Kasus korupsi menjerat politisi yang kewenanganya tidak berkaitan perlistrikan membuktikan PLN tersandera 'jatah politisi'
Padamnya listrik di Jakarta dan kota-kota sekitarnya pada hari minggu lalu memicu kehebohan, termasuk Presiden Jokowi. Bagi rakyat di luar Pulau Jawa, padamnya listrik PLN sudah biasa dan diterima sebagai kenyataan tak berdaya konsumen menghadapi arogansi monopoli produsen listrik PLN.
Peristiwa heboh di hari Minggu itu menyadarkan warga Jakarta, betapa tergantungnya kehidupan modern pada suplai energi dari PLN. Sekali padam saja sudah heboh, sementara di luar Pulau Jawa sudah biasa.
Tuntutan ganti rugi dari konsumen listrik PLN akibat terhentinya pasokan listrik merupakan hal baru, dan mejadi preseden buruk bagi PLN dimasa mendatang, khususnya di luar Pulau Jawa.Â
Tuntutan ganti rugi tersebut bukan hanya penting bagi masyarakat Jakarta yg dirugikan pada hari listrik padam tersebut, tapi juga bagi seluruh pelanggan PLN di Indonesia. PLN akan berjuang mati-matian agar jangan sampai terjadi preseden tuntutan ganti rugi.
Padamnya listrik PLN yang bertepatan di saat pejabat Direktur Utama belum definitif karena kebijakan Presiden Jokowi meminta Menterinya menunda sementara mengambil keputusan strategis hingga terbentuk kabinet baru bulan Oktober mendatang.Â
Kekosongan jabatan tersebut terjadi karena Dirut PLN Sofyan Basir ditahan KPK akibat terjerat kasus korupsi PLTU Riau 1 bersama anggota DPR Â Eni Saragih dan mantan Sekjen Golkar Idrus Marham.
Sofyan Basir bukan Dirut PLN pertama terjerat korupsi, sebelumnya, Dirut PLN periode 2001-2008 Eddie Widiono divonis lima tahun penjara karena korupsi. Dirut PLN Nur Pamudji periode 2011-2014 juga terjerat kasus korupsi pengadaan bahan bakar minyak (BBM) mesin listrik PLN.Â
Dahlan Iskan juga pernah nyaris masuk kurungan, lepas di praperadilaan, ketika menjabat Dirut PLN. Banyak lagi pejabat PLN level dibawah Dirut yang dijerat kasus korupsi.
PT. PLN merupakan BUMN terbesar di Indonesia dengan aset lebih 1.300 triliun rupiah. PLN monopoli distribusi listrik di Indonesia, sebagian besar pembangkit juga dikuasai PLN. Seluruh pemangku kepentingan listrik harus bisa bekerja sama dengan PLN, dalam arti sebenarnya maupun "bekerja sama" dalam arti bagi 'jatah' politisi.
Begitu kuatnya kekuasaan PLN sehingga membuka peluang terjadinya penyalah gunaan wewenang yang bermuara korupsi. Politisi dari partai-partai politik bertarung berebut pengaruh di PLN. Kasus korupsi dereksi PLN dari masa ke masa membuktikannya.
Kasus Dirut PLN terbaru yang melibatkan anggota DPR dan  politisi Golkar Idrus Marham yang sepintas sulit menemukan  keterkaitannya  dengan kebijakan perlistrikan.Â
Mereka bukan pengusaha, bukan komisi DPR membidangi perlistrikan, bukan pula partai berkuasa menentukan kebijakan PLN, tapi mengapa Pengusaha mitra PLN bersedia memenuhi  permintaan uang dari mereka? Mengapa pula Dirut PLN mau diatur-atur sama mereka?
Mungkin sebagian pertanyaan tersebut akan terungkap dalam fakta persidangan, namun bahwa PLN digunakan sebagai lahan korupsi oleh politisi adalah fakta.Â
Modus politisi memeras PLN dilakukan melalui dua cara; Pertama, politisi disponsori mafia Pengusaha perlistrikan mengatur siapa-siapa yang menduduki kursi direksi dan komisaris PLN. Meskipun ini urusan RUPS, tapi sebelumnya politisi bersama mafia perlistrikan sudah bergerilya menjagokan kandidatnya.Â
Orang yang berambisi duduk di dewan dereksi juga harus mampu menggalang dukungan dari politisi. Semua ini ada rupiahnya, atau setidak-tidaknya ijon dulu, pada saatnya nanti harus dibayar juga melalui jatah proyek-proyek PLN. Â
Kedua, Managemen PLN dipaksa berbuat atau tidak berbuat yang menguntungkan perusahaan mitra-mitra PLN. Politisi mengawal dibelakang perusahaan mitra tersebut. Direksi PLN yang menghalang-halangi atau mempersulit perusahaan akan terancam kedudukannya.Â
Dilematis, bertaruh masuk penjara atau didepak keluar PLN. Nasib untung sering juga berpihak pada yang berani.
Bila dipilih dan dilindungi politisi, lalu mengapa Dirut PLN selalu terjerat kasus korupsi? Ini persoalan dinamika politik. Kepentingan politik selalu dinamis, bila direksi PLN tidak mampu mengimbangi dinamika tersebut maka jerat hukum menanti dikenakan padanya.Â
Jerat hukum adalah alat yang paling mudah dan efektif melengserkan direksi tanpa menimbulkan polemik. Alasan kinerja dan profesionalisme akan selalu menimbulkan polemik dan mudah dipolitisir diperdebatkan lawan politik karena bersifat subjektif.
Gagapnya Direksi PLN menghadapi padamnya listrik di ibu kota hanya pandangan subjektif media masa dan masyarakat awam. Bila gagap dimaknai panik, salah fokus, dan tidak tanggap apa yang harus dilakukan, maka PLN sesungguhnya jauh dari itu, mereka tidak gagap. Mereka mengangap kejadian itu biasa saja.
Di luar Pulau Jawa, kejadian mati listrik tiba-tiba, atau bergilir permanen sudah rutin dan biasa. PLN sudah kebal dari demonstrasi dan caci maki di daerah. Â Bahkan, banyaknya direksi PLN masuk kurungan tidak mampu menjerakan direksi lainnya. Mereka kebal gagap, kebal jera.
Kalaupun Presiden Jokowi menunjukkan kekecewanya kepada PLN, itu maknanya betapa tak berdayanya beliau menghadapi kebebalan PLN. Sepanjang PLN masih sapi perahan "jatah politisi" maka pemadaman listrik di Palau Jawa mungkin ke depannya akan lebih sering terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H