tiruan-tiruan yang dihafalkan.

Di siang hari aku berpesta kecil.
Berjajar dalam alunan yang khusyuk.
Permainan umat bermata sayu kelabu.
Membuat jati diri semakin miskin warna.
Pudar terhapus fantasi semesta kedua.

Di sore hari aku bermadah lagi.
Menduduki teras yang selalu tertidur pulas.
Diam ditiup angin dan memori bertampin.
Dedaunan kering yang hanya bisa tertawa.
Bersama mereka kunanti redupnya surga.

Di ufuk petang yang setengah berkilauan.
Berpendar sekilas rasa muak tak berperi.
Kubaca sajak rendahan yang terlalu rapi.
Kebijaksanaan palsu meracuni telakku.
Merasuk kalbu meski daging meradang ragu.

Di malam berhujan tanpa akhir.
Aku selesaikan goresan bait dunia kuasa.
Kuasa sunyi yang terkubur gunduk imaji.
Imaji angin lalu yang menghembus doa.
Doa masa depan tentang dusta dan bangga.

Di bawah atap jiwa yang hampir runtuh.
Badai yang kecewa membawa hina.
Dari hantu-hantu yang berseliweran.
Bergentayangan di sekat-sekat tembok.
Tembok-tembok yang berbisik munafik.

Aku bertaruh untuk yang terakhir kali.
Mengadu asa dengan iblis dibalik pintu.
Dari sudut paling najis aku melempar dadu.
Kulihat pada setiap noda yang mengumpat.
Langit-langit hitam yang tertawa seribu abad.

Aku tahu debu akan membunuhku.
Itulah mengapa kubuat meja ini bersih.
Mengkilap oleh sucinya anggur yang merona.
Itulah sebabnya kubuat selimut ini harum.
Di balik sepi kucumbu iblis yang menderum.

Aku hanya satu di antara embun yang asing.
Tercipta dari kabut ketidaktahuan yang usil.
Kukenali dedaunan yang indah hanya sementara.
Sebelum jatuh ditelan tanah.
Dihempas sirna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun