Mohon tunggu...
Reyhan Alghifari
Reyhan Alghifari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kesejahteraan Sosial

Mahasiswa - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Siapa Sajakah Wanita-Wanita Yang Haram Untuk Di Nikahi? QS.Annisa Ayat 22-24

21 Mei 2024   18:20 Diperbarui: 21 Mei 2024   18:24 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Wanita yang haram untuk dinikahi yaitu wanita yang sudah menjadi istri ayahnya,istri anak lelaki,yang masih dalam ikatan pernikahan dan yang memiliki hubungan darag terlalu dekat seperti saudara kandung,saudara tiri dan saudara sepersusuan itu haram untuk dinikahi . Orang jahiliyah dulu memiliki kebiasaan menggantikan posisi ayahnya jika sudah wafat termasuk menggantikan posisi ayahnya sebagai suami dan hal itu kemudian diharamkan dalam islam.

Dalam perihal ini, Allah berfirman dalam QS Annisa ayat 22 – 24:

وَلَا تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ اٰبَاۤؤُكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَۗ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً وَّمَقْتًاۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا٢٢

Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. Annisa : 22) 

Isi kandungannya : 

Pertama, Firman Allah “Dan janganlah kalian kawini Wanita Wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” disebutkan : sesungguhnya dahulu para anak boleh menikahi bekas istri bapak mereka dengan keridhoan setelah ayat ini turun : “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa …” (QS. Annisa : 19). Lalu turunlah surah annisa ayat 22, sehingga hal itu menjadi haram karena menikah menimbulkan jima’ dan kehidupan berkeluarga, dan jika seorang ayah menikah dengan seorang Perempuan,ia menggaulinya tanpa pernikahan, maka Perempuan itu pun diharamkan atas anaknya.

Kedua, مانكم"Wanita-wanita yang telah dikawini” Ada pula yang berpendapat maksudnya akad yaitu pernikahan ayah kalian yang tidak sah, yang menyelisihi agama Allah, dimana Allah telah menentukan hukum-hukum dalam perkara nikah dan memperinci syarat-syaratnya. Inilah yang dipilih oleh Ath-Thabari. Ada beberapa kabilah dalam bangsa Arab yang mempunyai tradisi seorang anak menguasai istri ayahnya, kisah ini telah diketahui di kalangan Anshar dan kaum Quraisy, hal ini diperbolehkan dengan keridhaan. 

Ketiga, Firman Allah SWT yaitu masa lampau dan telah berlalu. Dan arti kata السلف adalah orang-orang yang lebih dulu hidup, seperti ayah dan sanak-keluarga, ini merupakan bentuk pengecualian yang terputus, atau artinya akan tetapi apa yang telah berlalu, maka jauhi dan tinggalkanlah. Ada yang berpendapat maksudnya dalam ayat tersebut ada dhamir, "Dan janganlah kalian kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu," jika kalian melakukan perbuatan tersebut, maka kalian akan dihukum dan disiksa, kecuali apa yang telah terjadi di waktu lampau. 

Keempat, Firman Allah SWT, " Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)." Kalimat ini diakhiri dengan celaan yang berentetan. Itu merupakan dalil bahwa perbuatan tersebut sangat buruk. Maksudnya itu  adalah larangan menggauli wanita yang telah digauli oleh ayahnya, kecuali perbuatan zina dengan wanita-wanita di masa jahiliyah tanpa adanya ikatan pernikahan, maka mereka boleh dinikahi dan boleh digauli. Ibnu Zaid berkata, "Oleh karena itu, pengecualian tersebut bersambung dan asal perbuatan zina tidaklah mengharamkan sesuai penjelasan yang akan datang." Wallahu a'lam.

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ اُمَّهٰتُكُمۡ وَبَنٰتُكُمۡ وَاَخَوٰتُكُمۡ وَعَمّٰتُكُمۡ وَخٰلٰتُكُمۡ وَبَنٰتُ الۡاٰخِ وَبَنٰتُ الۡاُخۡتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِىۡۤ اَرۡضَعۡنَكُمۡ وَاَخَوٰتُكُمۡ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَ اُمَّهٰتُ نِسَآٮِٕكُمۡ وَرَبَآٮِٕبُكُمُ الّٰتِىۡ فِىۡ حُجُوۡرِكُمۡ مِّنۡ نِّسَآٮِٕكُمُ الّٰتِىۡ دَخَلۡتُمۡ بِهِنَّ فَاِنۡ لَّمۡ تَكُوۡنُوۡا دَخَلۡتُمۡ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَاۤٮِٕلُ اَبۡنَآٮِٕكُمُ الَّذِيۡنَ مِنۡ اَصۡلَابِكُمۡۙ وَاَنۡ تَجۡمَعُوۡا بَيۡنَ الۡاُخۡتَيۡنِ اِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوۡرًا رَّحِيۡمًا ۙ‏ ٢٣ 

Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudarasaudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang lakilaki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Annisa 23) 

Isi kandungannya : Ayat yang mulia ini adalah ayat yang menerangkan haramnya mahram berdasarkan nasab (keturunan) dan hal-hal yang mengikutinya berupa persusuan dan kemertuaan. " Diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibunu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan." Abu Sa'id bin Yahya bin Sa'id telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: "Yang diharamkan karena nasab ada tujuh dan karena kemertuaan ada tujuh, kemudian ia membaca,Diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibumu; anak anakmu yang perempuan; sandars-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan," mereka lah (mahram dari) nasab. Karena ia adalah anak perempuan, maka ia masuk dalam keumuman ayat tersebut, sebagaimana madzhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Ada pendapat dari asy-Syafi'i yang membolehkannya, karena ia bukanlah anak menurut hukum syar'i. Sebagaimana ia tidak men Allah, Allah firman dalam masuk dapat syari'atkan bagimu tentang (perabagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu; babagian seorang anak lelaki sama dengan babagian dua orang anak perempuan," sesungguhnya ia tidak mendapatkan warisan menurut ijma”, maka ia pun tidak termasuk ke dalam ayat ini. Wallahu a'lam.

