Mohon tunggu...
Fauzia A
Fauzia A Mohon Tunggu... -

mahasiswa hubungan internasional tingkat tiga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hapus Saja Ujian Nasional

15 April 2015   09:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:05 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya masih sekolah, saya termasuk orang yang mendukung UN. Alasannya sederhana, karena saya tidak menganggap UN sebagai ancaman maha berat. Saya percaya dengan belajar keras dan berdoa pasti semua orang bisa lulus. Persiapan untuk UN pun sebenarnya sederhana, hanya dengan banyak latihan soal-soal tahun lalu dan try out resmi dari Dinas. Saya tidak mengerti paranoia akan UN dari banyak siswa, sehingga mereka menghalalkan segala cara untuk bisa lulus, atau bahkan memilih menikah daripada ikut ujian

Saya tahu banyak yang membeli kunci jawaban UN 70-80% dari teman angkatan saya melakukannya.  Yang membuat saya lebih kaget sebenarnya murid-murid SMA unggulan juga membeli kunci. Saya tahu anak-anak SMA itu luar biasa pandai, sering juara olimpiade. Nilai UN SMP paling tidak harus ada satu yang 100 agar bisa masuk SMA ternama itu. Ketika ditanya kenapa beli kunci, jawab anak SMA itu: “untuk meyakinkan saja hitunganku sudah benar”.

Setelah saya jadi mahasiswa, saya cenderung berpendapat bahwa sebaiknya UN dihapus saja. Saya masih yakin semua anak bisa lulus bila belajar keras, tapi ketika UN justru memaksa mereka melakukan kecurangan, apa gunanya? Saya takut bukannya mencetak generasi cerdas, kita justru mencetak generasi yang pintar menipu dan akhirnya ketika besar menjadi koruptor.

Ada beberapa hal yang membuat saya percaya UN harusnya dihapus. Pertama, meski UN sudah bukan standar kelulusan, kecurangan dan kebocoran soal masih saja terjadi. Adik saya yang sekarang sedang menjalani UN bercerita bahwa di grup LINE kelasnya ada yang membagikan link untuk mendownload soal UN keesokan hari. Bahkan katanya, kemarin ada anak yang membawa kertas soal persis sama seperti yang diujikan hari itu. Hal ini dipicu isu simpang siur dari Kemendikbud sendiri, seperti UN akan dijadikan salah satu standar untuk SNMPTN, sehingga siswa jadi ketar-ketir dan akhirnya mencari jalan pintas.

Kedua, adanya UN Online. Kalau pemerintah yakin dari Sabang sampai Merauke semua sekolah sudah punya komputer sejumlah siswa yang mereka miliki, jaringan internet yang lancar, dan listrik yang tidak byar-pet, wajar saja diadakan UN Online. Tapi kenyataannya, masih banyak sekolah yang bahkan tidak dialiri listrik. Kebanyakan sekolah pun mundur dari UN Online karena takut ada gangguan teknis selama ujian berlangsung.  Sebelum mewacanakan UN Online, mestinya Kemendikbud uji kelayakan dulu di seluruh Indonesia, seberapa siap institusi pendidikan untuk ujian itu.

Ketiga, UN yang diselenggarakan serentak hanya menghabiskan uang negara. Berapa miliar yang dikeluarkan untuk mencetak ribuan kertas dan segala biaya operasionalnya, belum lagi satu mata pelajaran saja ada 5 jenis soal yang berbeda?  Dana operasional UN bisa saja dialihkan untuk memperbaiki infrastruktur dan kualitas pendidikan di daerah-daerah terpencil, sehingga tidak ada lagi siswa yang harus susah payah meniti jembatan tali untuk pergi ke sekolah.

Jujur saja, saya merasa Kemendikbud tidak diisi orang-orang yang mampu. Saya yakin mereka tidak tahu kondisi sebenarnya di sekolah-sekolah, sehingga keputusan yang diambil selalu Jawa-centric, seakan-akan kondisi sekolah di Indonesia dapat direpresentasikan dengan keadaan di Pulau Jawa. Sebagai orang yang pernah belajar di pedalaman Kalimantan, saya tahu betapa berbedanya sekolah di luar sana dibandingkan dengan di Jawa, mulai dari fasilitas hingga tenaga pengajarnya. Akibatnya, justru guru-guru sendiri lah yang curang demi meluluskan siswanya. Saya ingat sekali ketika UN SD, saya dipesan guru-guru untuk membantu teman-teman saya yang “kurang mampu”. Ada juga guru yang memaksa melihat kertas ujian saya dan jawabannya kemudian diberitahu ke teman-teman lain.

Pihak Kemendikbud harus pula mewanti-wanti anggotanya untuk tidak sembarangan membuat statement. Dari bulan lalu, ada saja isu UN akan dibeginikan, dibegitukan, atau jadi standar SNMPTN. Hal ini sangat tidak bertanggungjawab karena mempengaruhi mental anak-anak yang akan ujian. Belum lagi, setiap pergantian kabinet, ada saja kebijakan yang berubah. Entah standar kelulusan yang selalu naik, atau mata pelajaran ditambah.

Akhirnya, menurut saya, berikanlah sekolah kewenangan mengadakan ujian sendiri untuk menentukan kelulusan siswanya. Saya yakin akan ada yang protes dengan argumen sekolah pasti meluluskan semua siswa. Tapi memang kenapa? Saya rasa tidak ada masalah, kalaupun ada siswa yang ternyata tidak mampu tapi tetap diluluskan, toh dia juga tidak akan mampu bersaing di jenjang yang lebih tinggi. Tidak semua sekolah juga dengan gampangnya meluluskan semua siswa. Sekolah saya pernah kukuh tidak meluluskan satu orang, meskipun dia lulus UN, karena banyak terlibat kasus tawuran.

Daripada mempertahankan sistem yang jelas-jelas merugikan, lebih baik Kemendikbud fokus pada revolusi mental generasi muda, sesuatu yang Presiden kita mungkin lupa menerapkan karena banyaknya masalah lain di negeri ini. Kecurangan yang sudah dianggap lumrah ini harus dilawan. Kita sudah terlalu lama menganggap lumrah berbagai hal yang sebenarnya jelek(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun