Di era digitalisasi ini, dunia sepertinya hanya segenggaman tangan. Alat informasi dan komunikasi berupa gadget bagi kita sudah cukup untuk melihat bagaimana sebenarnya dinamika dunia ini.Â
Kita bisa mengakses sebanyak-banyaknya informasi yang kita inginkan, bahkan kita bisa mengaktualisasikan diri  sendiri dengan membangun brand personality melalui platform-platform sepeti Facebook, Instagram, Youtube, Tiktok, Website dan lain-lain.Â
Lahirnya keadaan yang demikian tidak terlepas dari perkembangan sains dan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Dunia saat ini adalah merupakan bagian dari aktualisasi pikiran dan pengetahuan manusia, dan hampir disemua lini, dunia sekarang dikuasai oleh ilmu pengetahuan.
Maka ketika  berbicara soal dinamika dunia saat ini, tidak sedikit pula tantangan yang harus dihadapi. Ada banyak pergeseran-pergeseran nilai-nilai budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi.Â
Misalnya, ketika saya sedang duduk di warung kopi, saya memerhatikan ada banyak orang-orang yang duduk dengan hanya konsentrasi pada gadgetnya.Â
Semua bisa hening dan sibuk dengan kesendiriannya, hampir tidak ada interaksi dengan teman-teman di sampingnya. Ini merupakan pergumulan, apakah hal demikian harus ditentang? Atau justru kitapun terjebak dengan dunia yang "tersendiri" itu? Atau apakah kita harus memusuhi dunia ini? Maka kita perlu melihat kembali, bagaimana seharusnya peranan kita melihat hal yang demikian? Bagaimana seharusnya seseorang hidup dalam dunia yang "menyendiri" ini?
Injil Yohanes menjadi injil yang sangat relevan untuk di renungkan dalam menghadapi situasi yang demikian. Mengingat bahwa Injil ini merupakan Injil yang juga ditulis dalam dinamika "dunia yang menyendiri". Yohanes si penulis Injil ini juga hidup dalam komunitas yang menyendiri di pulau Patmos. Perikop dalam Yohanes 3:14-21 menjadi sebuah permulaan, bagaimana mengenal Yesus "di dunia yang serba cuek" ini. Nas ini merupakan penggalan percakapan Yesus dengan Nikodemus. Injil ini ingin menjelaskan bagaimana sebenarnya "hakikat kemanusiaan Yesus" untuk menjawab pergumulan manusia yang hidup pada dimensi pengetahuan yang bersifat materil saja. Bukti dari keterbataasan pengetahuan manusia ditunjukkan oleh Nikodemus ketika dirinya bertanya: "Bagaimana mungkin seorang dilahirkan kalau dia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan kembali?"Â (Yoh 3:4). Keterbatasan inilah yang ingin diretas oleh Yohanes (Kalu saya melihat teks ini, saya melihat Yohanes ini seperti seorang hacker yang ingin meretas pikiran-pikiran yang hanya terpaku pada dimensi materialistik, yaitu dimensi dunia yang kelihataan oleh mata jasmaniah saja).
Dunia materialistik hanya berfokus pada kenyataan-kenyataan yang kelihatan saja, biasanya pandangan materialis ini mengabaikan makna/substansi dari sebuah peristiwa. Misalnya: Orang Kristen hanya tahu bahwa setiap hari minggu itu adalah waktunya beribadah. Akhirnya tidak sedikit yang terjebak pada rutinitas saja, tanpa mengambil makna dari sebuah peristiwa, dimana Ibadah seharusnya mampu mempertemukan kita dengan Tuhan.
Atau di dalam Alkitab misalnya: Tentang persembahan janda miskin. Menjadi sebuah keanehan jika menurut kuantitas (jumlah) bahwa janda ini memberi lebih banyak. Namun makna/substansinya adalah: pengorbanan. Mengapa? Karena jumlah hanya dapat dihitung oleh pengetahuan, tapi pemaknaan lebih kepada pertimbangan hati nurani (kualitas).
Sekarang pertanyaannya berganti untuk saat ini: "bagaimana mungkin kita semua tahu kalau internet bisa menyambungkan kita satu dengan yang lain?", bisakah kita menyentuh dan melihat jaringan wifi yang terkoneksi ke android kita?. Mengapa kita bisa percaya kalau internet itu ada, sementara kita tidak percaya kalau Roh Kudus itu menolong?. Kalau Internet menghadirkan fitur-fitur seperti FB, Instagram, dll, maka Allah dengan segala kuasaNya telah menghadirkan dunia sebagai platform untuk mengaktualisasikan diri dan memperkenalkan brand personality setiap orang. Dunia sebagai platform/ fitur/ menu inilah yang diciptakan oleh Allah supaya manusia memiliki program dalam hidupnya, supaya manusia memiliki tujuan, supaya manusia punya rencana kerja, supaya manusia itu bisa terkoneksi dengan seluruh ciptaan, dan melalui itu semua manusia dapat terkoneksi dengan Allah.
Jadi, dunia yang mestinya kita kenal adalah dunia yang menampilkan platform/fitur/menu Imago Dei (gambaran Allah). Maka sangat tegas di dalam teks ini (ay. 16-17): ....karena Allah mengasihi dunia, maka Yesus diutusNya, bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menyelamatkan, supaya dunia  yang percaya beroleh hidup yang kekal... Pertanyaannya: Masikah kita memusuhi dunia, sementara Allah mengasihiNya?.