Beberapa saat hening. Ibu membiarkanku tenang dengan memeluk dan mengelus lembut punggungku. Setelah tangisku reda ibu memegang kedua pundakku dan menatap dalam kedua mataku.
"Kenapa nak? Ziya kenapa?" tanya beliau dengan suara yang seperti biasa, lembut dan menenangkan.
Aku diam sejenak. Mengambil napas Panjang lantas meloloskan kalimat yang sudah kusiapkan. "Bu, sebenarnya kemana ayah Ziya pergi?"
Raut wajah ibu tampak berubah seratus delapan puluh derajat. Bukan sedih, tapi seperti orang yang menyimpan emosi dan kekecewaan mendalam.
"Kenapa Ziya bertanya?"
"Tadi di jalan, teman-teman mengejek Ziya bu. Mereka bilang Ziya anak miskin, mereka juga bilang kalau ayah pergi sama perempuan lain." Aku kembali meneteskan air mata.
"Ziya, kamu tidak perlu tahu kemana ayahmu pergi. Ayahmu orang baik, beliau tidak seperti apa yang teman-temanmu katakan. Tapi ibu mohon jangan bertanya tetang dia lagi ya." Ucap Ibu memohon. Aku bingung, tapi tetap mengangguk menyetujui.
Setelah hari itu aku tidak berani lagi bertanya tentang dimana lelaki itu, siapa namanya atau bagaimana rupa wajahnya. Bukannya apa, hanya saja aku rasa tidak perlu mempertanyakan orang yang belum tentu dia juga peduli pada kita. Apalagi jika hal itu membuat ibu, wanita kesayanganku harus sedih dan kecewa.
***
"Halo, Assalamu'alaikum Ibu"
"Wa'alaikumussalam, Ziya di mana kok nggak ada di toko?"