Mohon tunggu...
Ringga Arif Widi Harto
Ringga Arif Widi Harto Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM. Biar orang laen yang menilai. Silakan mampir ke blog pribadi saya: http://kuasa-pena.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Meneguhkan Jogja Kota Republik

10 Maret 2012   13:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:15 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tercatat dalam lembaran sejarah perjalanan bangsa Indonesia, Yogyakarta pernah menjadi ibukota negara sejak 4 Januari 1946-27 Desember 1949. Akibat kegentingan dan situasi tidak kondusif karena serbuan Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia, ibukota negara Jakarta berpindah ke Yogyakarta atas tawaran terbuka dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada Pemerintah RI.

Dengan kepindahan tersebut, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menanggung seluruh biaya untuk keperluan sehari-hari pemerintahan Indonesia, termasuk gaji pegawai, kesehatan, dan perumahan. Hal ini dikarenakan republik yang masih berumur jagung belum memiliki keuangan yang cukup. Bukan hanya sumbangan materi, pemikiran dan tenaga juga diberikan oleh Ngarsa Dalem demi tegaknya kedaulatan Indonesia. Terbukti tatkala Yogyakarta dikepung Belanda pada Agresi Militer II, Sultan dengan tegas menjamin keamanan para pemimpin bangsa. Bahkan ketika Belanda akan masuk ke dalam kraton, di depan pintu Sultan menghadangnya, “Tuan-tuan jika ingin menggeledah masuk kraton ini, langkahi dulu mayat saya”. Belanda gentar dengan ucapan Sultan yang berwibawa tersebut, mereka tidak jadi masuk untuk menggeledah pejuang republik yang diduga berada di dalam kraton. Selain itu, Sultan juga menjadi inisiator Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai bukti kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada.

Tak dapat dipungkiri, jasa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) teramat besar bagi kelangsungan tegaknya Negara Indonesia. Apa jadinya Republik Indonesia jika saat itu Yogyakarta tidak menawarkan bantuan dan berdiri di balik Pemerintah RI? Pantas kiranya Yogyakarta mendapat status istimewa, melihat dari latar historisnya sebelum Indonesia merdeka Yogyakarta merupakan negeri berdaulat yang diakui oleh Kerajaan Belanda. Secara sosiologis Yogyakarta itu kawah candradimuka yang membentuk pemikir-pemikir bangsa, dan demokrasi juga terbentuk dengan melibatkan pelbagai kultur. Tercatat nama Ki Hajar Dewantara, Ahmad Dahlan, Pangeran Diponegoro, Wahidin Sudirohusodo, Suryopranoto, dan masih banyak tokoh yang merasakan kearifan lokal Yogyakarta turut serta berperan dalam kancah pergerakan nasional.

Namun sepertinya para elite politik birokrasi pusat enggan mengingat peran besar tersebut, dan ingin menghilangkannya dengan mereduksi status keistimewaan. Kraton sebagai institusi budaya harus diletakkan pada kedudukan tinggi sebagai penjaga nilai-nilai budaya dan simbol pemersatu keragaman yang ada di Yogyakarta. Padahal keistimewaan pada hakekatnya melekat pada Yogyakarta sejak resmi menyatakan bergabung dengan Indonesia (Maklumat 5 September 1945). Konstitusi UUD 1945 pasal 18B sebenarnya juga telah menjamin keistimewaan suatu daerah, tetapi pemerintah terkesan memaksakan kehendak yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Yogyakarta. Polemik berkepanjangan ini, terlebih dalam mekanisme pengisian jabatan gubernur sudah sepatutnya pemerintah mendengarkan keinginan masyarakat, toh kebijakan undang-undang itu nantinya dalam tataran praksis juga demi kepentingan masyarakat.

Keistimewaan harus dilihat secara menyeluruh menyangkut suksesi kepemimpinan, pertanahan, kebudayaan, dan penganggaran untuk pembangunan. DKI Jakarta, Aceh, dan Papua masing-masing telah memiliki undang-undang tersendiri yang mengatur kekhususan dan keistimewaan daerah. Untuk Aceh dan Papua, banyak korban yang melayang akibat memperjuangkan hak “istimewa” tersebut. Rakyat Yogyakarta memang selama ini diam, karena kultur Jawa yang tenang, tidak mudah terprovokasi kericuhan dan jika menyuarakan aspirasinya dengan damai. Tapi ada yang perlu diketahui oleh pemerintah pusat, jangan memancing kemarahan masyarakat Yogyakarta, karena kesabaran pasti ada batasnya.

Oleh karena itu pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta harus berjalan cepat dan tepat, berlarut-larutnya pembahasan ini menyebabkan pelbagai masalah bermunculan. Ingatlah bahwa hakekat demokrasi itu mendengar suara Tuhan di balik suara rakyat (vox populi vox dei)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun