Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kaum Golput Tidak Berguna

6 April 2014   23:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:59 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1396774997570842286

Pada akhir minggu ini ada gerakan penolakan pemilu 2014. Mereka membawa slogan “Tolak Pemilu Borjuasi 2014!” Barangkali mereka mencium aroma tidak sedap, seperti biasanya misalnya pelaporan dana pemilu parpol-parpol yang tetap mengandung misteri dan ketidakyakinan atas kejujurannya.

Pertanyaannya: “Hai para golputer, apa mau kalian? Kita punya negara yang membutuhkan kalian untuk perubahan, mengapa kalian menjadi orang-orang yang tidak berguna?”

Konon di negara-negara maju ada banyak warganya yang golput alias tak berguna. Tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu di Inggris sekitar 66 %,  Jepang 59,3 %, Kanada 61 %, Prancis 59,98 %, dan Amerika Serikat 57,50 %.Rata-rata hampir separuh rakyat negara-negara maju itu yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Orang-orang yang berguna itu mengecam kaum golput dengan perspektif masing-masing dengan slogan: “Jangan biarkan negara ini jatuh ke tangan para penjahat!” Yang tidak suka PKS bertanya retoris, “Mau negara ini dikuasai PKS?” Yang tidak suka Prabowo: “Mau kamu negara ini dipimpin penculik?” Yang tidak suka Demokrat bilang, “Jangan sampai nagara ini kembali jatuh ke parpol yang dihuni para koruptor!” Yang tidak suka Aburizal Bakrie bertanya, “Maukah kamu negara ini menjadi seperti lumpur Lapindo?” Yang tidak suka PDIP bertanya: “Mau negara ini aset-asetnya dijual kembali?” Berbagai pertanyaan dan pernyataan kampanye negatif bergentayangan dalam bentuk tulisan dan gambar di media-media sosial yang super liberal.

Tetapi mereka kaum berguna ini lupa bahwa memilih itu berkaitan dengan nurani dan keyakinan masing-masing. Juga ada faktor suka dan tidak suka. Jika misalnya ada seorang ibu-ibu bilang, “Saya lebih suka milih Prabowo dibandingkan Jokowi, karena Prabowo lebih ganteng!” Lalu kita mau apa? Jadi ingat Prof. William Lidle jelang Pilpres 2004 yang mengatakan, “SBY yang akan terpilih jadi presiden, sebab ia disukai para wanita karena gagah.” Kita mau apa?  Atau barangkali ada kehendak terpendam dari rakyat para simpatisan Thukul Arwana yang kecewa sebab tak satupun parpol yang meminangnya untuk jadi bakal calon presiden. Kita mau apa?

Begitu pula jika ada orang-orang yang menilai bahwa dari para calon yang ada dan dari parpol yang ikut pemilu dianggapnya tidak ada yang layak, atau mereka tidak suka untuk memilih stok-stok yang ada, lantas kita mau apa?

Ada yang berargumen bahwa dengan memilih yang tepat maka kita akan mempunyai peluang perubahan Indonesia yang lebih baik. Saya katakan bahwa dalam demokrasi Indonesia dengan situasi sekarang ini, memilih para calon penyelenggara negara itu dalam suatu spekulasi, ibarat berjudi, jika benar-benar tepat sesuai keyakinan maka beruntung, dan jika tidak tepat maka pasti akan kecewa. Tapi ada kemungkinan menang dalam perjudian itu.

Ini adalah sebuah negara di zaman modern. Dalam situasi modern ini di dunia dikenal adanya fenomena korporatokrasi, yakni pemerintahan oleh korporasi. Korporasi ini penguasa duit yang membiayai parpol-parpol dan para politisi dengan prinsip “tak ada makan gratis di resto ya.”

USAID sebagai lembaga yang turut membidani liberalisasi Indonesia pernah melakukan survei pada tahun 2003, yang menunjukkan hanya 8 persen dari 118 negara di dunia yang mempunyai aturan hukum melarang donasi korporasi besar dalam kampanye. Apalagi Indonesia termasuk dalam kategori negara yang transparansi publiknya rendah. Donasi perusahaan besar dikhawatirkan mempengaruhi pengambilan keputusan politik.

