Mohon tunggu...
Sayyidati Hajar
Sayyidati Hajar Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Timor

Perempuan Timor | Traveller Kampung | Teater | Short Story | Short Movie | Suka Budaya NTT | pos-el: sayyidati.hajar@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Jebak Relasimu Jadi "Orang Dalam"

3 Januari 2020   18:47 Diperbarui: 4 Januari 2020   08:33 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kanal73.com

Pernahkah ikut seleksi tertentu? Pernah dong, seleksi masuk SMA, seleksi masuk kerja, seleksi beasiswa, seleksi guru teladan, seleksi masuk rumah mertua. Eaaah...Hihihi. Intinya, seleksi apapun yang pernah diikuti, selalu ada syarat tertentu yang menjadi tolok ukur lolos dan tidaknya seseorang untuk bergabung dengan instansi-instansi tertentu. 

Selain soal dan pertanyaan-pertanyaan wawancara yang bikin deg-degan, ada juga nih hal yang bikin secerdas apapun otakmu dan sebaik apapun kepribadianmu jadi mengarus ke laut. Apa lagi kalau bukan ''Orang Dalam". Istilah orang dalam sudah seperti nasi dalam piring ya, jadi makanan sehari-hari. 

Kekuatan besar orang dalam adalah dapat mengubah lulus jadi tidak lulus dan sebaliknya. Apalagi bila ada anak, ponakan, sepupu, cucu, atau ponakannya istri, sepupu suami, adik mantan, pacarnya adik yang ikut tes dan sebelumnya sudah dua kilo bawang dibawa saat silaturahim ke rumah. Sambil tutup  mata, semua jadi berubah. Ajaibnya mirip sulap-sulap di televisi, simsalbim, berubah.

Mengenal Istilah "Orang Dalam"
Istilah "orang dalam" atau OD akrab di telinga masyarakat Indonesia. Meski demikian, tidak banyak literatur yang membahas istilah OD secara mendalam. Meski demikian, OD sebenarnya masih berkerabat dekat dengan KKN. Istilah ini terdiri dari dua kata, yakni orang dan dalam.  Pengertian utama kata "orang" dalam KBBI adalah manusia. 

Sedangkan kata "dalam" berarti jauh ke bawah (dari permukaan); jauh masuk ke tengah (dari tepi); bagian yang di dalam, bukan bagian luar. Tentu dalam mencari makna OD dapat diinterpretasikan lebih dekat dengan fungsinya dalam percakapan masyarakat. Orang tetap diartikan manusia/orang dan dalam dapat diartikan orang yang berada di di dalam suatu instansi. Orang dalam dapat diartikan seseorang yang memiliki pengaruh baik berupa jabatan atau kekerabatan sehingga dapat mempengaruhi keputusan-keputusan akhir di lembaga-lembaga tersebut.

OD berkerabat rapat dengan nepotisme. Manurut Kamaruddin Hidayat, nepotisme adalah managemen kepegawaian yang menggambarkan sistem pengangkatan, penempatan, penunjukan, dan kenaikan pangkat atas dasar pertalian darah, keluarga atau kawan. 

Kata 'nepotisme' berasal dari sebuah kata Latin 'nepos' yang mempunyai arti 'keponakan' atau 'cucu'. Sejarah nepotisme menunjukan pada abad Pertengahan beberapa paus katolik serta uskup yang sudah mengambil janji 'chastity', biasanya tidak memiliki anak kandung--memberikan suatu kedudukan yang khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. 

Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan serta saudaranya menjadi kardikal. Sering penunjukan itu dipakai untuk menlanjutkan "dinasti" kepausan (gurupendidikan.co.id/pengertian-nepotisme). Praktik nepotisme pun mewabah ke seluruh dunia. Seperti yang dilakukan Napoleon Banoparte ketika berhasil menguasai Eropa. Adiknya Louis Napoleon ditunjuknya sebagai peimpin di Belanda, semetara Champoleon ditunjuk sebagai pemimpin di Mesir.  Indonesia pun  tak luput dari praktik nepotisme. Soeharto pada masa Orde Lama menunjukan betapa kekuasaan dibagi-bagi dalam satu lingkaran keluarga dan kerabat presiden.

Meski beda istilah, OD tetap saja bentuk dari nepotisme. Misalnya, si Z memiliki paman yang bekerja di instansi A. Pada suatu ketika instansi A akan melakukan rekrutmen pegawai. Si  R, si T, dan si Z mengikuti seleksi dengan mematuhi syarat yang telah ditetapkan. Meski tak memiliki hasil yang baik dalam seleksi, si Z tetap diterima karena pamannya mengedipkan mata pada pimpinan. Maka si R dan si T dengan kualifikasi yang mumpuni itu kembali ke rumah dengan perasaan dongkol karena merasa didiskriminasi. Nah, dalam contoh ini, paman si Z merupakan OD yang berkerjadi instansi A. Praktik ini termasuk nepotisme.

Suatu hari seorang kerabat menelpon, mengabarkan isu-isu yang berkembang terkait dengan seleksi yang diikutinya di suatu lembaga. Ia pasrah dan mengikhlaskan pekerjaan itu sebelum pengumuman. Kenapa? Karena sudah beredar nama-nama yang akan lulus sebelum pengumuman itu keluar, juga termasuk pertimbangan-pertimbangannya. Katanya dia hampir tergoda meminta orang tuanya menjalin komunikasi dengan orang dalam. Namun niatnya urung, dia tidak tega di usia yang sepuh, orang tuanya harus melakukan cara kotor untuk meloloskannya bekerja. Keluarga besarnya pun mendukung keputusan itu. 

Tentu kerabat saya bukan satu-satunya orang yang medapat diskriminasi dalam mencari pekerjaan karena nekat tak mau menggunakan OD. Berjuta-juta orang merasakan hal yang sama. Apa sesulit itu mencari orang-orang jujur di tengah peredaban manusia yang beragama ini? Kebijaksanaan hidup dapat dicapai apabila setiap orang bertindak sesuai  asas right principle in the right place atau asas yang benar harus diterapkan di tempat yang benar. Bila asas ini dianggap remuleh, nepotisme dapat memperburuk citra lembaga. Lembaga-lembaga negara mengalami degradasi karena perilaku anggota-anggota kelompoknya.

 Sebuah artikel Kompas.com berjudul "Daftar 10 Lembaga Paling Banyak Terlibat Korupsi Sepanjang 2018" menjelaskan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai peringkat lembaga-lembaga korup di Indonesia. Menurut ICW, lembaga yang menempati peringkat pertama korupsi adalah pemerintah kabupaten dengan 170 kasus. Selama 2018, kasus yang melibatkan bupati merugikan negara Rp 833 miliar. Kedua, pemerintah desa. Kasus korupsi yang melibatkan pemerintah desa sebanyak 104 kasus dengan kerugian negara Rp 1,2 triliun. Ketiga, pemerintah kota. Pemerintah kota sebanyak 48 kasus, yang merugikan negara Rp 122 miliar. 

Keempat, pemerintah provinsi. Pemerintah provinsi sebanyak 20 kasus, dengan kerugian negara Rp 7,9 miliar. Kelima, BUMN. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebanyak 19 kasus, dengan kerugian negara Rp 3,1 triliun. Keenam,  kementerian. Kasus korupsi yang melibatkan oknum kementerian sebanyak 15 kasus, dengan kerugian negara Rp 58 miliar. Ketujuh, BUMD. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebanyak 15 kasus, dengan kerugian negara Rp 179 miliar. Kedelapan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kasus yang melibatkan oknum DPRD sebanyak 12 kasus, dengan kerugian negara Rp 30 miliar. 

Kesembilan, sekolah. Ada 11 kasus korupsi yang melibatkan oknum sekolah dengan nilai kerugian negara Rp 7,5 miliar. Kesepuluh, rumah sakit. Rumah sakit sebanyak 8 kasus, dengan nilai kerugian Rp 8,7 miliar. Data di atas menunjukan angka-angka korupsi yang terjadi di Indonesia. Namun belum banyak data yang menunjukan angka nepotisme di Indonesia. Ini menjadi bukti bahwa praktik ini dianggap biasa dan tumbuh subur. Padahal nepotisme merupakan penyimpangan serius dalam masyarakat.

Berelasi Itu Penting, Tapi Jangan Jebak Relasimu jadi "Orang Dalam"
Kesuksesan seseorang ditentukan oleh dua faktor, yakni internal dan eksternal. Kecerdasan, attitute, dan keterampilan merupakan faktor internal yang dilakukan berkat kegigihan usaha sendiri. Namun faktor eksternal yang tak kalah penting adalah membangun relasi. Membangun relasi seperti menanam satu pohon kebaikan. 

Relasi membuka wawasan berpikir karena setiap orang baru yang ditemui menyumbang pengalaman untuk seseorang.  Kevin Sherman dalam Job-Like Magazine menuliskan empat manfaat berelasi yakni, memudahkan dalam mencapai tujuan, mudah mendapat batuan saat mendapat masalah, melancarkan pekerjaan, dan membantu memahami pribadi setiap orang. Melihat keempat menfaat tersebut, tentu peluang melakukan praktik nepotisme lebih besar. Lagi pula, bila diberi kesempatan oleh mitra relasi untuk bekerja atau melakukan proyek-proyek tertentu, mengapa haru menolak?

Jangan jebak relasimu jadi "Orang Dalam". Itu poin yang harus ditanamkan dalam membangun relasi. Jauhkan pikiran dari harapan-harapan indah ketika mengawali pertemanan dengan orang lain. Bersosialisasilah dengan baik tanpa pamrih. Hindari membuar beban mitra relasimu karena permintaan-permintaan aneh. 

Misalnya ketika mengenal seseorang dengan jabatan Kapolda di kota A. Lalu dengan tak tahu malu nitip kerabat untuk jadi polisi. Bila beteman dengan  kepala Bank A, lalu menitipkan cucunya untuk bekerja di Bank A. Sesulit itu kah menahan diri dari nepotisme?  Jawabannya ada pada diri sendiri.  Lalu bagaimana harusnya relasi sehat dijalankan?

 Bertobatlah untuk menggapai keinginan dengan cara-cara menyimpang. Banyak orang dengan santai bercerita kalau anaknya kerja di kantor C karena pamannya punya posisi penting di sana. Sambil mengajak orang untuk menitipkan anak melalui pamannya dan seterusnya. Ini bukti bahwa nepotisme kadung jadi daging dalam tubuh. Orang tidak malu melakukan nepotisme, karena dianggap membantu orang lain. 

Praktik nepotisme dianggap sama dengan membantu. Maka di pasar-pasar, di tempat-tempat ibadah, di jalan-jalan, orang senang mengumbar kesuksesan keluarga dan santuy  'membantu' orang.  Pada dasarnya orang baik dapat berubah mejadi jahat karena berteman dengan orang jahat, pun sebaliknya. 

Mungkin awalnya para pejabat atau pengusaha itu ingin menjalankan roda institusinya  secara sehat. Namun permintaan praktik OD datang dari keluarga, karib, dan teman-teman dekat yang memohon-mohon.  Bila tak kuat iman, pilihannya  adalah meyerah pada nepotisme. Penting menanamkan prinsip bahwa, "Jangan karena saya orang lain berdosa." Membangun relasi bukan membangun jalan nepotisme. Jangan jebak relasimu jadi "orang dalam". Stay positif. Kembangkan kemampuan dan jemputlah rezeki dengan cara halal.

Kupang, 03 Januari 2020

Salam,

Siti Hajar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun