Terkait dengan hukum pembuktian tersebut, dalam kaidah hukum yang universal, di manapun di dunia ini, dan dalam sistem hukum apapun, termasuk Hukum Islam, pihak yang menuduh (si penuduh) yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan tuduhannya.
Jika Kyai Imad dan para pengikutnya menilai bahwa pendapat Kyai Imad sebagai kebenaran yang merupakan kebenaran hukum (tidak sekadar kebenaran ilmiah), maka kedudukan Kyai Imad dan para pengikutnya adalah sebagai golongan penuduh, yang menuduh bahwa Baalawi bukan keturunan Nabi Muhammad. Sebab, selama ini secara turun-temuruan sudah terdapat fakta riwayat dan sejarah pengakuan masyarakat (mashur) bahwa Baalawi merupakan keturunan Nabi Muhammad. Di Indonesia selama ini terjadi pengakuan umum yang demikian.
Maka, sebagai penuduh, Kyai Imad dan para pengikutnya tidak boleh menyuruh Baalawi atau para habib (sebagai para tertuduh) untuk melakukan tes DNA, sebab si tertuduh tidak wajib membuktikan dirinya benar, kecuali si penuduh harus membuktikan bahwa tuduhannya benar. Jika si penuduh telah mengajukan bukti tuduhannya, maka si tertuduh barulah diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa bukti si penuduh adalah salah. Itu prinsip Hukum Pembuktian.
Misalnya, apabila Badrun menuduh Suparti bukan sebagai cucu Mbah Minto, maka Badrun tidak berhak menyuruh Suparti melakukan tes DNA. Ini akan menjadi konyol di mana Suparti sebagai tertuduh menjadi direpotkan gara-gara ada tuduhan kepadanya, sementara si Badrun dengan seenaknya sendiri meminta Suparti yang dituduhnya untuk membuktikan dirinya (Suparti) benar. Jadi, Badrun wajib mempunyai bukti atas tuduhannya, dan tidak boleh menyuruh-nyuruh Suparti tes DNA. Â
Selanjutnya, apakah hasil tes DNA merupakan bukti hukum? Dalam hukum konvensional, hasil tes DNA yang berupa surat bukankah alat bukti hukum yang dapat berdiri sendiri, melainkan harus dijelaskan oleh ahlinya, yakni ahli biologi, sebab itu menyangkut aspek biologi, dan Hakim bukanlah ahli biologi.
Tetapi, dalam Hukum Acara Perdata, yang dipergunakan untuk pembuktian dalam hubungan nasab (di mana Hukum Keluarga merupakan bagian Hukum Perdata), keterangan ahli bukan termasuk alat bukti. Keterangan Ahli hanya diakui sebagai alat bukti dalam Hukum Acara Pidana. Fungsi keterangan ahli di dalam Hukum Acara Perdata hanyalah untuk memperjelas alat bukti yang ada, tetapi keterangan ahli tidak mengikat pandangan Hakim.
Selain itu, cara menguji alat bukti tersebut adalah melalui Pengadilan dalam suatu perkara Hukum Keluarga, bukan dengan pengujian liar yang bersifat eigenrichting (penghakiman sendiri di luar Pengadilan). Setelah oleh si penuduh (Penggugat) diajukan alat bukti hasil tes DNA dan dijelaskan oleh ahlinya yang disumpah di muka sidang Pengadilan, maka selanjutnya Hakim yang akan menilai kadar kebenarannya. Tentu para Hakim yang mengadili juga akan mempergunakan prinsip-prinsip Hukum Nasab.
Dalam hal tersebut, lantas siapa yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan kepada para habib atau Baalawi tersebut?
Apakah Kyai Imad dan para pengikutnya mempunyai hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan kepada Baalawi? Hal tersebut juga perlu diuji di muka Pengadilan, apakah para penggugat mempunyai kepentingan hukum yang dirugikan sehingga mereka mempunyai hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan. Apa bentuk kerugian yang diderita oleh Kyai Imad dan para pengikutnya sehingga mereka berhak mengajukan gugatan untuk menuduh bahwa Baalawi bukanlah keturunan Nabi Muhammad.
Jika bicara tentang Baalawi, maka tentu saja anggotanya sangat banyak, dari zaman ke zaman hingga di zaman sekarang. Lalu apakah para anggota Baalawi tersebut akan digugat semuanya, ataukah boleh direpresentasikan hanya dengan mengguat beberapa habib? Apakah Hukum Nasab membenarkan model gugatan seperti itu? Lalu putusan Pengadilan di Indonesia tentu tidak dapat berlaku secara internasional.
Jika gagasan tes DNA dituruti, hanya menjadi bahan penilaian di luar pengadilan, padahal itu terkait dengan sengketa tentang nasab Baalawi, maka hal itu akan menjadi preseden buruk, di mana selanjutnya orang menjadi bebas menuduh nasab siapapun dan selanjutnya orang yang dituduh menjadi korban (direpotkan) dengan disuruh tes DNA, lalu hasilnya diumumkan dalam proses mengadili sendiri (eigenrichting). Hal itu tidak akan terjadi kecuali dilakukan oleh orang-orang bodoh, seolah-olah di dalam negaranya tidak ada otoritas hukum yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut.