Sejak lengsernya Soeharto, politik populis yang menghantarkan tokoh-tokoh idola pada zamannya menjadi Presiden, seperti Gus Dur, SBY, dan Jokowi. Rakyat tidak terlampau perduli dengan visi misi, yang lebih utama adalah idola.
Menyikapi wacana amandemen yang sudah bergulir, partai-partai politik, meskipun masih sebatas pendapat tokoh politisinya, menanggapi dengan berbagai pemikiran berbeda. Sependapat dengan PDIP, DPP PKB Abdul Kadir Karding dan Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi menyatakan sepakat mengamandemen UUD 1945. Namun mereka ingin membatasi agenda pada GBHN saja.
Sedangkan partai Golkar, Ketua Fraksi Golkar MPR Agun Gunandjar Sudarsa, mengatakan rencana amandemen harus dikaji mendalam terlebih dulu dengan melibatkan berbagai pihak, pengaktifan GBHN tak bisa cuma diserahkan sepenuhnya kepada MPR. Sedangkan Sekjen PPP Arsul Sani, menyatakan terbuka terhadap rencana kembalinya UUD 1945 dengan penekanan pada perlunya mengevaluasi Mahkamah Konstitusi.
Bahkan Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon mengatakan: amandemen itu mestinya dilakukan dengan mengembalikan UUD 1945 ke versi asli terlebih dulu.Â
"Kembalikan dulu pada UUD 1945 yang asli, kemudian rekonstruksi. Kalau kita berani melakukan itu sebagai sebuah overhaul (pemeriksaan seksama) ya," (Tempo.co 11/08/2019).
Memperhatikan berbagai wacana yang berkembang, nampaknya sebagian besar partai-partai tidak berkeberatan terhadap perubahan UUD 1945.Â
Namun substansi muatan yang perlu dirubah masih berbeda-beda. Yang menjadi kekhawatiran sesungguhnya adalah; menghidupkan kembali GBHN menjadi pintu masuk untuk mengacak-ngacak keseluruhan batang tubuh UUD 1945 menjadi kacau balau sehingga tiap periode keanggotaan MPR akan diamandemen.
Tidak ada jaminan bila MPR telah sepakat membuka persidangan mengamandemen UUD 1945 hanya akan sebatas menghidupkan GBHN. Partai-partai akan berupaya memasukkan agenda politiknya masing-masing.Â
PDIP misalnya, sangat berkepentingan dengan isu bagaimana mencegah membesarnya pengaruh gerakan Islam garis keras dan radikalisme yang ingin mengubah dasar negara. Sementara rivalnya PKS menekankan sistem berdemokrasi yang menguntungkan visi misinya.
Harus diakui bahwa UUD 1945 tidaklah sempurna, setiap perubahan demi perbaikannya haruslah didukung dan didorong. Akan tetapi, kompromi politik jangka pendek dapat merusak konstitusi, karena konstitusi yang baik adalah ketika tidak terlampau sering dibongkar pasang.Â
Politisi juga cenderung memanfaatkan celeh kelemahan UUD 1945 sebagai pintu masuk merobah substansi yang sudah baik untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan golongannya.