Strategi polarisasi identitas agama akan dieksploitasi kembali pada Pilpres 2024 tapi inisiatornya  terbalik, bukan oleh Islam garis keras tapi oleh lawannya.Â
Pemilihan Presiden 2019 kental dengan politik identitas, mengexploitasi sentimen identitas agama Islam yang umumnya diyakini diprakarsai oleh idealisme Islam garis keras. Strategi tersebut mempolarisasi kesadaran politik rakyat menjadi kubu Prbowo sebagai identitas pendukung Islam melawan Jokowi sebagai anti tesisnya. Pada akhirnya hasil pilpres dimenangkan kubu Jokowi, atau membuktikan exploitasi sentimen identitas Islam gagal memenangkan pemilihan Pilpres.
Peristiwa rekonsiliasi Prabowo dan Jakowi di stasiun MRT bebrapa hari lalu, telah mengakhiri peran Prabowo sebagi simbol politik identitas idealisme Islam garis keras. Islam garis keras akan berusaha keras mencari sosok pengganti Prabowo lebih cermat dan hati-hati, dengan dua pertimbangan utama. Pertama, tokoh yang dicari berpeluang menang pada Pilpres 2024. Kedua, seandainyapun Pilpres 2024 kalah tetapi tokoh tersebut tetap setia sebagai ikon pelindung perjuangan Islam garis keras.
Salah satu tokoh potrnsial yang kini sudah menjadi tokoh nasional adalah Anies Baswedan, Guburnur DKI Jakarta, yang dalam  perjalannanya menuju gubernuran diantarkan oleh kesusksesan politik identitas memenangkan pemilihan gubernur DKI tahun 2017.
Anies Baswedan  memiliki keunggulan, antara lain; pertama, kesetiaannya pada idealisme Islam garis keras tidak diragukan lagi, dan sudah terbukti berhasil bekerja sama memperebutkan kursi gubernur DKI Jakarta, kota  terbesar yang penduduknya meyerupai miniatur pluralitas Indonesia. Kedua, posisi Gubernur DKI --mengikuti jejak Jokowi dari Gubernuran DKI menuju Istana Negara- sangat strategis sebagai panggung publik untuk aktualisasi diri, apapun yang dilakukannya di DKI akan menarik disorot media  secara nasional. Â
Keunggulan dan potensi Anies Baswedan sebagai Calon Presiden pada Pilpres 2024 tentunya sudah diperhitungkan oleh anti Islam garis keras. Membaca  polemik pro-kontra narasi-narasi yang berkembang di media sosial, memberikan pemaknaan bahwa Anies Baswedan bukan lagi sekedar Gubernur DKI Jakarta tapi sedang bertransformasi menjadi tokoh nasional kandidat calon Presiden 2024. Seluruh kebijakan dan perbuatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta bukan hanya kepentingan penduduk DKI, kini mendapat porsi perhatian nasional, baik yang mendukung maupun yang menantang. Bahkan kebijakan-kebijakan yang tidak substansial  telah diexploitasi berlebihan tidak seperti biasanya, maknanya dia sedang bertransformasi menjadi ikon.
Mengamati penomena ini, Â dapat dimaknai bahwa dengan telah selesainya seluruh acara panggung konstitusional Pilpres 2019, politik identitas masih memerlukan panggung baru. Rakyat secara alamiah sedang berproses membentuk panggung baru yaitu panggung pra Pilpres 2024. Meskipun panggung ini belum bagian formal konstitusional, tapi merupakan proses alamiah hakekat berdemokrasi. Walaupun belum ada sosok tokoh rivalnya, Anis Baswedan telah mendahului memerankan tokoh calon kontestan Pilpres 2024., lawannya telah jelas yaitu golongan anti Islam garis keras.
Tampaknya secara kelembagaan, partai politik belum mencampuri penomena ini, alasannya karena belum bagian formal konstitusional dan juga belum diidentifikasi keuntungan-keuntungan praktis yang dapat diperoleh. Tapi lambat laun penomena ini akan mengkristal dan partai-partai politik akan  menunggangginya untuk membawa muatan-muatan kepentingan kekuasaan. Â
Karena identitas Anies Baswedan telah kuat dan jelas, maka golongan anti Islam garis keras akan mendahului memprakarsai politik identitas melawan Anies Baswedan. Strategi ini dipilih karena memiliki keunggulan antara lain; pertama, mengecoh Islam garis keras agar tepancing memasuki gelanggang politik identitas  dengan membawa Anies Baswedan sebagai petarungnya, yang menurut Islam garis keras akan menang karena terbukti telah memenangi petarungan politik identitas di DKI Jakarta. Sementara anti Islam garis keras berkeyakinan  Anies Baswedan akan mudah dikalahkan dalam arena nasional. Berbeda dengan Prabowo,  Anies Baswedan akan lebih menguatkan daya tolak-menolak polarisasi identitas, sehingga secara nasional akan mudah dikalahkan oleh anti islam garis keras.
Kedua, siapapun calon jagoannya yang dipilih oleh Islam garis keras, politik identitas akan menguntungkan anti Islam garis keras. Polarisasi sentimen agama akan memperkuat Islam tradisoinal, Islam moderat, non Islam, Nasionalis, Liberal Sekuler, dan Sosial Nasionalis bersatu melawannya. Semakin kuat muatan polarisasi akan berbanding lurus dengan daya penantangan golongan antinya.
Anies Baswedan  dapat menjadi dialektika politik pemilihan presiden 2024, dalam polemik ditolak oleh anti Islam garis keras, tetapi secara bersamaan dia dikehendaki ditampilkan agar  mudah dikalahkan. Apakah pendukung Islam garis keras menyadarinya  atau berbeda memaknainya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H