Jaksa Agung sebenarnya hanya pejabat negara biasa sebagai kekuasaan Negara di bidang penuntutan, namun di Indonesia, di mana hukum mudah ditransaksikan dengan rupiah dan sandera maka kursi Jaksa Agung menjadi rebutan partai-partai politik.
Partai Nasdem, yang kadernya Mohammad Prasetyo telah menjabat Jaksa Agung sejak 2014, tampaknya telah merasakan betapa saktinya kursi jabatan Jaksa Agung, demikian juga Surya Paloh sebagai Ketua Umum, menyadari kursi tersebut sangat strategis bagi kepentingan partai. Tetapi partai politik lain, khususnya PDIP, tidak rela bila Nasdem terus menerus di singasana tersebut, menginginkan gantian di periode kedua Pemerintahan Jokowi.
Anggota Dewan Pakar Nasdem Taufiqulhadi, sebagimana dilansir dari TRIBUNNEWS.COM, (31/7/22019), mengaku partainya masih melirik jatah kursi Jaksa Agung dalam komposisi kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin pada masa jabatan 2019-2024. Tapi dia menyadari partai lain juga mengincar kursi tersebut, "Bukan tidak ada hubungan dengan mempertahankan, tidak mempertahankan, tetapi yang jelas karena semua melirik [posisi Jaksa Agung], maka NasDem tetap melirik [kursi itu], boleh kan?" demikian katanya.
Meskipun politisi Nasdem membantah bahwa ketegangan antara Nasdem dan PDIP tidak berhubungan dengan perebutan kursi Jaksa Agung, tapi mengamati betapa kuatnya Nasdem mempertahankan kursi itu, sulit mengaibaikan perebutan jabatan Jaksa Agung ini bukan bagian dari perseteruan Surya Paloh dan Megawati.
Dengan jaksa berjumlah 10 ribuan ditambah ribuan lagi PNS administrasi, menyebar di seluruh propinsi (Kejaksaan Tinggi), Kabupaten/Kota (Kejaksaan Negeri), hingga tingkat kecamatan (cabang Kejaksaan Negeri), pengaruh Kejaksaan Agung dapat menentukan politik transaksional hukum di seluruh Indonesia. Dari sisi ukuran, KPK hanya teri dibandingkan kakap Kejaksaan Agung, tapi teri lebih menggigit.
Kewenangan melakukan penuntutan membuat mafia hukum menjalin relasi terselubung dengan Jaksa untuk bertransaksi mengatur tuntutan. Sudah bukan rahasia lagi, setiap orang yang terjerat hukum akan berusaha meringankan tuntutan, kalau bisa lepas dari jeratan, dengan menggunakan jasa pengacara yang memiliki relasi kuat ke Jaksa. Kalau hanya mengandalkan penguasaan ilmu hukum dan kepandaian bersilat lidah dalam beracara, jangan harap bisa menjadi pengacara bonafid.Â
Paling ditakuti penyelenggara negara adalah kewenangan Jaksa melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Hampir -untuk tidak mengatakan seluruh- penyelenggara negara, dari PNS rendahan hingga pejabat tinggi, mulai dari Pemerintah Daerah, DPRD hingga BUMN, bila ditelisik sesungguhnya tersandera kasus korupsi.
Setiap saat Kejaksaan dapat mengancam seseorang bila dikehendaki, ini yang membuat setiap penyelenggara negara selalu dihantui Kejaksaan. Ketakutan itu dapat ditukar dengan rupiah atau dipaksa berbuat atau tidak berbuat sesuatu, ini yang membuat kursi Jaksa Agung diperebutkan partai-partai politik.
Penentuan Jaksa Agung yang merupakan jabatan politis, sepenuhnya hak prerogatif Presiden, sehingga tokoh politik memungkinkan diangkat sebagai Jaksa Agung. Kekhawatiran bahwa politisi sebagai Jaksa Agung akan menyalahgunakan kewenanggannya untuk kepentingan partai politiknya sudah lama menjadi polemik karena realitanya memang demikian.
Sedangkan pendapat berbeda, seperti Partai Nasdem, menyatakan bahwa tidak ada masalah apakah dari pejabat karir, profesional, atau dari partai politik, yang penting Jaksa Agung mampu melaksanakan tugas dengan baik. Kedua pendapat tersebut sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, karena akar masalahnya bukan pada dari mana Jaksa Agungnya, tapi bagaimana integritas moral orangnya.
Tampaknya PDIP sebagai partai pemenang pemilu sudah mengetahui sepak terjang Jaksa Agung selama ini dan menghendaki gantian menduduki kursi Jaksa Agung, namun karena Nasdem ngotot mempertahankannya maka PDIP "mengalah" untuk mengarahkannya di duduki oleh pejabat karir dari dalam Kejaksaan sendiri, sehingga masih ada ruang intervensi melalui Presiden Jokowi yang merupakan kadernya.