Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman baik itu dari suku, ras, budaya dan agama. Dari keberagaman itu kita di satukan didalam satu negara kebangsaan yaitu Indonesia. Pada tahun 2024 mendatang kita akan melakukan pesta akbar politik yaitu pemilu 2024. Dimana di pemilu 2024 mendatang kita akan memilih presiden dan wakil presiden, anggota dewan perwakilan rakyat (DPR), anggota dewan perwakilan daerah (DPD), anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) provinsi, anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) kabupaten/kota. Hal ini sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 2017, "Pemilihan Umum yang juga disebut sebagai Pemilu merupakan suatu mekanisme di mana rakyat berdaulat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilihan ini dilakukan secara langsung, melibatkan seluruh rakyat, tanpa tekanan atau paksaan, kerahasiaan terjamin, dilaksanakan dengan jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemilihan umum adalah salah satu momen penting dalam demokrasi di mana masyarakat dapat secara aktif berpartisipasi dalam proses politik dan memilih para pemimpin mereka. Namun, sering kali pemilihan umum diwarnai dengan politisasi agama, di mana agama digunakan sebagai alat untuk mendapatkan dukungan politik. Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Profesor Nizar Ali, politik agama menjadi masalah karena ada orang yang menggunakan agama sebagai alat kampanye. Oleh karena itu, Kementerian Agama mengingatkan semua orang di negara ini agar tidak menggunakan agama untuk kepentingan kampanye. Menteri Agama sendiri sudah menegaskan larangan politisasi agama selama periode politik, termasuk saat ini sampai Pemilu 2024. Kementerian Agama sangat jelas dalam pernyataannya bahwa politisasi agama tidak diperbolehkan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kerukunan agama di Indonesia. Mereka ingin memastikan bahwa pilihan politik tidak didasarkan pada agama, dan menghidupkan isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) adalah hal yang tidak diizinkan. Selain politisasi agama, Kementerian Agama juga mengingatkan agar tempat ibadah tidak digunakan untuk kegiatan kampanye, baik itu dalam pemilihan presiden, pemilihan legislatif, maupun pemilihan kepala daerah. Mereka berharap agar tempat ibadah tetap suci dan terjaga dari pengaruh politik. Penting untuk diingat bahwa agama adalah urusan pribadi dan harus dihormati. Menggunakan agama sebagai alat politik dapat menyebabkan ketegangan dan perpecahan di antara masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk menghormati prinsip pemisahan agama dan politik, serta mempromosikan kesatuan dan kerukunan di tengah perbedaan yang ada.
Penting Terdapat beberapa kasus politisasi agama yang telah menarik perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Berikut adalah beberapa contoh kasus politisasi agama yang terjadi di Indonesia. Kasus yang pertama, Pemilu 1955: Pada pemilihan umum pertama di Indonesia pada tahun 1955, agama menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kampanye politik. Partai-partai politik pada saat itu menggunakan identitas agama untuk mendapatkan dukungan pemilih. Partai-partai Islam seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan Masyumi memperkuat basis pendukung mereka dengan menekankan identitas agama dan agenda-agenda keagamaan.kasus yang kedua, Pemilu 1999: Setelah era Orde Baru berakhir pada tahun 1998, Indonesia mengalami transisi menuju demokrasi yang lebih terbuka. Pada pemilihan umum tahun 1999, politisasi agama semakin mencuat. Beberapa partai politik menggunakan isu-isu agama, seperti perlindungan Islam dan implementasi syariah, untuk mendapatkan dukungan massa.kasus yang ketiga, Pemilu 2004: Pada pemilihan umum tahun 2004, politisasi agama semakin kentara. Isu-isu keagamaan digunakan sebagai alat untuk memperoleh dukungan pemilih. Terdapat kampanye yang menggunakan narasi agama dengan mengklaim diri sebagai partai yang paling Islami atau paling mengutamakan kepentingan umat Muslim. Kasus yang keempat, Pemilihan Presiden 2014: Pada pemilihan presiden tahun 2014, terjadi politisasi agama yang cukup signifikan. Calon presiden yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto, menghadapi isu-isu yang berkaitan dengan agama dalam kampanye mereka. Narasi agama digunakan untuk mempengaruhi pemilih dan memperoleh dukungan politik. Kasus yang kelima, Kasus Ahok (Basuki Tjahaja Purnama): Pada tahun 2016, mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang dikenal sebagai Ahok, menghadapi tuduhan penistaan agama dalam kampanye politiknya. Pernyataannya tentang Surah Al-Maidah dari Al-Qur'an diputarbalikkan dan digunakan sebagai dasar tuduhan penistaan agama, yang kemudian memicu protes dan aksi massa. Kasus ini menunjukkan bagaimana agama digunakan sebagai alat politik untuk mempengaruhi hasil pemilihan dan memicu konflik sosial. Kasus yang keenam, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017: Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 menjadi sorotan internasional karena tingginya tingkat politisasi agama. Isu agama, terutama terkait agama Islam, digunakan secara intensif dalam kampanye oleh kedua kubu calon gubernur. Narasi agama digunakan untuk memobilisasi massa dan mempengaruhi hasil pemilihan. Kasus yang ketujuh, Pemilihan Presiden 2019: Pemilihan presiden tahun 2019 juga melibatkan politisasi agama yang cukup mencolok. Isu-isu agama, seperti dukungan terhadap umat Islam atau perlindungan agama tertentu, digunakan sebagai strategi kampanye untuk memperoleh dukungan pemilih. Hal ini menimbulkan polarisasi dan konflik di antara pendukung kedua kubu calon presiden. Kasus yang kedelapan, Pemilihan Legislatif: Selain pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah, politisasi agama juga terjadi dalam pemilihan legislatif. Beberapa partai politik menggunakan narasi agama dan memanfaatkan basis keagamaan untuk mendapatkan dukungan pemilih. Isu-isu sensitif yang berkaitan dengan agama digunakan sebagai alat politik untuk memperoleh keuntungan elektoral. Dari beberapa kasus politisasi agama dalam pemilihan umum atau pemilu yang terjadi di Indonesia yang sudah disebutkan tadi. Mencerminkan tantangan yang akan dihadapi dalam menjaga keadilan, inklusivitas, dan integritas pemilihan. Upaya untuk membangun kesadaran politik yang berbasis pada prinsip-prinsip demokrasi dan menghargai kebebasan beragama serta keragaman masyarakat tetap menjadi prioritas dalam meminimalkan politisasi agama dalam pemilu.
Berdasarkan Politisasi agama dalam pemilihan umum di Indonesia memiliki dampak yang signifikan pada masyarakat dan sistem politik. Beberapa dampak penting yang dapat disoroti adalah sebagai berikut: pertama, Peningkatan Polaritas dan Konflik Sosial: Politisasi agama dalam pemilu dapat memicu polarisasi masyarakat. Isu-isu agama yang dimanipulasi atau diperbesar dapat membagi masyarakat menjadi kelompok yang saling bertentangan. Hal ini dapat mengakibatkan ketegangan, konflik, dan bahkan kekerasan antar kelompok agama, merusak keharmonisan dan kestabilan sosial. Kedua, Terancamnya Kebebasan Beragama: Politisasi agama dalam pemilu dapat membahayakan kebebasan beragama dan pluralisme di Indonesia. Ketika agama digunakan sebagai alat politik, ada risiko bahwa kebebasan beragama dan hak asasi manusia lainnya menjadi terbatas atau diabaikan. Minoritas agama dan kelompok-kelompok yang berbeda keyakinan mungkin menjadi sasaran diskriminasi atau persekusi. Ketiga, Menurunnya Integritas Pemilu: Politisasi agama dapat merusak integritas pemilihan umum. Jika agama digunakan sebagai faktor penentu dalam pemilihan, maka pemilihan tersebut tidak lagi didasarkan pada program, kualifikasi, atau kinerja calon, melainkan pada identitas agama mereka. Ini dapat mengurangi kredibilitas pemilihan, mempengaruhi proses demokratis, dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemilihan. Keempat, Merosotnya Kualitas Debat Politik: Politisasi agama dalam pemilu cenderung mengubah fokus debat politik dari isu-isu substansial menjadi isu-isu identitas agama. Hal ini dapat menghambat pembahasan tentang kebijakan publik, inovasi, dan solusi bagi masalah-masalah nyata yang dihadapi masyarakat. Debat politik yang berkualitas menjadi terhambat dan berpotensi memiskinkan diskusi demokratis.Kelima, Mengancam Keragaman Budaya: Politisasi agama yang ekstrem dapat mengancam keragaman budaya di Indonesia. Negara yang diakui sebagai negara dengan beragam suku, budaya, dan agama, politisasi agama yang tidak bijaksana dapat merusak keragaman tersebut. Hal ini dapat memicu sentimen eksklusif dan merugikan minoritas, serta merusak harmoni sosial yang selama ini dijaga.
Menghadapi politisasi agama dalam pemilihan umum di Indonesia merupakan tantangan yang kompleks, tetapi ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi dampak negatifnya. Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan: pertama, Pendidikan dan Kesadaran Politik: Pendidikan politik yang inklusif dan menyeluruh sangat penting. Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang baik tentang demokrasi, kebebasan beragama, dan pentingnya memilih berdasarkan program dan kualitas calon, bukan berdasarkan identitas agama. Kampanye kesadaran politik dapat dilakukan melalui pendidikan formal, media massa, forum diskusi, dan kegiatan sosial. Kedua, Penegakan Hukum yang Adil: Pemerintah harus memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan adil dan tidak memihak dalam kasus politisasi agama. Tindakan hukum harus dilakukan terhadap mereka yang memanfaatkan agama secara tidak bertanggung jawab atau melanggar hukum untuk tujuan politik. Hal ini dapat membawa efek jera dan memberikan sinyal bahwa politisasi agama tidak akan ditoleransi. Ketiga, Peran Media yang Bertanggung Jawab: Media massa memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Media harus menjaga integritas jurnalistik dengan menyajikan berita yang objektif dan tidak memperkuat politisasi agama. Etika jurnalistik harus ditegakkan dengan tidak membesar-besarkan isu-isu agama dan memeriksa kebenaran informasi sebelum disebarkan. Keempat, Penguatan Partai Politik: Partai politik memainkan peran kunci dalam memperkuat sistem politik yang berbasis pada program dan nilai-nilai demokrasi. Partai politik harus memprioritaskan kepentingan nasional dan mengedepankan pemilihan berdasarkan program dan kompetensi calon, bukan identitas agama. Partai politik juga harus melakukan internalisasi nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Kelima, Mendorong Dialog Antaragama: Dialog antaragama yang konstruktif dan inklusif dapat membantu meredakan ketegangan dan mempromosikan pemahaman saling menghormati. Pemerintah, lembaga masyarakat sipil, dan pemimpin agama harus mendorong dialog dan kerjasama antaragama untuk mengatasi polarisasi dan konflik yang timbul akibat politisasi agama. Keenam, Pengawasan dan Transparansi: Pengawasan yang ketat terhadap kampanye politik perlu dilakukan untuk mencegah politisasi agama. Lembaga pengawas pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), harus melaksanakan tugasnya dengan transparan dan adil, memastikan kesetaraan akses bagi semua calon dan mengawasi kepatuhan terhadap aturan pemilu. Menghadapi politisasi agama dalam pemilihan umum adalah tugas bersama yang membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai pihak. Dengan pendidikan politik yang baik, penegakan hukum yang adil, media yang bertanggung jawab, penguatan partai politik, dialog antaragama, dan pengawasan yang ketat, diharapkan politisasi agama dalam pemilu dapat diredam dan demokrasi di Indonesia dapat berkembang dengan lebih sehat dan inklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H