"Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China", begitu riwayat hadits yang sering dipesankan orang-orangtua pada anaknya. Saya juga sempat diberitahu demikian ketika masih kecil, tapi ternyata garis hidup membawa saya ke Prancis, bukan ke China, hehe.
Tapi intinya bukan China-nya, USA-nya, Aussie-nya, atau mungkin Indonesia-nya. Bukan tentang tempatnya.
Lalu ada juga yang bilang, "Sekolah yang rajin ya, menuntut ilmu itu harus setinggi-tingginya". Hmm, Pak Setya Novanto itu lulusan S2 Akuntansi lho, orang keuangan dan wakil rakyat, tapi bolak-balik kasus juga toh?
Intinya bukan setinggi-tingginya, bukan gelarnya, bukan tentang berderetnya tambahan-tambahan akronim di belakang nama kita.
Bahkan, seperti dilansir oleh para peneliti dari Universitas Warwick dalam artikel yang berjudul "Education may not improve our life chances of happiness", asumsi mengenai faktor sosioekonomi (termasuk juga pendidikan dan keuangan pribadi) bisa meningkatkan kualitas kesehatan kejiwaan seseorang ternyata tak sepenuhnya terbukti.
Menurut pimpinan riset, Profesor Sarah Stewart-Brown, "Hasil penelitian ini cukup kontroversial karena kami berharap dapat menemukan keterkaitan antara faktor sosioekonomi dengan sehatnya mental seseorang, sebab selama ini faktor sosioekonomi dianggap memiliki andil dalam penyakit kejiwaan. Jadi jika seseorang dengan pendidikan rendah rentan mengalami kelainan kejiwaan, maka pendidikan tinggi semestinya bisa dikaitkan dengan mental yang sehat. Namun ternyata hasilnya tidak demikian".
Kalau bukan tempat dan tingginya, lalu apa yang paling esensial dari sebuah pendidikan?
Ya. Semua itu tentang: Kamu belajar apa? Apa yang kamu pelajari?
Puisi favorit saya karangan WS Rendra melukiskan dengan apik bagaimana kalangan akademisi kadang menempatkan dirinya begitu tinggi bak di atas menara gading, namun ketika diminta turun ke masyarakat ia akan kikuk dan tak memahami medan. Judulnya, "Seonggok Jagung"
Aku bertanya,
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
Di sini aku merasa asing dan sepi?
Jadi...
Kamu belajar apa? Apa yang kamu pelajari?
Percuma ketika kita sekolah jauh-jauh atau tinggi-tinggi tapi kita tak memahami apa yang kita pelajari, apa esensinya, apa yang mau kita lakukan dengan ilmu yang kita miliki.
Jika ilmu yang kita pelajari tak lagi menyentuh inti hati dan tak membuat kita merasa senang mempelajarinya, jauh-jauhnya jarak dan tinggi-tingginya kesempatan hanya akan menjadi siksa yang beruntun, "Kok nggak selesai-selesai ya?", disinilah kadang lumrah ditemui homesick, ada kata-kata ingin menyerah, lalu stress dan jadi tak sehat batin maupun fisiknya.
Kesimpulannya, kata saya, boleh setuju boleh tidak: sekolah boleh dekat-dekat dan tidak harus selalu tinggi-tinggi!
Ya, ini saya yang bicara. Saya. Seorang anak yang memohon-mohon pada orangtua untuk diikhlaskan merantau jauh-jauh demi melihat dunia dan mengejar gelar sarjana. Jauh sekali. Saya sampai malas pulang karena perjalanannya sangat lama dan membuat badan pegal.
Ya, ini saya yang bicara. Saya. Karena saya melihat dan mendengar dengan mata dan telinga saya sendiri bagaimana anak-anak sering dibanding-bandingkan, dikomparasikan, dibentuk sesuai keinginan orangtua mereka.
"Contoh si A itu, sekolahnya di luar negeri"
"Contoh si B dong, udah jadi professor lho dia"
"Contoh si C, kuliahnya serius, dapet cum laude"
Padahal tidak semua yang berhasil sekolah di luar negeri, yang berhasil jadi professor, yang berhasil  lulus cum laude itu berhasil menjadi seorang "manusia". Ada yang menghalalkan segala cara: menyontek, nitip anak ke kerabat, ketika lulus dan kerja malah jadi koruptor... Role model seperti itukah yang mau kita sodorkan ke generasi muda?
Bukan.
Tiap anak punya kesukaannya masing-masing dan tujuan hidup mereka berbeda-beda. Ada yang memang tidak mau kuliah di luar negeri, dan ada yang memang tak mau sekolah tinggi-tinggi karena mereka memang mau langsung mengabdi. Contoh: adik saya.
Kami beruntung punya orangtua yang tak pernah membandingkan anak-anaknya karena karakter kami sangatlah berbeda. Saya memang suka aktivitas sosial dan ingin ke luar negeri sejak kecil, tapi Adik tidak, dan orangtua saya TIDAK PERNAH sama sekali berkata, "Contoh kakakmu itu kuliah sampai Prancis, ikut kegiatan A B C D", ya karena Adik saya memang punya jalan yang beda dengan saya!
Dia lebih suka kegiatan alam dan dunia penerbangan, mana ada interest untuk mampir ke panti sosial seperti saya?
Kalau ingin berlomba-lomba atau membandingkan anak anda dengan anak lain, bandingkanlah USAHANYA. Berlomba dalam menunjukkan daya juang, BUKAN gelar.
"Kamu itu mbok kayak si A, dia tekun banget belajarnya"
"Itu lho si B, ke luar negeri dengan biaya sendiri, tiap hari kerja dan nabung gak minta orangtua"
"Si C itu kamu lihat, dia kuliah sambil kerja di restoran lho, pinter deh bagi waktunya"
Dan sebagainya.
Memang kadang ada iri saat melihat anak lain kuliah di luar negeri atau sekolah tinggi-tinggi, saya tahu karena beberapa orangtua sering bilang begitu ke orangtua saya dan bahkan ke saya sendiri.
Memang berat untuk membesarkan buah hati di dalam standar masyarakat yang masih menomorsatukan gelar.
Memang berat.
Tapi saya mohon, dengan sangat.
Ibu saya selalu bilang, tiap anak istimewa dengan kemampuannya sendiri.
Tak perlu sekolah jauh-jauh dan tinggi-tinggi, kalau dia bangga sudah bisa jadi petani atau nelayan inovatif yang memberi makan seluruh negeri, tanah air sudah berhutang padanya.
Tak perlu sekolah jauh-jauh dan tinggi-tinggi, kalau dia bahagia dengan bisa mengajar anak-anak jalanan dan menghimpun sedekah untuk mereka, tanah air sudah berhutang padanya.
Maka...
Jangan pernah bangga hanya karena telah menyekolahkan anakmu jauh-jauh di luar negeri, jangan bangga hanya karena gelar yang mereka dapat dari pendidikan tertinggi.
Banggalah ketika anakmu mencintai apa yang mereka lakukan, ketika mereka berguna bagi bangsanya, ketika mereka hidup bahagia dan penuh syukur, ketika mereka ringan tangan untuk berbagi, ketika mereka bisa menemukan sisi positif dari guru kehidupan, ketika mereka berkata tidak untuk menyerah dalam keterbatasan, ketika mereka disayangi dan selalu dirindukan oleh lingkungan sekitarnya.
Tiap anak istimewa.
Dan kita tak harus berjauh-jauhan dulu untuk membuktikannya.
Lille, 19 Juli 2017
(Untuk Ayah dan Bunda, terima kasih karena telah selalu mengijinkanku menjadi aku, dan tak pernah menuntutku untuk jadi orang lain selain aku)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H