Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemerintahan Sekarang bak Neo Orde Baru, Sebuah Polemik Tak Bermakna

2 Juli 2019   05:00 Diperbarui: 2 Juli 2019   05:24 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebutan Neo Orde Baru muncul belakangan ini untuk menandai kelahiran kembali  rezim pemerintahan otoriter seperti  Orde Baru, merujuk pada pemerintahan otoriter Soeharto berkuasa lebih 30 tahun.

Ada 1001 fakta  yang  dapat dinyatakan bahwa Pemerintahan Jokowi sekarang sebagai Neo Orde Baru oleh yang berkepentingan menyatakannya. Demikian pula sebaliknya, ada 1001 kenyataan  yang membuktikan bahwa Pemerintahan Jokowi bukan Neo Orde Baru, dikatakan oleh pihak berkepentingan.

Kedua pernyataan tersebut dapat diperdebatkan kebenaranya dan penyangkalannya selama waktu yang diinginkan, tanpa menghasilkan kesimpulan yang dapat memberi makna bagaimana sesungguhnya keadaan kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini atau untuk menperkirakan harapan ke depan.

Munculnya istilah Neo Orde Baru dimaksudkan oleh penyebutnya sebagai perbandingan dari beberapa issu terkini seperti pengekangan kebebasan berpendapat, tindakan refresiv kepada kritikus Pemerintah, transformasi BP7 jadi BPIP, dan Dwi fungsi TNI. Tapi issu-issu lain tidak terlampau disorot  diperbandingkan seperti kesejahteraan rakyat, korupsi, HAM, ekonomi, kualitas pendidikan, dan seterusnya.

Dalam terminologi politik, orde baru bukan suatu identitas ataupun ideologi melainkan hanya penyebutan era  oleh rezim Soeharto untuk membedakannya  dengan era sebelum kepemimpinannya yang disebutnya orde lama.

Sebelum rezim Soeharto medoktrin  istilah orde baru, tidak pernah tersebut orde lama, munculnya istilah orde baru otomatis timbul orde lama. Soekarno sendiri tidak pernah memahami apa artinya kedua orde tersebut.

Pemerintahan Rezim Soeharto dikenal otoriter, dengan ciri-ciri negatif, terutama; koruptif, militeristik, pelanggaran HAM, dan negara kekuasaan bukan negara hukum.

Namun ada juga kenyataan positif; masyarakat aman dan tertib, persatuan bangsa terjamin, dan kebutuhan pokok pangan rakyat selalu tersedia.

Sesungguhnya politik rezim Soeharto atau Orde Baru tidak berkecenderungan menganut ideologi atau identitas  apapun, bukan liberalisme, apalagi sosialis, bukan pula  identitas nasionalis, agama, atau ras. Politik Soeharto sejatinya adalah politik oportunis. Bagaimanakah politik era pasca Orde Baru?

Pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi nasional dampak ketidak stabilan ekonomi global, berujung gejolak sosial yang menjatuhkan kekuasaan Soeharto, dimulailah era disebut reformasi.

Sesungguhnya proses kejatuhan rezim Soeharto oleh reformis  tidak disertai dengan agenda politik tegas, akibatnya selama reformasi, politik oportunis (Orde Baru)  berlahan-lahan kembali menguasai kehidupan berbangsa dan bernegara, bedanya tidak lagi terpusat pada satu orang, melainkan pada oligarki elit-elit politik.

Reformasi dapat dikatakan selesai pada saat amandemen UUD 1945 yang terakhir ke-empat tahun 2002, dengan kemenangan sepenuhnya pada golongan oportunis yang kembali menguasai kehidupan bernegara.

Selanjutnya pemerintahan dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 tahun hingga tahun 2014. Kemudian dilanjutkan Pemerintahan Jokowi 2014-2019 pertama, berlanjut periode kedua tahun 2019-2024.

Sesungguhnya pasca orde baru, meskipun berganti-ganti kepemimpinan, kehidupan berbangsa dan bernegara tetap dikuasai oleh politik oportunis.

Itulah dasar penyebab mengapa korupsi tetap merajelela dan sulit dibrantas hingga hari ini, dan selamanya tetap merajelela sepanjang politik oportunis tetap berkuasa.

Mempolemikkan perbandingan satu atau beberapa  issu  antara dua era rezim yang esensinya sama, kemudian manarik kesimpulan kedua rezim 'seolah-olah serupa' adalah tidak bermakna, karena hakekatnya sejak semula sama. 'Seolah-olah serupa' mengecoh logika.

Tidak bermakna memperbandingkan "seolah-olah menyerupai" Orde Baru dengan menyebutnya Neo Orde Baru,  karena esensi orde baru atau neo orde baru, atau apapun sebutannya pada hakekatnya sama.

Jika premis awal A tidak sama dengan B, kemudian dinyatakan seolah-olah A=B, padahal sejak semula "A=B", adalah keliru logika dan tidak bermakna apa-apa. Salah penerimaan premis awal.

Bukan sosok kepemimpinan seorang BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, Jokowi, dan nama-nama Presiden berikutnya,  yang harus dipolemikan, tapi secara keseluruhan tata kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mereka-mereka mungkin patriot namun terhanyut dalam arus kekuasaan  politik oportunis dan tak berdaya melepaskan diri, hanya rakyat Indonesialah yang diharapkan menolongnya dengan melawan kekuasaan oportunis.

Esensi kehidupan berbangsa bernegara adalah tujuan  mengapa kita hidup berbangsa dan bernegara, yakni untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Apakan haluan yang kita tempuh sudah benar dan sejauh mana kita telah berjalan mencapai tujuan berbangsa bernegara? Itulah esensi yang bermakna untuk selalu dipolemikan, agar perjalanan kita tidak salah haluan dan lebih cepat sampai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun