Saya hanya masih berharap bahwa kondisi kaum terdidik saat ini bukan seperti kawan saya yang merasa telah berhasil menjadi tentara berdiri di pinggir jalan setiap pagi menghormat kepada setiap orang yang lewat. “Nggak ada masalah yang perlu kupikirkan, harapanku telah terwujud.” Padahal ia belum menjadi tentara dan seharusnya ia tidak menjadi seperti itu. Andaikan ia menyadari bahwa ia gagal dan punya semangat untuk bangkit berusaha lagi, tak perlu ia berdiri di pinggir jalan menghormat kepada setiap orang yang lewat.
Harapan yang terlalu besar membuat orang terjebak dalam imajinasi yang terlalu luas menerobos batas kewajaran akal, sehingga mengganggu jalan pikiran normalnya. Merasakan sesuatu yang seolah-olah, yang sebenarnya tidak ia rasakan. Apa BPJS Kesehatan mengkaver sakit semacam itu? Tapi para pemuja presiden idola bisa saja menjawabnya, bahwa sakit hati para haters harus juga dikaver BPJS. Kasihan BPJS yang mengiklankan defisit anggarannya itu kan?
Pencitraan adalah gaya hidup para politisi. Joko Tingkir yang katanya murid Sunan Kalijogo itu dalam cerita rakyat Jawa dicitrakan sakti, bisa mengalahkan buaya, tapi ya sebenarnya mata keranjang dan licik. Sama halnya Panembahan Senopati yang merupakan nenek moyang Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta itu dicitrakan baik, sakti pilih tanding, tapi sebenarnya ya kejam dan licik. Nah, mestinya masyarakat yang bukan politisi jangan termakan pencitraan, juga tidak terlibat dalam kebencian, agar bisa menerapkan gaya hidup yang sehat.
Akhirul kalam, saya mengusulkan agar kata "hater" dan "hohohihi" diresmikan menjadi kata-kata Bahasa Indonesia dan dimasukkan ke dalam Kamus Bahasa Indonesia, guna memperkaya kosa kata Bahasa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H