Memecah rakyat ke dua kutub yang berseberangan atas isu identitas agama, nasionalisme, atau ideologi adalah politik polarisasi, demikian dimaknai saat ini. Sebagian pihak menyikapi politik polarisasi sebagai hal buruk karena merugikan kepentingan politiknya, yang lain berpendapat sebaliknya karena strategi menguntungkan merebut dukungan rakyat.
Penelitik politik (Sartori,1976) berpendapat bahwa polarisasi politik terjadi karena adanya jarak ideologi antar partai politik. Apakah ada jarak ideologi antar partai di Indonesia?
Mengamati pola-pola sikap partai politik Indonesia pasca orde baru, kita dapat menentukan apakah ada jarak ideologi antar partai sehingga dapat menyimpulkan apakah terjadi politik polarisasi. Setiap periode pemilihan presiden-wakil presiden, komposisi partai politik pengusungnya berbeda. Demikian juga ketika presiden menjalankan pemerintahan, komposisi koalisi partai politik pendukung pemerintah berbeda saat pengusungan calon presiden, demikian juga di kubu oposisi.
Baca juga :Kondisi Ekonomi Politik Saat Ini
Sama halnya kejadian di daerah, pada setiap periode pemilihan kepala daerah baik gubernur maupun bupati, tidak ada pola konfigurasi partai politik pendukung yang tetap, juga komposisi pendukung calon kepala daerah di satu daerah berbeda dengan daerah lainnya.
Pada pemilihan anggota legislatif disemua tingkatan, tokoh caleg juga bebas lompat kesana kemari ke partai sesuai situasi kondisi paling menguntungkan pada periode tersebut. Termasuk rakyat pemilih, kebanyakan tidak memperhatikan garis ideologi partai, bahkan politik uang cenderung menjadi pilihan.
Mencermati pola-pola partai politik tersebut, dapat disimpulkan bahwa antar partai politik tidak ada jarak ideologi. Sebagian pengamat politik berpendapat gejala ini adalah politik pragmatis, yakni politik jalan pintas dan praktis untuk berkuasa dengan mengeyampingkan ideologi partai.
Namun menurut penulis lebih tepat disebut politik oportunis, yakni semata-mata kehendak memperoleh kekuasaan dengan memanfaatkan sitiap kesempatan sebaik-baiknya tanpa ideologi sama sekali. Politik pragmatis mengesampingkan ideologi yang hakekatnya ada, tapi oportunis sama sekali tidak memiliki ideologi.
Baca juga : Peran PPKn dalam Pendidikan Politik
Namun politik pemilihan presiden 2019 berbeda dengan periode-periode sebelumnya karena unsur politik identitas agama telah kental, bukan hanya saat kampanye tapi masih berlangsung hingga hari ini, dan tampaknya berlanjut hingga tahun 2024. Penomena ini merupakan pengulangan dari politik pemilihan guburnur DKI tahun 2017 yang sukses mengantarkan Gubernur Anis Baswedan oleh pendukung identitas agama.
Pada perkembangan selanjutnya, isu sentimen identitas agama menguat menjadi isu Islam radikal atau Islam garis keras, yang kemudian memunculkan tandingannya nasionalisme dan ideologi Pancasila. Dengan demikian terjadi polarisasi politik, paham Islam garis keras disatu kutub dan ideologi Pancasila di lawan kutub. Gejala ini dapat dimaknai bahwa mulai ada yang mempertanyakan konstitusi, ada yang meragukan dasar ideologi negara Pancasila.