Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keliru Memaknai Politik Identitas

11 Juni 2019   17:20 Diperbarui: 11 Juni 2019   17:29 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah 'politik identitas' mulai populer ketika Pilgub DKI Jakarta tahun 2017, dan berlanjut hingga Pilpres 2019. Namun sekarang maknanya telah bergeser dan keliru,  politik identitas dimaknai praktek mengkampanyekan sentimen ke'Islaman untuk mempengaruhi pikiran dan kesadaran umat Islam bahwa memilih/mendukung kubu Prabowo-Sandi adalah sesuai  dengan penegakan nilai-nilai Islam sejati.  

Identitas adalah jati diri yang disandang sesorang  atau segolongan  untuk menunjukan dirinya atau membedakan dirinya dengan yang lainnya. Jati diri tersebut dapat berupa: warna kulit, bahasa, keaslian daerah asal, suku, ras, etnis, agama atau keyakinan,  bangsa, dan negara. 

Politik identitas adalah memperoleh kekuasaan dan atau mempertahankan kekuasan dengan cara mempengaruhi kesadaran dan pikiran orang/golongan pada jati dirinya  dan bagaimana seharusnya bersikap dengan jati-diri tersebut. 

Politik identitas sering juga disebut primordialisme, secara umum pengertiannya mirip,  tapi lebih menekankan  identitas suku, bahasa, ras, dan etnis. Nasionalisme  dan Separatisme bagian dari politik identitas, dimana identitas kebangsaan dan negara ingin dipisahkan oleh separatisme

Pada Pilgub DKI Jakarta 2017,  Ahok (Basuki Purnama)  yang beragama Kristen bertarung dengan Anis Baswedan yang beragama Islam. Dalam pertarungan tersebut,  isu-isu sentimen keagamaan dalam hal ini ucapan Ahok yang dianggap menghina umat Islam dikampanyekan  untuk  mempengaruhi kesadaran dan pikiran warga DKI Jakarta pada jati dirinya sebagai umat Islam dan seharusnya menolak Ahok dan memilih Anis Baswedan sebagai Pemimpin. Strategi tersebut berhasil, Ahok kalah. Dalam hal ini makna 'politik identitas'  masih tepat karena Islam digunakan sebagai identitas.

Pada Pilpres 2019, pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin bertarung dengan pasangan Prabowo-Sandi. Kedua pasangan tersebut seluruhnya beragama Islam. Bukan sentimen Islam vs non Islam yang dipolitisir sehingga istilah 'politik identitas' sudah bergeser, dan maknanya menjad keliru.  Bahwa golongan Islam garis keras mempolitisir umat Islam untuk menolak kubu Jokowi adalah fakta, tapi bukan karena Jokowi-Ma'ruf Amin beragama Kristen atau bukan Islam. Dalam hal ini berbeda dengan Ahok pada Pilgub DKI Jakarta 201. Jadi keliru bila disebut politik identitas.

Politik identitas sangat ampuh untuk merebut atau mempertahankan  kekuasaan melalui kesadaran dan pikiran rakyat. Bukan hanya lewat jalan damai dan demokrasi, bahkan sentimen identitas  menjadi jiwa militansi merebut kekuasaan dengan kekerasan. Sejarah mencatat banyak dan sering kekuasaan direbut dan atau dipertahankan dengan politik identitas. 

Contoh paling terkenal adalah Partai Nazi di Jerman, ketika itu identitas ras dan bangsa  Jerman digunakan Hitler untuk merebut hati rakyat Jerman, bahkan dengan kekuatan identitas jati diri bangsa Jerman, Hitler berkehendak menguasai Dunia.  Politik  apartheid  adalah politik identitas yang di praktekkan penguasa Afrika Selatan yang berkulit putih. 

Kekuasaan dilaksanakan berdasarkan kelas perbedaan warna kulit, kulit putih (Eropa), kulit berwarna (Asia) dan kulit hitam (Afrika).   Apartheid  berakhir pada tahun 1990, karena kecaman Dunia. India adalah contoh negara yang politisinya sering menggunakan identitas Hindu dan Islam sebagai pemikat memperoleh suara rakyat.   

Di Indonesia politik identitas bukan hal yang baru, identitas nasionalisme, agama, dan  ras atau kedaerahan, telah dipraktekkan sejak  pemilu pertama tahun 1955, yang diakui sebagai pemilu paling demokratis. Politik primordialisme  umum dipraktekkan pada  pemilihan kepala daerah dengan mempolitisir  sentimen identitas  ras, suku, etnis, dan bahasa. Akhir-akhir ini sentimen agama juga diexploitasi pada Pilkada dan Pileg dan terbukti efektif, ke depannya diprediksi akan lebih intensif dan lebih luas diterapkan.  

Pada umumnya, bangsa-negara dimana tingkat peradabannya masih rendah, dan ideologi kebangsaanya belum mantap, maka politik identitas sangat efektif digunakan merebut/mempertahankan kekuasaan. Ada beberapa paham kekuasaan yang bukan berdasarkan politik  identitas, diantaranya yang utama adalah liberalisme kapitalisme, komunisme, dan negara agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun