Review Buku oleh: Siti Chaerani
Kelas : 4A Sosiologi
Identitas Buku :
Judul         : Muslimah Feminis Penjelajah Multi Identitas
Penulis       : Neng Dara Affiah
Penerbit      :Nalar Jakarta. Email : nalar@nalar.co.id Web : http://nalar.co.id
Kota Terbit. Â : Jakarta
Tahun terbit  : April 2009
Ukuran Dimensi Buku : 13 x 20 cm
Tebal Buku   :122 Halaman
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â : 10: 979-26-9021-2Â
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â : 13: 978-979-26-9021-7
Buku dengan judul "Muslimah Feminis : Penjelajah Multi Identitas ini merupakan karya dari Dr. Neng Dara Affiah M.Si. Beliau adalah salah satu dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mengajar di program studi Sosiologi dengan mata kuliah Metode Kualitatif. Dari judul buku yang tercantum dapat dipahami, bahwa buku ini menceritakan tentang multi identitas pada manusia, sesuai kultur di Indonesa dengan berbagai keragaman yang meliputi agama, etnis, gender, negara. Beliau menulis menggunakan metode penelitiannya yaitu metode penelitian kualitatif, yang mana buku tersebut merupakan pengalaman pribadi penulis sepanjang hidupnya sebagai seorang muslimah feminis. Artikel yang ditulis di kompasiana ini bertujuan untuk mereview buku Muslimah Feminis dari sudut pandang fenomenologi, gender, dan biografi penulis.
Buku ini terdapat empat bab yang berisikan beberapa judul cerita, buku ini tidak terlalu tebal tetapi banyak makna yang disampaikan. Menurut saya buku ini menarik untuk di baca selain dapat pengetahuan baru, pembaca juga akan ikut merasakan perjalanan yang penuh penghayatan dari lika liku kehidupan penulis dan menceritakan secara nyata kehidupan yang terjadi dari berbagai manusia dengan ragam identitas yang melekat padanya.Â
Di setiap judul per bab nya buku ini diawali dengan kata Aku. Bab pertama "Aku dan Etnisitas". Bab kedua "Aku sebagai Muslim". Bab ketiga "Aku sebagai Perempuan. Dan yang terakhir pada bab keempat berjudul "Aku sebagai Anak Bangsa. Buku yang ditulis oleh Neng Dara Affiah ini jika di analisis dapat dilihat dari sudut pandang fenomenologi.  Penulis secara aktif menginterpretasikan pengalaman nya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya dengan meliputi jarak, waktu, hubungan manusia, dan tempat tinggal, yang mana semua itu akan mempengaruhi setiap pengalaman manusia. Penulis secara rinci menceritakan atau menginterpretasikan pengalaman nya melalui buku yang ditulisnya, dimulai dari Bab pertamanya yaitu "Aku dan Etnisitas". Sebuah kelompok etnis merupakan kategori populasi yang khas di dalam masyarakat menyangkut kebiasaan, norma-norma dan gaya hidup pada umumnya yang biasanya berbeda dengan etnis yang lain. Etnisitas amat melekat dalam diri seseorang sebagaimana identitas agama. Banten adalah etnisitas di mana penulis dilahirkan. Agama yang dianut sebagian besar orang Banten adalah Islam, terdapat juga orang pendatang yang beragama Kristen. Keislaman di Banten sangat kental, karena itu orang Banten mempunyai kedekatan emosional dengan orang Cirebon, Aceh, Makassar dan Padang yang sama-sama kuat identitas keislamannya. Kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Banten ini secara sederhana terdiri dari beberapa kelompok. Pertama, kelompok menak yang umumnya menjadi pegawai negeri di instansi-instansi pemerintah di kota kecamatan maupun guru-guru sekolah negeri. Terdapat juga kelompok Muslim Modernis, yang kuat akan simbol-simbol Islam, yang rata-rata orangnya  menjadi tokoh dari partai Islam tertentu.  Dilingkungan penulis yang kental akan keislaman nya tersebut, penulis juga berasal dari keluarga yang taat beragama. Keluarganya menganut aliran Nahdlatul Ulama dan masyarakat di sekitarnya pun mempraktikkan peribadatan bercorak NU. Nahdlatul Ulama identik dengan membaca doa qunut saat salat Subuh, tahlilan, Maulidan (memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw.), Rajaban (Isra Mi'raj), nujuh (peringatan tujuh hari orang meninggal, matang puluh (peringatan empat puluh hari orang meninggal), dan khaul (peringatan tahunan orang meninggal). Kelompok etnis dan tradisi-tradisi di tempat tinggal penulis di ceritakan secara rinci pada bab ini.Â
Sebagaimana pada Bab selanjutnya, yaitu Bab Kedua "Aku Sebagai Muslim". Pada bab ini penulis menceritakan pengalaman nya mengenai tradisi dan keilmuan Islam. Saat Neng Dara Affiah memasuki sekolah dasar islam, hal pertama yang dipelajari mengenai dasar-dasar agama Islam adalah ia belajar membaca Alquran dengan mengenal huruf dan merangkaikannya. Selain itu, ia juga belajar ilmu-ilmu keislaman seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu akhlak, hadis, sejarah Islam. Di samping sekolah formal, Neng Dara juga banyak membaca buku di rumah. Cerita-cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia dan cerita fiksi kontemporer adalah buku favoritnya. Selain membaca buku tentang Islam, ia juga membaca buku-buku yang diperuntukkan untuk orang dewasa. Ketika itu beliau membaca Majalah Islam Panjimas, majalah ini membuka wawasan beliau tentang Islam dan dunia Islam. Semua bacaan itu memengaruhi cara pandangnya tentang Islam dan masalah-masalah sosial pada saat itu. Ketika Usia nya yang masih sangat kecil, ia memiliki kecenderungan paham teologi Wahabi yang mana paham ini menyerukan umat Islam kembali pada Alquran dan Sunnah serta menolak jenis tradisi yang dianggap bertentangan dengan Islam. Setelah tamat sekolah dasar beliau melanjutkan sekolahnya ke pesantren Al-Quran di Serang. Di pesantren ini ia merasa ada kejanggalan karena sifat pengajaran nya yang doktriner, pengajian yang tertutup dan tidak boleh berinteraksi dengan laki-laki. Akhirnya Beliau tidak betah dan memutuskan untuk pindah ke sebuah sekolah formal berstatus negeri yang berada di lingkungan pesantren. Di sekolah ini ia bersentuhan dengan Islam Tradisional dan menemukan ketenangan jiwa mengenai kesederhanaan, kerendahan hati, dan siap dalam menghadapi berbagai situasi yang mana merupakan ajaran yang diajarkan oleh Islam. Setelah lulus dari pesantren beliau melanjutkan pendidikan nya dengan berkuliah di IAIN Jakarta Program studi Perbandingan Agama. Di jurusan perbandingan agama, ia mendapatkan mata kuliah seperti Hinduisme, Budhisme, Kristologi, Konfusionisme, Sintonisme, dan lain-lain. Pelajaran terpenting dari agama-agama tersebut adalah belajar kearifan hidup yang disampaikan oleh para Nabi dan para arif bijaksana yang memimpikan sebuah dunia yang lebih baik dan damai yang jauh dari kemurkaan, keserakahan, dan konflik. Tetapi, keindahan dan kebaikan ajaran agama-agama tersebut seringkali bersebrangan dalam realitas penganutnya. Banyak bangsa, suku, kelompok masyarakat berperang dan bertikai karena penodaan agama dan banyak pula orang yang mengalami penderitaan tertentu hanya karena ia beragama tertentu. Terdapat pula fenomena ketika beliau ke Firlandia untuk menjadi pembicara pada acara konferensi gerakan perempuan muda dalam aktivitas lintas agama di indonesia pada tahun 2000. Disini beliau menceritakan pengalaman nya sebagai Muslimah yang menjadi minoritas di Negara Barat. Di sana, ia bertemu dengan beberapa orang yang memiliki stigma bahwa Islam identik dengan poligami dan cadar. Kemudian untuk menjelaskan akan stereotip atau stigma tersebut beliau membuka mata dengan cara berdialog untuk saling mengenal, mendengar, dan memahami atas ras, Agama, maupun bangsa. Yang mana akan menyatukan pertautan jiwa antaranak manusia yang memiliki kebutuhan yang sama untuk saling menghargai, memahami dan mencintai.
