"Kapan saya mulai membaca?"
"Kapan saya mulai menulis?"
"Kapan saya mulai...?"
Energi bertemu Mbah Sapardi menjadi semangat baru. Saya mulai menyisakan uang untuk membeli buku dan membaca buku. Perjumpaan itu menjadi bara yang selalu menghangatkan ketika saya bosan.Â
Namun apa daya, menulis tanpa ketelatenan berlatih itu, nol. Saya tak begitu telaten berlatih. Saya pernah ada waktu, dimana bertahun-tahun saya habiskan tanpa menulis satu cerita pun. Keadaan yang benar-benar gawat bagi orang yang berniat menulis banyak cerita. Bersyukur, keinginan untuk menulis  tak benar-benar pergi.
Kompasiana dan Kumcer Menyudahi Kabair
Setelah bosan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam diri saya sendiri yang tak kunjung selesai. Akhirnya saya memulai berlatih lagi. Dua tahun terakhir saya mulai berlatih  menulis.Â
Setidaknya, saya kembali menemukan alasan-alasan untuk menulis. Satu di antara sekian alasan saya menulis adalah tanah kelahiran  saya di Timor. Bila selama ini saya membaca aneka buku berlatar Jawa dengan aneka budayanya, saya ingin orang mengenal Timor dan budayanya.
Alasan itu tidak original pendapat saya. Saya menemukan penulis-penulis di Nusa Tenggara Timur (NTT) mulai menyuarakan itu. Sudah waktunya banyak orang menulis tentang Timor, tentang NTT. Saya pun mengaminkan apa yang mereka suarakan. Saya pun mulai menulis cerita-cerita.
Tahun lalu, saya tak sengaja bertemu dengan dua kompasianer NTT, Tilaria Padika dan Arnold Adoe. Â Pertemuan itu berlajut dengan pembentukan komunitas KampungNTT.