Setelah cangkirku  ia tempeli pewarna bibirnya sore itu.  Aku hilang selera ngopi.  Seorang perempuan baru saja pergi setelah menyeruput kopi kesukaanmu pada cangkir  putih yang juga sangat kusukai.Â
Harusnya aku tak perlu gelisah. Bukankan bagi pria sepertiku, mati satu tumbuh sejuta perempuan yang antri menghibahkan  sisa usianya untukku? Harusnya demikian. Â
Tapi mengapa ada kecewa?  Kehilangan seruput kopi terakhir yang  kupercaya dapat menguatkan inspirasi, juga perempuan terakhir yang kuyakini bisa menjadi ibu dari anak-anakku yang lucu nanti.  Sial. Aku kehilangan kopi dan perempuan dalam sore yang sama.
***
Aku mual seperti perempuan mengandung tiga bulan pertama.  Cairan kuning yang  pahit itu beberapa kali mendesak keluar. Mataku mulai  berair, napasku terengah-engah,  sesuatu yang besar terus naik ke dada,  seperti dipompa menuju kerongkongan. Tak berapa lama kemudian semua  tumpah ke laintai, nasi ikan warung pojok yang kumakan lima menit yang lalu.
 Aku terlentang begitu  saja di lantai dapur. Tak berdaya. Aku butuh segelas teh panas. Tapi tak banyak yang bisa kulakukan.  Aku hampir mati.
Aku menarik napas dalam-dalam mencoba teknik relaksasi yang  sempat kubaca  dalam beberapa artikel.  Memulai dari hitungan satu,  menarik napas, menahannya beberapa  detik, lalu melepaanya dengan bunyi desisan. Â
Seperti ban bocor,  pelan dan tenang.  Aku mengulangnya beberapa kali.  Napasku  tenang kembali. Perutku tak lagi kontraksi.  Tapi aroma itu.  "arghhhh...sial," teriakku kencang. Aku berusaha menutup hidung. Â
Ujung kaos yang kukenakan sudah kusumbat ke hidung. Â Tapi apa daya, Â aroma itu menyusuri setiap helai benang kaos itu. Mencari cara menggapai lubang hidungku dan lagi-lagi perutku berputar. Â Aku berlari ke kamar mandi dengan sisa tenaga. Aroma-aroma itu terus mengejar. Â Aku tak kuat. Â Menyerah.
"Ini tenaga terakhir," pikirku sebelum jatuh.
***
"Jadi kau tak mengakuinya?" tanya perempuan itu dingin.
Aku menatap layar laptot. Â Perempuan itu mengacaukan ide ceritaku. Â Ia menuntut pengakuan. Mengapa perempuan selalu butuh pengakuan? Setelah mengakuinya sebagai perempuan tercantik, Â baik, Â keibuan. Puncaknya kuakui sebagai pacarku, apakah itu kurang?
"Sebentar lagi  aku  gila," tegasku padanya.
"Aku tak tanya kau waras atau gila," perempuan itu lebih tegas menjawab, "sebab aku lebih tahu kapan kau waras dan kapan kau gila ketimbang dirimu sendiri," lanjutnya.
Kami berebut  cangkir kopi. Tanganku lebih gesit. Aku menenggak hampir separuhnya.  Ah,  tidak. Hampir seluruhhnya.  Perempuan itu melihatku,  seolah menghitung  lama napas  yang kutahan ketika kopi hitam itu turun ke kerongkongan. Aku bisa melihat  mata tajamnya menikam dari ujung  cangkir.  Mata itu,  menembus hingga  ke jantung.  Aku tahu mata itu.  Mata perempuan yang hendak marah.
"Jadi kau benar tak mau mengakuinya?"
Aku menggeleng. Â Aku tak akan mengakui apapun.
Perempuan itu meraih cangkir putih di depanku,  menenggak habis sisa  kopi yang hampir ampas. Aku kalah cepat.  Lebih tepatnya,  aku tak tahu ia akan meraih gagang cangkir secepat itu. Â
"Sekali lagi, Â kau benar-benar tak mau mengakuinya?" tanyanya setelah cangkir itu kembali pada tatakannya.
Aku tetap menggeleng. Perempuan itu bangkit dari duduknya, merapikan tas, Â juga mencopot sesuatu dari jarinya.
"Aku tak akan mengulang lagi.  Kau tahu kan?" ia membuang benda itu ke dalam cangkir putih, "Aku tak akan membebanimu dengan sebuah pengakuan," mata mulai dingin tapi suaranya  tegas.
Aku diam.  Perempuan itu beranjak memunggungiku lalu  memutar ke sebelah kanan.  Hati-hati ia menuruni tangga, wajah tenang. Biasanya ia tak setenang itu. Ia lebih tahu cara marah ketimbang aku.  Tapi aku tak melihat amarah di sana.
Satu menit kemudian ia telah berdiri di ujung jalan, berbicara dengan seorang pengendara motor, Â menerima helem, memakainnya di kepala sebelum naik ke punggung motor. Â Dua menit. Â Perempuan itu benar-benar pergi setelah mencetak pewarna bibirnya di bibir cangkir kopiku. Juga setelah sebelumnya, Â aku tak mengakuinya apa yang ia mau. Tentu saja.
***
Aku memegang pinggir tempat tidur. Kepalaku pusing.  Perutku tak kunjung  diam.  Mama sudah pulang beberapa jam lalu  dari rumah paman.  Aku  bersyukur ia pulang tepat waktu. Aku dievakuasi dari kamar mandi oleh beberapa  tetangga setelah mereka mendengar teriakan  mama.
Setelah aku sadar,  mama kuminta untuk membuang semua bungkus kopi dari rumah.  Aku sakit karena aroma kopi.  Awalnya mama kaget,  lalu menertawaiku sampai keluar air  mata. Â