Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Jajahan Medsos Kok Sombong

3 Juni 2017   14:46 Diperbarui: 3 Juni 2017   15:22 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini merupakan jaman di mana manusia semakin pintar tapi semakin liar. Banyak orang pintar tak punya unggah-ungguh dalam komunikasi. Meskipun mereka diberikan pendidikan tentang asas praduga baik kepada setiap orang sebagai nilai universal, tapi mereka suka berpesta-pora dengan informasi gosip, seolah-olah mencela dan mencaci serta merendahkan orang lain dengan bahan berita adalah kebutuhan hidup dan kebanggaan mereka. Jadi, menurut teori ekonomi konvensional, kebutuhan dasar manusia adalah sandang, pangan dan papan. Sekarang nampaknya kebutuhan dasar itu bertambah satu, yakni berpesta gosip. Jika tak update kalimat gosip sehari saja di medosnya, mereka kejang-kejang psikologis, hidupnya hampa-ria.

Setidaknya ada tiga tokoh manusia masa lalu yang telah mengetahui bagaimana kebobrokan akhlak manusia di masa kini dan masa depan.

Pertama, di jazirah Arab jaman dahulu, Nabi Muhammad di sekitar abad ke-7 sudah memberikan isyarat, kata beliau umat terbaik itu di masa Nabi Muhammad, lalu di masa sesudahnya, lalu di masa sesudahnya lagi. Jadi teorinya adalah teori futuristik tentang kebobrokan akhlak secara progresif. Main tua jaman makin rusaklah akhlak manusia.

Kedua, apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad itu sekitar 11 abad kemudian, yakni di abad ke-18 (tahun 1749), ditegaskan oleh Rousseau, filsuf Perancis, dia mengatakan, “Dalam sejarah, kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan berbarengan dengan kemunduran kesopanan dan akhlak.” Jadi, benar bahwa manusia semakin maju kebudayaannya tapi juga makin rusak kesopanan dan akhlaknya. Kebobrokan progresif.

Ketiga, di abad ke-19 tanah Jawa ada pujangga tenar bernama Bagus Burhan alias Ronggo Warsito yang mengarang Serat Kalatida yang berisi kenyataan zaman gila (kala tida) di mana manusia jaman kalatida adalah manusia edan yang menyebabkan jaman edan. Pada jaman edan, para manusia serba merasa susah menentukan dirinya dalam posisi di mana. Jika ikut edan bisa tak tahan, tapi kalau tak ikut edan maka bisa kelaparan.

Lapar di sini bukan cuma lapar ekonomi, tapi juga lapar kebanggan, lapar pujian, kelaparan karena energinya terkuras oleh ambisi-ambisi atau nafsu eksistensi diri. Maka itu mengingatkan pada teori Abraham Maslow tentang hierarki kebutuhan manusia yang di dalamnya terdapat kebutuhan untuk dihargai dan pamer diri.

Di jaman sekarang, aktualisasi dan penghargaan dicari dengan menjadi pahlawan gosip di medsos. Kalau berhasil menjatuhkan martabat seseorang yang oleh kelompoknya dinilai sebagai musuh, maka mereka menepuk dada dengan bangga. Tapi negara ini adalah negara Pancasila yang menurut  Muh. Yamin Pancasila itu sistem filsafat dialektik ala neo-hegelian. Apa bisa Pancasila menjadi dasar sikap dan perilaku saling ber-antitesis secara abadi?

Kalau ada orang menilai sesama anak bangsanya sendiri sebagai musuh, orangnyalah yang dimusuhi, bukan perilakunya, apakah orang demikian Pancasilais? Ketidakbaikan tidak bisa dinilai sebagai kebaikan, tapi orang tidak baik bisa berubah menjadi baik, dan setiap perbuatan buruk akan mendapatkan hukumannya. Tapi yang sungguh sulit terjadi adalah menyadari keburukan diri-sendiri.

Tanggung Jawab Tuan Kontrakan/Kos Medsos

Di hari lahir Pancasila 1 Juni 2017 ini (Pancasila sebagai Dasar Negara termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945, kok dianggap lahir tanggal 1 Juni?), banyak orang di medsos memasang slogan “Aku Pancasila!” Ya silahkan saja, meskipun itu seperti saya muslim yang sombong berkata di depan Pak Modin, “Saya Alquran!”

Saya pastinya tidak mampu untuk menjadi manusia Pancasila 100 persen. Kalau mau berPancasila, membangun ekonomi negara harus mandiri. Kalau membaca pemikiran Muh. Hatta sebagai arsitek ekonomi konstitutif Indonesia, lebih baik kita miskin bersama daripada menggadaikan kedaulatan ekonomi negara. Utang oleh negara dan penanaman modal asing itu disifati sementara. Sementara tak mampu menjadi 100 persen Pancasila. Kalau sudah mampu berdikari, barulah menjadi Pancasila 100 persen.

Bahkan saya tidak mampu mandiri berdikari dalam berkomunikasi, sebab saya membayar sewa alias ngontrak ke facebook dan twitter untuk berkomunikasi dalam jaringan medsos. Saya membayar kontrakan dengan cara dipotong kuota internet yang saya beli. Lha perusahaan medsosnya sendiri juga ngontrak kepada pemilik World Wide Web. Mau menggunakan nama domain internet juga beli.

Apakah kita sadar bahwa kita ini hanya bangsa pengontrak karena tak mempunyai bangunan sistem jaringan komunikasi yang dibangun sendiri? Saya menggunakan ruangan yahoo dan google untuk saya jadikan alamat email. Setiap saya membuka alamat emailku dan mengirim atau menerima surat elektronik maka saya harus membayar dengan kuota internet yang saya beli. Maaf, saya tidak terlalu ahli bicara sistem jaringan komunikasi internet ini, tapi Anda pastinya tahu maksudku, yakni bahwa secara kekuatan komunikasi modern bangsa ini hanya menjadi sub atau agen dan pasar. Ini merupakan bentuk kolonialisasi oleh imperium komunikasi dunia.

Saya membayangkan bahwa negara ini mempunyai kekuatan komunikasi sendiri dan terhubung dengan kekuatan luar Indonesia dengan kekuatan daya tawar transaksi. Tapi belum-belum salah satu kekuatan kita, Indosat sudah dilego dan dibeli orang asing. Kita dibohongi oleh doktrin privatisasi dengan berbagai argumen, termasuk profesionalisme kerja BUMN dan BUMD tanpa punya gagasan sistem pengaman korporasi-korporasi negara. Gaya lama masih dipakai, rezim berkuasa menaruh orang-orangnya dalam korporasi-korporasi negara itu meski tanpa kompetensi keahlian di bidangnya.

Indonesia sebagai sub atau agen dan pasar produk jasa komunikasi juga terlalu liberal, jauh dari Pancasila. Negara ini membiarkan orang-orang asing membangun rumah-rumah kontrakan dan kos-kosan komunikasi elektronik di negara ini dipakai untuk tempat-tempat bergosip melecehkan martabat orang lain. Harusnya orang-orang yang membangun kontrakan dan kos-kosan komunikasi elektronik semacam facebook, twitter dan lainnya diatur, agar mereka mengontrol rumah kontrakannya di sini agar tidak dijadikan rumah pelecehan dan perendahan martabat manusia.

Di mana tanggung jawab ibu atau bapak pemilik kontrakan atau kos-kosan itu? Jika ternyata rumah yang disewakan dan dikoskan itu dipakai untuk rumah cabul ataupun pelecehan martabat manusia bagaimana tanggung jawabnya? Jerman contohnya adalah negara yang ternyata tidak seliberal Indonesia dalam urusan itu. Perusahaan medsos yang abai dan cuek terhadap penggunaan medianya untuk pelecahan orang lain akan dihukum denda. Denda tinggi adalah jenis hukuman yang paling ditakuti oleh pemilik perusahaan daripada hukuman penjara.

Lha bagi para pengontrak dan pengekos medos, sadarlah bahwa bangsamu ini terjajah. Jadi orang jajahan biasanya memang ribut dengan sesama orang bangsa sendiri dan sampai mati tetap jadi inlander. Kasihan pula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun