Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kaulah yang Menciptakan Hantumu Sendiri

30 Agustus 2019   07:00 Diperbarui: 30 Agustus 2019   07:08 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: okezone.com

Hantu itu tidak ada, tetapi karena manusia membutuhkan hantu, maka diciptakanlah berbagai jenis hantu dalam kesadaran pikiran, seperti; kuntilanak, genderuwo, pocong, dan sebagainya.

Membaca topik pilihan dari Pengasuh Kompasiana, Kisah-Kisah Horor, sesunguhnya saya ragu untuk memulai menulis. Alasannya, saya tidak yakin mampu menuliskan kisah-kisah horor,  karena selain tidak pernah mengalami kisah horor dunia gaib, juga tidak menyukai kisah horor, baik cerita maupun film. 

Namun setelah pikir-pikir, dan karena mengulas tema politik lagi tidak mood, disebabkan  meyaksikan penomena horor politik hari ini, dimana hanya adu narasi kepentingan oportunis belaka, membuat semua ulasan politik yang saya tulis seperti tidak bermakna. 

Maka saya mencoba menulis tema horor ini. Itupun, saya tidak bercerita horor menakutkan, sebaliknya untuk tidak merasa takut pada horor hantu.

Sejak kecil ketika kita mulai mengenal realita dunia, orang dewasa sekitar kehidupan  kita memperkenalkan kesadaran bahwa ada  makhluk gaib hidup bersama kita yang disebut hantu. 

Nama sebutannya bermacam-macam tergantung daerahnya, ada yang menyebut kuntilanak, genderuwo, jurig,  jerangkong, di kampung saya disebut begu ganjang.

Semasa kecil di kampung halaman di Tanah Batak, Sumatera Utara, saya sangat takut pada hantu yang disebut Begu Ganjang. Meskipun belum pernah melihat makluk gaib ini, saya dapat membayangkan bagaimana mengerikan bentuknya berdasarkan penggambaran penduduk di kampung saya. 

Begu ganjang diartikan sebagai hantu berpostur sangat tinggi, penampakannya akan membuat yang melihatnya mengedahahkan kepalanya menatap sosok muka seramnya yang tinggi, saat itulah si penglihat dicekik lehernya hingga mati.

Isu  begu ganjang sering menjadi konflik sosial di desa, ketika seseorang atau sekeluarga dinista sebagai pemelihara hantu mengerikan itu. Sering kejadian, orang yang dipercaya pemelihara hantu tersebut dibunuh amuk masa yang curiga dialah pemelihara  dan menyuruh Begu Ganjang-nya mencekik penduduk desa yang meninggal tanpa penyebab yang jelas. 

Tanda-tanda pemelihara begu ganjang adalah seseorang yang ketahuan meyajikan tumbal ayam hitam di hutan pinggir desa untuk hantu peliharaannya. Sampai hari ini, sebagaian besar penduduk desa di tanah Batak masih mempercayai keberadaan begu ganjang yang menakutkan.

Menginjak masa remaja, masa sekolah SMP, saya mulai mempertanyakan pada diri sendiri, benarkah ada hantu? Meskipun saya mulai meragukan keberadaan hantu, karena memang belum juga pernah melihatnya, tetapi masih tetap takut pada Begu Ganjang dan juga hantu jenis lainnya. 

Terutama bila berjalan sendirian dimalam hari melalui tempat yang pernah saya dengar bahwa disitu angker karena pernah seseorang melihat penampakan hantu atau mendengar suara-suara rintihan, ratapan, jeritan,  atau suara-suara aneh lainnya.

Setelah tamat SMA, dapat dikatakan saya sudah tidak takut lagi pada begu ganjang dan segala jenis hantu. Pada perbincangan sesama teman sebaya, saya mulai berani berdebat bahwa hantu tidak ada. Argumen utama saya adalah, hantu belum pernah dilihat dan bukti-bukti keberadaannya yang selalu disampaikan tidak masuk akal. 

Namun kepada orang-orang tua, saya tidak berani membantah cerita-cerita kepercayaan mereka tentang keberadaan hantu, takut dibilang sombong dan angkuh.

Ketidak beranian saya membantah orang tua tentang kepercayaan hantu, ada kaitannya dengan praktek perdukunan yang masih sangat dipercayai penduduk, baik di desa maupun di kota, mulai dari yang tidak berpendidikan hingga sarjana. 

Perdukunan identik dengan kepercayaan kekuatan gaib, menurut saya hantu juga,  yang dapat merasuki jiwa bahkan membunuh manusia. Dukun dipercaya dapat menangkal pengaruh atau  mengusir hantu-hantu jahat tersebut. Ketika itu, menentang dukun sama dengan melawan orang tua atau orang tidak tahu adat.

