Seorang Pancasilais bukan hanya mempunyai kecerdasan persona yaitu intllegence quotient tetapi juga ia mempunyai kecerdasan kewargaan. Memang termin kecerdasan kewargaan ini adalah sebuah termin baru yang digagas oleh Prof. Yudi Latif di dalam bukunya yaitu Wawasan Pancasila. Tentu kecerdasan ini meliputi kecerdasan emosional, kecerdasaan spiritual, dan kepekaan sosial. Kepekaan sosial tersebut terbangun atas sosialisasi diri dalam di berbagai tempat yang dijalani.
Internalisasi nilai-nilai Pancasila ke dalam diri seorang warga Indonesia adalah bagian pembentukan dari kecerdasan kewargaan. Sebab nilai religius, nilai humanisme, nilai toleransi, nilai demokrasi dan nilai keadilaan membuat seseorang menjalani kehidupan sesuai dengan cita-cita dan keluhuran bangsa Indonesia. Cita-cita itu sendiri tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahtaraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia.
Di sisi lain bisa dikatakan kecerdasan kewargaan sama dengan kecerdasan publik. Seseorang yang memiliki kecerdasan tersebut biasanya anti rasisme, fanatisme, fasisme dan etnosentrisme. Sehingga ia mudah bersahabat dengan seseorang yang berbeda agama, berteman dengan seseorang yang berbeda suku, dan berbaur dengan berbagai latar budaya yang ada di Indonesia demi mewujudkan persatuan dan kesatuan.
Relasi sosial bisa menjadi salah satu faktor pembentuk kecerdasan kewargaan. Sebab faktor tersebut menginisiasi agar seseorang selalu bisa bekerjasama dalam lingkup komunitas atau lembaga. Sehingga dengan kerjasamanya tersebut akan menghasilkan jiwa reflektif dan simpati. Jiwa reflektif yaitu pembenahan dirinya dalam bersosialisasi dengan menstabilkan emosi dan egonya. Jiwa yang simpati yaitu bisa membantu orang lain tanpa diminta.
Namun, di tengah-tengah arus modernisasi dan digitalisasi, kecerdasaan kewargaan ini mendapat tantangan dan hambatan. Tantangan tersebut diakibatkan arus informasi yang negatif selalu dipertontonkan oleh pejabat publik. Sehingga ada anggapan, “Ngapain kita harus berbuat simpati, peka, dan berintegritas tiggi dalam setiap kondisi sedangkan publik figure itu berbuat yang menyimpang seperti arogan, rasis, fasis, asusila, dan korupsi.” Anggapan itu menjadikan kebajikan kewargaan itu ada hanya untuk rakyat tapi bukan untuk pejabat atau wakil rakyat.
Justru itu kebajikan kewargaan itulah menjadi sebuah pembelajaran untuk seseorang brejalan pada track yang positif di tengah track yang negatif. Memang tidak mudah untuk menjalani hal tersebut, sebab rel yang lurus akan dihantam oleh rel yang berliku tajam. Sehingga jiwa idealis seseorang akan bergeser menjadi pragmatis ketika dihadapkan, “Kalau tidak mau ikut arus lebih baik out saja dari kondisi yang dijalani saat ini”.
Oleh karena itu, kecerdasaan kewargaan memang harus diilhami oleh nilai-nilai idealis Pancasila. Melalui nilai-nilai idealis tersebut akan menjadikan seseorang itu takut kepada Tuhan, menghargai hak asasi manusia, toleran, demoktratis, dan adil. Jika salah satu nilai itu hilang dari diri seorang warga negara Indonesia maka legitimasi jiwa keindonesiaannya ada yang kurang. Yang ada realistis akan kontradiktif terhadap nilai-nilai ideal Pancasila, seperti agnostik, arogan, radikal, otoriter dan memihak kepada yang salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H