Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Polemik Poligami, Politisasi Makna Perkawinan

11 Juli 2019   15:37 Diperbarui: 12 Juli 2019   00:56 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perkawinan adalah bentuk luhur naluri seksualitas manusia untuk menjamin keturunan yang direalisasikan melalui kesadaran sikap luhur, cinta, dan kemesraan mendalam. Pada hakikatnya perkawinan adalah urusan sepasang spesies manusia yang memiliki kesadaran dan pikiran untuk meneruskan generasinya sebaik baik, namun karena  agama maupun negara sangat berkepentingan dalam hal perkawinan maka diciptakanlah nilai dan norma pengaturannya. Sejak agama dan negara mengatur perkawinan maka tak dapat dihindari menjadi suatu objek politik.

Semua agama yakin bahwa pengaturan seksualitas dan pemantapan hubungan laki-laki dengan perempuan dalam perkawinan termasuk hal yang suci, yang diterima dari kuasa Tuhan, yang karena selalu terancam dinodai oleh manusia, perlu dilindungi serta disakralkan dengan upacara yang resmi. Semua agama berharap hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan dilaksanakan dalam bentuk yang diridho'i Tuhan. Namun demikian dalam umat beragama --khususnya Islam- berbeda pandangan, apakah perkawinan itu harus monogami atau sebaiknya berpoligami.

Negara pun amat berkepentingan mengatur perkawinan, yang mendasarinya adalah, karena negara merupakan penetap dan penjamin hukum, suatu perkawinan hanya sah apabila sah menurut hukum yang berlaku dalam suatu negara. Indonesia telah mengatur secara rinci tentang perkawinan melalui UU 1/1974, pada azasnya  menganut monogami tetapi  juga tidak melarang poligami,  syarat pria berpoligami dijabarkan secara rinci dan ketat.  Campur tangan negara semakin kuat ketika tahun 1989 dibentuk Peradilan Agama memberikan landasan mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya dalam menyelesaikan sengketa perkawinan agama Islam.

Wacana pembuatan qanun--sejenis peraturan daerah--terkait poligami yang diprakarsai  Pemerintah Nangro Aceh Darusalam dan DPRA, memicu polemik di masyarakat. DPR  Aceh menyebut qanun poligami vital mencegah nikah siri serta untuk menjamin hak perempuan dan anak, serta menurunkan tingkat perceraian akibat pernikahan siri.

Pendukung gerakan feminis menolak praktek poligami dengan tegas, karena berpendapat  bertentangan dengan hak azasi perempuan. Tetapi tahun 2016, dikutip dari (detik.com, 22/12/2006), tak kurang dari 1.000 perempuan dari Hitzbut Tahrir Indonesia (HTI) memperingati Hari Ibu ke-78, dengan berdemo menyuarakan pro-poligami. Bahkan banyak dari mereka yang menjadi bagian dari praktek itu. Perempuan-perempuan itu berdiri berjajar di sepanjang trotoar Plaza Indonesia, sebagian sambil  menggendong anak-anaknya.  

Pada sisi berseberangan, Partai Solidaritas Indonesia, yang mengakui partai politisi muda, menjadikan issu poligami sebagai isu politik utama pada pemilihan legislatif tahun 2019. Pengamat politik percaya, meningkatnya elektabilitas PSI itu tidak terlepas dari suksesnya partai anak-anak muda itu memainkan strategi isu penolakan perda berbasis agama dan isu poligami.

Mayoritas negara negara di dunia adalah paham sekuler soal agama, menyatakan bahwa sebuah negara harus berdiri terpisah dari agama. Pada umumnya Negara tidak ikut campur mengatur perkawinan, urusan tersebut diserahkan pada aturan agama masing-masing dan norma budaya  setempat. Beberapa negara yang rakyatnya mayoritas muslim menganut pemahaman sekuler seperti Turki, Negeria, Tajikistan, Azerbaijan, dan Alabania.

Menyikapi polemik poligami pada umat Muslim yang pemeluknya terbanyak di Indonesia, memecah umat  Islam pada dua kubu. Penantang  poligami, kubu ini umumnya yang sudah berkesadaran dan berpikir maju, menyadari bahwa umat muslim semestinya menyesuaikan dengan norma kemanusiaan universal dan perkembangan zaman. Penganut pendukung poligami,  yang ini umumnya Islam ortodoks dan Islam garis keras.

Mengamati perkembangan politik identitas yang kini kian kental, issu poligami akan sangat mudah dan efektif dipolitisir untuk memperoleh dukungan politik, mengenyampingkan issu-issu strategis lainnya yang  lebih esensial mengatasi persoalan meningkatkan kemakmuran rakyat.

Oleh sebab itu, lebih baik mengembalikan lembaga perkawinan kepada hakekatnya, dan menjadikan sebagai urusan agama dan budaya masyarakat tanpa campur tangan pemerintah. Bila perlu UU 1/1974 tentang perkawinan dan Pradilan Agama dihapuskan saja. Selain untuk kepentingan politik, campur tangan pemerintah tentang perkawinan hanya digunakan oleh birokrat sebagai ladang korupsi dan pemerasan rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun