Saling mencela dengan kosakata sarkasme pun tidak bisa dihindari. Semua merasa benar dan kebenarannya diwujudkan dengan saling menghina dan membela apa yang dianggap benar. Kita mesti waras untuk memutuskan melawan hoaks dan ujaran kebencian.
Saya menanggapi penyebar  hoaks dan ujaran kebencian sebagai sebuah kegagalan berpikir. Sebuah kegagalan menganalisa bacaan yang menyebabkan lahirnya ketidakmampuan untuk membedakan informasi yang benar dan salah. Hoaks dan ujaran kebencian tidak akan mendapat porsi dalam keseharian saya.Â
Bagaimana bisa? Saya bekerja di kampus yang menjunjung tinggi toleransi. Mahasiswa saya datang dari berbagai latar belakang suku, budaya, bahasa, dan agama yang berbeda.  Lingkungan saya adalah  perpustakaan multikultur.Â
Semua keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, dan ras mendapatkan kedudukan yang sama dalam pendidikan.  Kami telah menciptakan kehidupan harmonis yang tidak dapat dirusak oleh  omong kosong tersistem yang sengaja digencarkan untuk merusak harmonisasi kehidupan bermasyarakat di NTT.
Kampus ini seolah hanya dapat diakses masyarakat beragama Islam lantaran nama besar Muhammadiyah dan spirit  KH. Ahmad Dahlan yang tergambar dalam nilai-nilai Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. Ternyata 70% mahasiswa Unmuh Kupang datang berlatar agama nonmuslim.Â
Bukan hanya itu, mahasiswa penganut kepercayaan selain islam tidak dibatasi dalam mengaktualisasi diri. Berbagai kegiatan kerohanian masih dapat dijalankan dengan baik. Tak salah bila Unmuh Kupang dikenal sebagai kampus multilkultural. Semoga Unmuh Kupang melahirkan sumber daya manusia yang mampu menarasikan pesan damai dari bumi Nusa Cendana ke seluruh dunia. Salam damai.
Kupang, 18 Desember 2018
Salam, Â
Sayyidati Hajar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H