Pada Bab ketiga "Aku Sebagai Perempuan". penulis menuliskan kisahnya yang terlahir menjadi seorang perempuan. Sama seperti agama, terlahir sebagai perempuan pun sudah seperti kodrat manusia yang tidak bisa dihindarkan. Sebagai perempuan yang terlahir dikeluarga yang kental dengan corak keislaman dan keturunan kyai, banyak aturan yang harus dipatuhi karena penulis dan keluarga dianggap contoh untuk masyarakat sekitar. Banyak tuntutan dan tekanan yang sangat ketat terutama dari ayah beliau yang dapat digambarkan sebagai sosok patriakal. Berawal dari aturan keluarga hingga sampai ketika ia menginginkan hak untuk memilih jalan hidupnya pun menjadi perdebatan dengan ayah nya, Neng dara saat itu sempat putus asa dan jatuh sakit. Pada kondisi tersebut ayah nya akhirnya luluh dan peduli terhadap pendirian anaknya, ketegangan pun mencair dan proses memahami berjalan baik antara beliau dengan ayahnya. Sehingga ayah nya pun tidak lagi memaksakan kehendaknya terhadap anak-anaknya dan mulai mempelajari yang namanya kesetaraan gender.
Pada Bab terakhir "Aku Sebagai Anak Bangsa". Penulis bercerita tentang Era Orde Baru hingga Era Reformasi di Indonesia, beliau merasakan pergolakan politik yang membuat Neng dara sempat tidak percaya pada penguasa. Sehingga beliau memberikan kontribusi nya sebagai anak bangsa dengan semangat menyuarakan aspirasinya terhadap pemerintahan kala itu, beliau terjun langsung dengan melakukan orasi serta berdemonstrasi tanpa mengenal rasa takut untuk membuat tanah air menjadi pulih pada kala itu. Jika di lihat dari cerita yang ditulisnya dalam buku sudah banyak kontribusi yang dilakukan penulis sebagai salah satu anak bangsa, mulai dari berbagi ilmu dengan teman-teman nya, menjadi pembicara di Firlandia, aktif dalam organisasi serta LSM perempuan, dan penulis juga banyak menyuarakan hak-hak perempuan agar terpenuhi.
Jika dilihat pada Bab ketiga dapat dinalisis dari perspektif gender, dengan judul "Aku Sebagai Perempuan" yang berfokus pada gender. Di bab ini terdapat kesenjangan gender, yang mana penulis yang terlahir sebagai perempuan dididik berbeda dengan kakak laki-lakinya, penulis harus terampil mengerjakan pekerjaan pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan rumah dan memasak. Hal serupa tidak terjadi pada kakak laki-lakinya. Ia bisa leluasa bermain dan bergaul dengan siapa saja, sewa komik, nonton film, nonton pertunjukan musik dan belajar di rumah teman. Ketika penulis berkuliah juga ia tidak bisa melakukan hal yang seperti dilakukan kakak laki-lakinya. Harapan orangtua terhadap penulis dan kakak laki-lakinya pun juga berbeda. Kakak nya diharapkan untuk menjadi pewaris utama dan penyambung tradisi keluarga, seorang ulama hebat, yang mempunyai ketinggian ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Kemudian kakaknya di kuliahkan di Mesir untuk kembali ke tanah air dengan ketinggian ilmu pengetahuan. Berbeda dengan penulis yang minimal memiliki wawasan yang hanya bermanfaat bagi diri dan lingkungan masyarakat terbatas. Hal itu sering terjadi di keluarga yang menganut sistem patriarki. Â Selain itu Penulis juga menceritakan sosok neneknya yang menjadi role model untuk dirinya. Neneknya yang bernama Hj. Masyitoh sangat menginspirasi beliau, neneknya adalah seorang muslimah feminis yang tidak pernah mengenal kata 'feminis' namun secara tidak sadar ia mempraktikan sikap feminis tersebut dalam kehidupan sehari-hari seperti kemandirian dan kemerdekaan atas dirinya. Neneknya sering menyuarakan hak-hak perempuan, hal itu pula yang sekarang dilakukan Neng Dara. Semenjak kuliah ia semakin rajin untuk mengikuti diskusi dengan LSM yang membahas mengenai perempuan. Bahan tidak jarang ia memberikan diskusi tentang kesetaraan gender dan keadilan atas hak-hak perempuan. Atas kegiatannya tersebut tidak jarang ada cacian yang menyudutkan Neng Dara karena terlalu berteori kebarat-baratan. Tetapi hal tersebut tidak mematahkan semangatnya untuk selalu mengikuti diskusi-diskusi lainnya mengenai perempuan. Â Neng Darajuga bergabung pada organisasi Fatayat NU yang bersentuhan dengan gerakan perempuan berspektif gender.
Dilihat dari biografi penulis yang secara jelas diceritakan dalam bukunya tersebut, Neng Dara Affiah berasal dari sebuah kota kecil di kawasan Banten, tepatnya di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. Lahir pada bulan April tahun 1970, anak pasangan dari ibu seorang guru agama dan ayah pemimpin pesantren sekaligus juga pemimpin masyarakat, beliau tinggal dilingkungan yang kental akan keislaman nya. Dengan mengutip dari pernyataan Clifford Geertz "karena etnisitas adalah penegasan sosial mengenai keberadaan seseorang dan dari tanah itulah seseorang berasal." Berasal dari daerah Banten yang menurutnya merupakan salah satu daerah pulau Jawa yang terkenal dengan Islam nya, namun beliau pun sadar bahwa Banten juga daerah yang terkenal kental dengan relasi agama, multi identitas etnis dan politiknya. Kemudian, Background pendidikan penulis dimulai dari sekolah dasar di sekolah islam yang dikelola langsung oleh keluarganya. Setelah lulus dari jenjang sekolah dasar, penulis melanjutkan pendidikannya ke pesantren Al-Qur'an di Serang. Dalam jenjang ini penulis mengenal suatu kelompok yang ada dalam pesantren, dan ikut menjadi bagian dalam kelompok tersebut. Dimana dalam kelompok tersebut ada pengajian rutin yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi yang mana hanya bisa diikuti oleh anggota kelompok itu saja. Namun setelah beberapa kali mengikuti pengajian tersebut, ada sesuatu yang mengganjal dalam batin sang penulis, akhirnya beliau memutuskan untuk pindah ke salah satu sekolah formal berbasis pesantren di Tasikmalaya. Selepas dari pesantren di Tasikmalaya, penulis ingin melanjutkan pendidikan nya dengan menempuh kuliah di IAIN Jakarta dengan jurusan Agama dan Filsafat. Tetapi terjadi perdebatan antara penulis dengan paman nya karena jurusan tersebut menurut paman beliau prospek kerja nya tidak jelas, jadi paman nya menyarankan untuk masuk ke jurusan Perbandingan Agama. Selama menempuh pendidikan dengan mempelajari ilmu Perbandingan Agama di IAIN "Syarif Hidayatullah " Jakarta (1993) dan mempelajari Ilmu-ilmu Sosial di Universitas Indonesia (2001). Ia juga pernah mengikuti pendidikan pendek untuk dialog Pluralisme Agama di Amerika (2004), pendidikan Hak-hak Asasi Manusia di New Zealand (2007), dan terlibat dalam berbagai pelatihan, workshop, konferensi dan seminar internasional tentang Hak-hak Perempuan di berbagai negara. Hingga sekarang beliau menjadi seorang sosiolog, pendidik dan penulis dengan membenamkan hidupnya dalam spiritualitas, intelektualitas, dan aktivisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H