Mohon tunggu...
Scientia Afifah
Scientia Afifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - a long life learner

mengeksplor isu sosial, psikologi, perempuan dan keluarga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Healthy Life Style sebagai Sebuah Budaya Populer

5 April 2022   09:32 Diperbarui: 5 April 2022   09:35 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pandemi Covid-19 melahirkan kesadaran bagi masyarakat global bahwa kesehatan adalah hal yang berharga. Diskursus yang muncul bukan hanya sebatas penanganan dan mitigasi yang tepat dari pemerintah dan pesan bagi masyarakat untuk selalu menerapkan protokol kesehatan, tetapi juga penekanan pentingnya menjaga daya tahan tubuh melalui beragam cara. 

Ada yang mulai konsisten makan sayur dan buah-buahan, minum vitamin, rajin bersepeda, sampai mulai berolahrga walau hanya di rumah beralas kasur. Maraknya gaya hidup sehat ini memunculkan sebuah pertanyaan apakah hal tersebut merupakan keadaan yang menjelma menjadi sebuah budaya populer?

Pada mulanya istilah budaya populer (pop culture) tidak dikenal. Sebuah term yang merujuk pada sebuah budaya yang berlawanan dengan budaya elitis (high culture) disebut dengan budaya rendah (low culture), seperti video musik, permainan, gulat profesional, mural, balap mobil, dan berbagai aktivitas lain yang tidak membutuhkan proses pembelajaran yang serius (Martin & Nakayama, 2018).

Berbeda dengan high culture yang lazimnya bermuatan transenden dan terkesan abadi, low culture tersebut sifatnya temporal dan material. 

Beberapa dekade selanjutnya, seiring robohnya tembok pemisah antara kelas sosial dan meningkatnya kesadaran komunikasi antarbudaya, maka muncul sebuah sudut pandang baru yang melahirkan istilah popular culture. Ia tidak lagi dipandang sebagai sebuah budaya kelas sosial yang menengah-rendah, tetapi merujuk pada sebuah sistem atau budaya yang banyak orang ketahui dan berbagi mengenai informasi tersebut (Brummet dalam Martin & Nakayama, 2018).

Lebih lanjut, Martin & Nakayama (2018) memaparkan empat ciri khas dari budaya populer yaitu pertama, ia diproduksi oleh industri budaya, kedua terdapat perbedaan dengan folk culture, ketiga ia terdapat di mana-mana dan keempat ia berperan untuk mengisi fungsi sosial. Kaitannya dengan industri, Fiske (dalam Martin & Nakayama, 2018) menuturkan bahwa budaya populer nyaris selalu dijadikan komoditas ekonomi oleh sistem kapitalis agar dapat menghasilkan keuntungan yang masif. 

Salah satu contoh dari industri yang berkecimpung di bidang budaya dan membentuk budaya populer adalah Disney Corporation,  di mana ia tidak hanya menjual hiburan berupa film, tetapi juga arena bermain, pakaian, sepatu, baju hingga merchandise. Penggemarnya pun tidak hanya anak-anak, tetapi kadang juga kalangan remaja hingga dewasa dari berbagai kelas sosial.

Jika meninjau dari ciri khas budaya populer tersebut, gaya hidup sehat yang marak digaungkan oleh sebagaian masyarakat juga memiliki ciri khas yang sama dengan budaya populer lainnya. Ia bangkit dari kesadaran kelompok kecil masyarakat, hingga menjadi kesadaran massa dan diangkat menjadi sebuah industri yang menghasilkan keuntungan besar. 

Bersepeda misalnya, sebagai sebuah olahraga yang tergolong mudah dan dilakukan oleh orang banyak, sempat mengalami kenaikan popularitas secara drastis di tengah masyarat ketika awal pandemi dan memberikan keuntungan ekonomis bagi industri sepeda. Sejumlah platform e-commerce, seperti Bukalapak hingga Tokopedia mencatatkan kenaikan penjualan produk sepeda hingga empat kali lipat selama pandemi (Annur, 2020). 

Lebih spesifik, sepeda yang dicari pada masa itu adalah sepeda lipat dan sepeda gunung. Penjualan terkait dua jenis sepeda tersebut naik tiga hingga empat kali lipat meskipun dibanderol dengan harga dua sampai tiga juta.

Namun terjadi penurunan penjualan dalam kurun waktu setahun terakhir di mana daya beli masyarakat menurun dan minat masyarakat untuk bersepeda tidak lagi sebesar dua tahun lalu. 

Ketua Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo) Eko Wibowo Utomo mengungkapkan bahwa jika di awal pandemi penjualan bisa mencapai 100 hingga 200 unit setiap hari, saat ini menurun drastis menjadi hanya 1 hingga 3 unit perhari (Rahayu, 2022). Ini menunjukkan bahwa olahraga sebagai budaya populer, meskipun sempat berada di mana-mana dan jamak diketahui orang, namun sifatnya lebih temporal.

Meskipun demikian, tetap terdapat sekelompok orang yang menggemari olahraga tertentu meskipun lonjakan peminat tidak meningkat drastis, dan menjadikannya sebagai bagian dari budaya populer. Basket misalnya, meskipun awalnya hanya dipandang sebagai olahraga untuk memperkokoh fisik, namun seiring berjalannya waktu basket mengundang industri untuk mempopulerkan dan menjadikannya sebagai sebuah komoditas dengan hadirnya perusahan sponsor (Sudirman dalam Ika, 2013). 