Dalam soal kemungkinan kebohongan pelaporan dana kampanye ataupun dana sumbangan kepada parpol, sebenarnya negara ini juga tidak bisa berbuat apa-apa, sebab sistem demokrasi dan politik yang memberikan peluang dominasi besar kepada parpol untuk mengatur negara, yang diistilahkan sebagai partikrasi. (Sedangkan parpol tersebut disetir oleh korporasi). Amandemen UUD 1945 telah menyeret kedudukan MPR menjadi lembaga tinggi negara biasa yang isinya hanya terdiri dari anggota DPR (dari parpol) dan Dewan Perwakilan Daerah yang bersifat teritorial. Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang memberikan ruang kepada berbagai golongan (buruh, petani, nelayan, petani, lembaga-lembaga adat, profesi-profesi nonpemerintahan) untuk duduk di dalam MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga tidak menjadikan kekuatan parpol sebagai kekuatan dominan.

Jadi, sekali lagi, memilih itu tidak bisa dipaksakan. Mau difatwa haram, mau diatur dengan hukum yang mengandung sanksi hukum, toh jika sampai ke TPS akhirnya mereka hanya akan merusak surat suara atau mencoblosi semua gambar yang tidak menarik hati dan pikirannya. Mereka berkeyakinan bahwa tidak ada calon yang pantas dipilih. Dan siapa yang tahu itu, wong asasnya rahasia? Jadi, keyakinan golputer: mau siapa saja yang terpilih ya monggo, sama sajalah!

Apa yang disebut “golputer sebagai orang-orang yang tidak berguna, orang yang tidak melakukan sesuatu”, adalah tidak berguna dalam pemilu dan tidak melakukan sesuatu saat pencoblosan. Banyak di antara mereka dalam sepanjang hidupnya bekerja, mempunyai penghasilan atau gaji yang setiap bulannya dipotong pajak, setiap membeli barang dibebani membayar pajak, banyak juga yang melakukan kerja-kerja sosial.

Perubahan negara untuk menjadi lebih baik, dalam situasi politik perjudian seperti ini, tidak semata-mata ditentukan siapa yang akan terpilih menjadi penyelenggara negara, tetapi juga ditentukan partisipasi rakyat yang bekerja di bidang masing-masing, apalagi mereka yang tidak perlu menetek kepada payudara negara membantu warga masyarakat dengan biaya mereka sendiri.

Para golputers produktif yang hidup mandiri berswadaya tanpa menetek kepada negara itu tentu lebih berguna dibandingkan dengan para pemilih yang hidupnya bergantung kepada negara yang tidak pernah mau peduli dengan kesusahan sesama warga negara, hanya bisa koar-koar dari atas menara facebook atau twitter.

Terlepas dari segala kecurangan pemilu yang selalu terjadi, siapapun yang duduk di lembaga parlemen dan siapa yang terpilih menjadi presiden nanti, partisipasi rakyat yang maksimum dalam mengontrol dan membantu jalannya negara yang akan menentukan perubahan itu.

Jika ada yang mengatakan, “Golput dilarang protes terhadap jalannya pemerintahan, karena nggak ikut memilih!” maka itu adalah pernyataan yang sesat. Pernyataan larangan itu selain melanggar hak konstitusional juga tidak ada justifikasinya sama sekali, namun hanya berdasarkan logika kolor celana dalam yang tidak mampu melihat seluruh bagian tubuh negara, apalagi dunia yang lebih luas.

Sekali lagi, siapa saja yang terpilih ya monggo! Yang terpilih ya dianggap dipilih oleh rakyat, entah dengan cara jujur atau dengan uang politik, atau dengan jual-beli surat suara. Wong demokrasi itu juga ide dan mitos. Riilnya kan apakah itu aristokrasi, kleptokrasi, atau korporatokrasi atau gombalkrasi. Tapi lumayanlah, setidaknya dengan stempel demokrasi itu masih ada kebebasan yang benar (dan tidak benar) yang dijamin konstitusi, meski praktiknya juga masih diskriminatif di mana-mana.

Sumber foto: dari akun facebook Iwan Wijono.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun