air mata menggenang
dada terguncang
rembulan pucat, duduk di sisi jendela
sepasang mata cinta enggan menyala
aku menjelma angin batu yang melesap ke kudukmu
2. Gerak
petang mengais, mengusir tangis
aku gadis, yang memuisi di tubuh dan kaki yang kau tulis
mungkin, di temaram rumahmu kutemukan ngilu
pada tiap detak jam, rindu memejam
lunglai memintal kental kopi yang kau suguhi
3. Mata Mantra
matamu adalah alun yang menjejak laknat
di otak
yang memendarkan sadar ke riak tanpa prahara
matamu, sepasang runcing taring yang menerkam kesenyapan
sebab, ada belantara cemara yang sengaja meriuhkan kata
4. Gugur
waktu uzur, melintang di bebaris sayap kupu-kupu
untuk hidup yang abu-abu
kita seperti abjad kaku, yang sudi membagi airmata pada kertas jelaga
sementara, hilir mudik keranda menunggu
meminta izin menggotong tubuhku
5. Ranjang
dosaku, bulir debu
di ranjangmu, aku nota penjumlahan dosa yang terus melelehkan airmata. cinta hanya bentuk pekik dan lenguh yang terbawa angin ke lengan nista. dalam sudut kegamangan yang meluap ke celah-celah jantung maut. matikan aku, matikan lilin yang bagimu suar, tapi buatku gentar. lepaskan perih pedih, lalu bawa kereta takdir ke ranjang yang baru. maka, aku percaya ada titik-titik pagi yang akan berdiri dan kau pahami. bahwa cinta bukan derit jerit, bukan kerat sayat, tapi ilham yang menyejukkan masa depan