Poster, merchandise hingga kaos olahrga dan sepatu basket memiliki penggemar tersendiri yang tak keberatan jika barang-barang tersebut dijual dengan harga tinggi. Sepatu basket tidak hanya digunakan di lapangan basket untuk berolahrga, tetapi juga menjadi atribut untuk bergaya ketika berjalan bersama teman-teman sebaya untuk acara informal. 

Penggunanya pun tidak hanya dari kalangan kelas tertentu, tapi juga melintas batas latar belakang ekonomi karena industri asesoris berlomba menghadirkan barang dengan harga yang murah walaupun dengan kualitas yang berbeda-beda.

Gaya hidup sehat yang meningkat dan menjadi budaya populer tidak hanya tampak dan kesukaan terhadap salah satu olahraga, tetapi juga dari pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi. 

Secara global, menurut Survei Industri Organik 2021 yang dirilis Organic Trade Asosiation (OTA), reputasi organik naik luar biasa, hingga disebut sebagai pertumbuhan yang dramatis. Data OTA mencatat, penjualan makanan organik di Amerika Serikat pada 2020 naik 12,8 persen dengan nilai total 56,4 miliar dolar AS (Salampessy, 2021). Pertumbuhan peningkatan permintaan makanan organik di Indonesia mencapai 15--20%, didorong dengan adanya kemampuan daya beli (Kompas, 2019).

Budaya populer memungkinkan banyak orang dengan aneka latar belakang mengidentifikasi diri mereka secara kolektif (Apollo, 2020). Dengan demikian, budaya populer menjadi pengikat masyarakat karena adanya kesamaan cita-cita dan hobi, karena ada perasaan in grouping yang melahirkan gengsi ketika seseorang memiliki kesamaan dengan teman sebayanya. Dalam hal ini, budaya populer menjalankan perannya di aspek sosial.

Perkembangan gaya hidup sehat ini didukung pula oleh kecepatan teknologi dan media sosial untuk menyebarakan informasi. Seorang pesepeda atau pelari yang sudah selesai menempuh kiloan meter untuk berolahrga misalnya, memotret catatan pencapaian dan mempublikasikannya ke media sosial sehingga orang lain yang melihatnya menjadi tertarik bahkan tertantang untuk mengikuti kegiatan serupa. Dalam hal ini, budaya populer menggunakan media massa sebagai agen untuk meningkatkan popularitasnya. 

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Bungin (dalam Widyatmoko, 2014) di mana media massa mempengaruhi pembentukan budaya populer yang dikonstruksikan kepada masyarakat. Di era digital, seringkali hal yang menarik untuk diangkat di media massa adalah hal yang tengah jamak di media sosial (Martin & Nakayama, 2018).

Sejauh mana sebuah budaya populer mempengaruhi seorang individu kembali kepada bentuk penerimaan terhadap budaya tersebut. Sebagaimana kompleksitas manusia dengan pemikiran dan latar belakangnya, pengaruh budaya populer juga berrbeda pada tiap individu.

Ada yang menyentuh hanya di permukaan dan sifatnya lebih temporal, ada pula yang sampai pada tataran perubahan karakter dan kepribadian, bahkan ada yang menolak dan enggan untuk ikut arus popularitas yang marak. 

Hal ini juga mempengaruhi sejauh mana budaya populer itu bisa mempertahankan kemasyhurannya. Sejauh mana gaya hidup sehat ini bisa bertahan, kembali pada sejauh mana masyarakat Indonesia memposisikannya bukan hanya karena takut tertinggal (fear of missing out), tetapi juga kebutuhan dalam keseharian. 

DAFTAR REFERENSI

Annur, C. M. (2020). "Penjualan Sepeda di E-Commerce Naik Hingga 4 Kali Lipat Selama Pandemi" , https://katadata.co.id/agustiyanti/digital/5f1fbb6a1f608/penjualan-sepeda-di-e-commerce-naik-hingga-4-kali-lipat-selama-pandemi

Apollo. (2020). "Apa Itu "Budaya Populer"", https://www.kompasiana.com/balawadayu/5e2eaa7f097f3609f65d2192/apa-itu-budaya-populer

Ika. (2013). "Basket Turut Pengaruhi Perkembangan Budaya Ppuler Amerika. https://www.ugm.ac.id/id/berita/7851-basket-turut-pengaruhi-perkembangan-budaya-populer-amerika

Martin, J. N. Nakayama, T. K. (2018). Intercultural Communication in Contexts. New York: McGraw- Hill Education

Rahayu, A. C. (2022). Kinerja Penjualan Sepeda Terendah Dalam Lima Tahun Terakhir Ini Penyebabnya. https://industri.kontan.co.id/news/kinerja-penjualan-sepeda-terendah-dalam-lima-tahun-terakhir-ini-penyebabnya

Salampessy, S.H. (202). "Tren Makanan Organik Terus Meningkat Saat Pandemi", https://rri.co.id/ekonomi/1271237/tren-makanan-organik-terus-meningkat-saat-pandemi

Widyatmoko. (2014). Gaya Hidup Urban Jakarta dan Budaya Populer (Studi Kasus The Color Run CIMB NIAGA).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun