Mohon tunggu...
Ahmad Mustain
Ahmad Mustain Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jika "Millenials" Jadi Politisi

10 Oktober 2017   20:03 Diperbarui: 10 Oktober 2017   20:13 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mereka tidak terlalu percaya pada perusahaan besar dan iklan sebab lebih mementingkan pengalaman pribadi ketimbang iklan atau review konvensional. Dalam hal pola konsumsi, banyak dari mereka memutuskan untuk membeli produk setelah melihat review atau testimoni yang dilakukan oleh orang lain di Internet. Mereka juga tak segan-segan membagikan pengalaman buruk mereka terhadap suatu merek.

Dengan demikian, millenials lebih cenderung untuk 'mencari' sendiri informasi daripada 'mendapatkan' informasi. Hal ini dapat berpengaruh baik terhadap pola evaluasi kerja, dimana pejabat dan politisi saat ini lebih mementingkan nama besar partai politik misalnya.

Contohnya saja partai Golkar dan PDI-P. ICW pernah merilis data partai yang terlibat korupsi sejak tahun 2002 hinga 2014. Partai PDI-P dan Golkar berada pada posisi pertama dan kedua, dengan total 270 kasus korupsi. Ironisnya, kedua partai tersebut malah mendapatkan suara terbanyak pada pemilu 2014. Artinya, pemilih saat itu masih memperhatikan nama besar partai. Berulangkali partai besar terlibat korupsi, namun angka keterpilihannya masih tinggi.Hal berbeda mungkin akan terjadi jika generasi millenial mengisi mayoritas politisi dan mayoritas pemilih.

Millenials juga memiliki hasrat untuk selalu menjadi yang terdepan ketika sudah berkaitan dengan teknologi. Gadget yang digunakan menentukan citra di mata orang lain. Selain itu millenials cenderung melakukan transaksi secara cashless. Artinya, dimasa yang akan datang segala transaksi akan sangat canggih dan praktis.

Bagaimana dengan penyakit sosial yakni korupsi yang dapat menjangkit siapa saja termasuk politisi? Korupsi adalah bahaya laten, yang bisa terjadi kepada negara dengan sistem paling bersih sekalipun. Millenials dapat merancang sistem yang lebih transparan, di mana aliran uang negara dapat dipantau dengan jelas. Jika sudah banyak orang yang menggunakan sistem cashless, tentu suap dan gratifikasi bisa dicegah. Semboyan anti-pungli dan suap bisa saja terealisasi, tidak seperti sekarang.

Namun demikian, kemapanan millenials dalam menggunakan teknologi bisa pula menjadi cara baru dalam melakukan korupsi. Bisa saja bentuk korupsi di masa depan akan lebih canggih dan bersifat siber. Bentuk suap akan lebih praktis dan bisa saja tidak berbentuk uang. Karena kecenderungan korupsi dan tidak pernah puas adalah sifat alami manusia.

Perkembangan politik tidak stagnan dan akan berkembang mengikuti zaman. Millenials mungkin akan menguasai dunia politik beberapa tahun kemudian. Ketika generasi tersebut memegang posisi pembuat kebijakan, tentu pada saat itu harus menyesuaikan pula dengan generasi berikutnya, entah apalagi sebutan mereka nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun