"Ada kesempatan kah? Nanti pulang kita doa"
Suara Bapak terdengar bersemangat meminta saya pulang kampung. Maka bergegaslah saya, membereskan segala urusan beberapa hari ke depan agar bisa pulang. Bukankah panggilan pulang ke rumah adalah panggilan yang indah dan romantis?
Pulir-pulir jagung berdesakan di antara daun-daun panjang yang menjuntai. Musim tun pena' akan segera tiba. orang-orang tua mulai menyusun rencana, anak-anak yang bekerja atau bersekolah di kota dihubungi untuk pulang, mereka akan berkumpul melangsungkan doa bersama. Anak-anak kecil sumringah menguntit orang tua ke kebun. Semua orang bergembira menyambut tun pena'.
Frasa tun pena', terdiri atas dua kata dasar yaitu 'tun/tunu' yang berarti 'bakar' dan 'pena' yang berarti 'jagung'. Ada kalanya masyarakat Dawan di Amanuban menambahkan kata 'mate' yang berarti 'mentah'. Tradisi tun pena' masih terjaga hingga saat ini. Terutama di desa-desa yang masyarakatnya masih memiliki kebun untuk bertani.
Seperti tradisi menanam, menyemai, bakar jagung, patah jagung (panen), ikat jagung, sampai menyimpan jagung di lumbung. Itu baru urusan tanam-menanam sampai panen, masih ada tradisi buka lahan, minta hujan, tahan hujan, dan berbagai tradisi lain yang masih bertahan di era teknologi.
Ketika musim tanam tiba, masyarakat menurunkan benih dari ume kbubu atau rumah bulat, memilih benih terbaik untuk ditanam pada lahan yang telah disiapkan ketika musim panas.
Selama kurang lebih tiga bulan lamanya masyarakat melakukan 'puasa' untuk tidak memakan apapun dari kebun seperti, labu, pucuk labu, daun ubi, timun, poteka (semangka) dan kacang-kacangan.
Tak hanya manusia, binatang ternak pun ikut 'puasa' untuk tidak makan daun dan batang jagung. Semua harus menunggu sampai jagung mulai berisi dan pemilik kebun melaksanakan doa tun pena. Pantangan-pantangan masyarakat Dawan itu dikenal dengan nono.
Hal yang menarik dari nono adalah ketaatan masyarakat untuk tidak mengonsumsi jenis makanan apapun baik dari kebun sendiri maupun kebun orang lain yang dibeli di pasar. Proses nafek nono atau 'memutus pantangan' berlaku otomatis ketika tun pena dilaksanakan.
Meski nanti pada saat ramah tamah, ia tidak akan makan jagung, karena berpegang teguh pada nono yang tengah dijalani. Â Proses ini berlangsung alami. Masyarakat tetap saling menghargai dalam menjalankan tradisi leluhur.PulangÂ
Kampung! Mari Sambut Tun Pena
Angin semilir menyisakan bunyi daun jagung bergesekan terdengar seperti musik yang mengalun alami. Sore itu bapak masuk ke kebun setelah lama mengasah pisau.
Saya dan adik mengikuti Bapak, membantu memilih jagung yang akan dipotong untuk doa. Bapak mengamati beberapa pohon jagung, setelah yakin jugung itu cocok untuk dimasak, lelaki paruh baya itu berdiri mantap sambil menutup mata merapelkan doa pada Tuhan Sang Pemberi Nikmat.