Hari ini, dapat saya nyatakan seyakin-yakinnya bahwa hantu tidak ada. Bahkan, dalam perbincangan sehari-hari, saya tidak khawatir disebut sombong dan angkuh karena tidak takut pada semua jenis hantu.  

Termasuk tidak takut pada guna-guna dan praktek sihir yang disebut ilmu hitam perdukunan. Bahkan pada obrolan-obrolan santai bercanda, saya berani menantang agar mengguna-gunai saya  sebagai objek membuktikan kekuatan ilmu hitam para dukun paling sakti sekalipun.

Kembali kepada hantu, saya menyadari sangat sulit meyakinkan seseorang untuk tidak mempercayai apalagi tidak perlu takut pada hantu dan sejenisnya, ini menyangkut persoalan filsafat.  

Meskipun hari ini kita hidup dalam peradaban teknologi digital, kebanyakan penduduk Indonesia masih berkesadaran berpikir zaman primitif. Bukan soal gelar pendidikan, tapi kedangkalan kesadaran filosofis.

Ketakutan pada sosok hantu dapat ditelusuri kepada asal usul rasa takut manusia yang terbesar yaitu kematian. Menurut filsuf  termasyur Jerman Nietzsche, manusia selalu dalam cengkraman ketakutan dan membutuhkan pegangan. 

Kesadaran berpikir primitif, katakanlah seperti manusia zaman batu, mereka takut pada segala hal yang mengancam kehidupannya, kematian adalah yang paling menakutkannya. Agar merasa tenang maka manusia primitif membutuhkan pegangan keyakinan, bahwa ada kekuasaan gaib yang dapat melindunginya.  

Mereka meyakini bahwa kekuatan gaib tersebut tidak selalu akan melindunginya tetapi ada kalanya murka dan jahat. Oleh sebab itu, mereka harus menghormati, bila perlu menyembah kekuasaan gaib tersebut agar melindungi kehidupannya. Keyakinan inilah yang mendasari adanya kepercayaaan kepada hantu dan segala turunannya.  

Aliran filsafat idealis berpendapat bahwa, apa yang ada dalam ide pikiran, itulah yang ada.  Sesuatu yang tidak dapat dimaknai dalam ide kesadaran pikiran, maka esensinya tidak ada. Filsuf idealis rasionalis Descartes mengatakan; aku berpikir maka aku ada. 

Karena hantu ada dalam ide subjektifitas kesadaran berpikir manusia, maka hantu menjadi ada. Filsuf-filsuf kuno dan abad pertengahan umumnya menganut paham filsafat idealis.  

Sebaliknya dalam filsafat positipisme, sebagaimana empirisme saintifik, segala hal yang tidak dapat dibuktikan eksis secara objektif maka pada hakekatnya tidak ada. 

Hantu tidak dapat dibuktikan eksisitensinya secara objektif, maka hantu tidak ada. Karena esensi hantu hanya ada dalam ide kesadaran pikiran subjektif, bukan penomena eksis. 

Adapun kepercayaaan hantu dalam realita, hanya subjektifitas manusia dalam ide pikiran semata, sehingga dimaknai nyata adanya, padahal secara objektif hakekatnya tidak ada. Dengan kata lain, manusialah yang menciptakan hantu dalam pikirannya.  

Dalam proses pembentukan karakter manusia mengenal realita dunia, anak-anak merefleksikan dirinya sesuai realita disekitarnya. Dalam kesadaran berpikir sebagian besar orang Indonesia, masih percaya pada hantu dan makhluk gaib lainnya, maka  kepercayaan dan rasa takut itu diajarkan kepada anak-anak serta diwariskan turun temurun. 

Sayangnya ilmu filsafat tidak diajarkan di sekolah, sehingga meskipun sudah dewasa dan berpendidikan tinggi, tetap saja percaya dan takut pada hantu.   

Secara filosofis, perlunya pegangan keyakinan akan adanya kekuatan gaib tercipta dalam kesadaran berpikir karena manusia membutuhkanya. Karena menjadi kebutuhan, maka setiap orang, suku, atau daerah menciptakan hantu-hantu sesuai keinginan dan kebutuhannya masing-masing. 

Bahkan setiap orang dapat menciptakan sosok hantu yang dibutuhkan dan dinginkannya, baik dari sisi karakter dan rupanya. Sutradara dan artistik film-film horor, mengetahui betul sosok hantu yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun