Hingga kini Prabowo masih diam seribu bahasa. Kata  menolak tak lagi terdengar tapi ucapan selamat kepada Presiden terpilih Jokowi tak jua terucap. Isyarat kemana langkahnya juga tak tampak, penantian  lama ditunggu  pendukung Jokowi maupun pendukungnya tidak dipedulikannya.
Kekalahannya seolah-olah membuatnya seperti pecundang patah harapan yang memendam dendam kemudian mengasingkan diri dalam diam kesunyian. Tidak, Prabowo adalah petarung politik sejati, tidak mudah menyerah dan pasrah, apalagi  patah harapan.
Politik pemilihan presiden 2019 disikapi Prabowo dengan  mencitrakan diri untuk didukung golongan paham idealis identitas  agama. Meskipun tidak menang,  golongan pendukung tersebut tetap mengharapkan Prabowo setia mempertahankan idealisme itu. Hal ini strategis dalam menjaga momentum perjuangan hingga peristiwa politik tahun 2024.Â
Golongan ini ada sebagian dalam rumah partai Prabowo, Gerindra, tapi kebanyakan dari PKS dan simpatisan luar partai seperti FPI dan PA 212.  Golongan ini diperkirakan akan semakin kuat, dan dapat menentukan konstelasi politik tahun 2024. Kekuatan ini yang mempertahankan Prabowo  tetap diam tanpa sepatah katapun mengucapkan selamat kepada Presiden terpilih Jokowi.
Meskipun paham idealisme  golongan garis keras sesungguhnya tidak sejiwa dengan Prabowo, tetapi tidak mudah baginya  melepaskan diri karena golongan ini tidak akan membiarkan Prabowo pergi meninggalkan mereka  begitu saja.Â
Hal ini mungkin awalnya kurang diperhitungkan Prabowo yang berpaham pragmatis dalam iklim politik Indonesia tanpa ideologi partai yang setiap saat mudah beralih sikap sesuai kepentingan. Â Kini dia terkurung dalam perangkap yang dijaga ketat oleh idealisme golongan garis keras. Itulah esensi idealisme garis keras, sekali masuk kedalam tetap di dalam, jangan coba-coba keluar lagi.
Kemanapun Prabowo melangkah akan merubah konfigurasi kekuatan politik secara serentak pada dua sisi, Koalisi Pemerintahan maupun Oposisi. Langkah Prabowo menjadi aktualisasi sekaligus simbolisasi idealisme politik identitas versus politik oportunistik.Â
Ada juga golongan oportunis di dalam partai Gerindra yang ingin memanfaatkan semaksimal mungkin dari posisi  startegis  tersebut sebagai bargaining position dalam bernegosiasi kepada koalisi Pemerintahan Jokowi dengan harapan mendapatkan semaksimal mungkin kursi jabatan dalam pemerintahan.
Menyadari dilematis yang dihadapi Prabowo,  golongan oportunis pendukung Prabowo menawarkan kepulangan Imam FPI Habib Rizieq Syihab dari Arab Saudi ke Tanah Air,  dan pembebasan  tokoh-tokoh pendukung Prabowo dari jerat hukum sebagai  syarat rekonsiliasi.
Sesungguhnya tawaran tersebut sebagai kompensasi dalam strategi melepaskan Prabowo dari "sandera"  golongan garis keras  yang tak rela dia pergi begitu saja. Selain tawaran tersebut belum tentu diterima kubu pendukung Pemerintahan Jokowi,  golongan garis keras pendukung Prabowo juga akan tetap menuntut kesetiaan idealisme Prabowo.
Kedua golongan ini menjadi dilematis bagi Prabowo menentukan sikapnya, dia tersandera buah simalakama. Inilah salah satu faktor penyebab hingga hari ini Prabowo diam seribu bahasa, dan tidak menunjukan tanda-tanda hendak kemana. Kemungkinan Prabowo akan tetap bertahan dalam sandera buah simalakama hingga waktu secara alamiah berlahan-lahan melepaskannya.
Pandangan terhadap situasi  dilematis yang dihadapi Prabowo saat ini disikapi berbeda oleh elit-elit politik dengan menggiring opini rakyat sesuai kepentingannya. Pendukung Jokowi umumnya menuduh Prabowo tidak bersikap negarawan karena tidak mengakui kekalahannya dan tidak bersedia rekonsiliasi.
Sikap diam seribu bahasa Prabowo menyiratkan bahwa dia bersikap oposisi pada Pemerintah, dan tak harus diucapkan. Tanpa disadari dan mungkin tidak sengaja,  Prabowo  telah memberi pemahaman pendewasaan berdemokrasi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H