 وَّالۡمُحۡصَنٰتُ مِنَ النِّسَآءِ اِلَّا مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡۚ كِتٰبَ اللّٰهِ عَلَيۡكُمۡۚ وَاُحِلَّ لَـكُمۡ مَّا وَرَآءَ ذٰ لِكُمۡ اَنۡ تَبۡتَـغُوۡا بِاَمۡوَالِكُمۡ مُّحۡصِنِيۡنَ غَيۡرَ مُسَافِحِيۡنَ ؕ فَمَا اسۡتَمۡتَعۡتُمۡ بِهٖ مِنۡهُنَّ فَاٰ تُوۡهُنَّ اُجُوۡرَهُنَّ فَرِيۡضَةً ؕ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيۡمَا تَرٰضَيۡـتُمۡ بِهٖ مِنۡۢ بَعۡدِ الۡـفَرِيۡضَةِ ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيۡمًا حَكِيۡمًا‏ ٢٤

Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budakbudak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Annisa 24) 

Isi kandungannya : Firman Allah “kan juga kamu mengawini wanita-wanita yang bersuami kecuali budak budak yang kamu miliki." Artinya, diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita muhshan (yang bersuami), kecuali budak-budak yang kalian miliki, yaitu yang kalian miliki melalui penawanan. Maka, halal bagi kalian menggaulinya, apabila kalian telah istibra terhadap mereka, karena ayat ini turun berkenaan tentang hal itu. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri, ia berkata; "Kami mendapatkan satu tawanan wanita Authas yang telah memiliki suami. Kami tidak suka menjima mereka sedangkan mereka bersuami, maka kami menanyakan hal itu kepada Nabi, lalu turunlah ayat ini: “maka kami menghalalkan kemaluan- kemaluan mereka riwayat (at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Muslim dalam Shabihnya)”

Sekelompok ulama Salaf berpendapat bahwa menjual budak wanita merupakan perceraian dari suaminya, mengambil keumuman ayat ini. Akan tetapi Jumhur ulama, baik dahulu maupun yang sekarang telah menyangkal pendapat mereka, yaitu mereka berpendapat bahwa penjualan budak wanita tidak otomatis merupakan perceraian baginya dari suaminya, karena pembeli merupakan wakil dari penjual. Sedangkan penjual telah mengeluarkan pemanfaatan budak ini dari kepemilikannya. Mereka berpegang pada hadits Barirah dalam masalah ini yang ditakhrij dalam ash-Shahihain dan lain-lain; "Sesungguhnya "Aisyah Ummul Mukminin membelinya dan memerdekakannya serta perkawinannya tidak batal dengan suaminya yaitu Mughits, bahkan Rasulullah mempersilahkan memilih antara cerai atau terus. Maka, ia memilih cerai. Kisahnya cukup terkenal, maka seandainya penjualan budak-budak wanita merupakan perceraian sebagaimana yang mereka katakan, maka Nabi tidak akan mempersilahkan memilih. Tatkala Nabi mempersilahkan Barirah untuk memilih, maka hal itu menunjukkan tetapnya pernikahan tersebut. Sedangkan yang dimaksud dari ayat itu adalah wanita-wanita tawanan saja. Wallahu a'lam.

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa menikah dengan Wanita yang mahram itu dilarang oleh Allah dan haram hukumnya. Ayat-ayat tersebut dari Surah An-Nisa ayat 22-24 secara tegas melarang seorang laki-laki untuk menikahi wanita yang sudah menjadi istrinya ayahnya, atau telah menjadi istrinya anak lelaki atau anak perempuannya. Pendapat penulis atas larangan ini adalah larangan ini bertujuan untuk menjaga kehormatan keluarga dan mencegah terjadinya kebingungan dan kerancuan dalam hubungan keluarga. Dalam Islam, hubungan keluarga memiliki nilai-nilai yang sangat penting, dan larangan seperti ini ditetapkan untuk melindungi integritas dan moralitas keluarga. Selain itu, larangan ini juga menunjukkan pentingnya menghormati batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh agama dalam membangun hubungan yang sehat dan bermartabat. Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya dan hukum hukum-Nya agar manusia bisa mengambil pelajaran. Dengan demikian manusia dapat melaksanakan perintahNya dan menjauhi larangan-Nya. Maka akan terwujud tujuan penciptaan manusia, yaitu mengabdikan diri kepada Allah semata. Wallāhu ta’āla a’lam.

Creator : Reyhan Alghifari

Advisor : Dr. Hamidullah Mahmud, Lc., M.A

Higher Education : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun