Mohon tunggu...
Sayyidati Hajar
Sayyidati Hajar Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Timor

Perempuan Timor | Traveller Kampung | Teater | Short Story | Short Movie | Suka Budaya NTT | pos-el: sayyidati.hajar@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepala Ayam

20 November 2018   09:37 Diperbarui: 20 November 2018   10:17 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-anak duduk mengapit Bai Mollo.  Mereka tahu sebentar lagi Bai akan mulai membuka kain putih panjang yang dijadikan ikat pinggang. Biasanya ( lagi)  Bai menyimpan uang-uangnya di sana.  Selain sebagai ikat pinggang,  kain itu merangkap fungsi sabagai dompet. Mereka senang sebab Bai Mollo pasti akan memberi mereka beberapa keping uang logam yang diikatnya di ujung kain putih itu. 

"Tika,  Nene, mari sini.  Biar Bai makan dulu," saya mulai menyiapkan makanan di meja.

Kedua anak saya pun  bersemangat makan bersama Bai Mollo.  Dalam hati saya berdoa semoga mereka tak mencari kepala ayam lagi. Saya memperhatikan wajah Nene tenang saja ketika piringnya saya letakkan beberapa potong daging tanpa kepala.

"Mama,  kepala," tika mengulang rengekannya beberapa saat yang lalu.

Kali ini saya lega karena Nene tak lagi ribut soal kepala ayam.  Saya tersenyum padanya sebagai apresiasi karena dia telah mengalah untuk adiknya.  Sendok kua mulai bergerak mencari kepala ayam untuk Tika.  Namun hingga beberapa menit kepala ayam itu tak juga tersendok.  Tika sudah tidak sabar.  Ia ikut molongok ke dalam dandang.  Nihil.  Kepala ayam itu raib begitu saja.  Mata Tika mulai memerah,  bersiap menangis.  Saya melirik Nene,  anak itu tenang saja.

"Mencurigakan," pikir saya dalam hati.

Suara Tika sudah pecah, anak itu kembali menangis.  Tapatnya menangisi kepala ayam yang hilang itu.

"Nene,  simpan di mana?  Atau  Nene sudah makan?" saya mulai menuduh dan sempurna  disambut gelengan kepala Nene.  

"Mamaa... Kakak Nene su makan kepalaaa... ."

Nene menggeleng tak mengaku. Saya sudah mulai hilang kesabaran. Mata saya mulai melotot. Nene tetap santai menyuap nasi dan menggigit daging ayam dalam piringnya. Rasanya bila tak ada Bai Mollo mungkin saya sudah mencubit pangkal pahanya anak itu.  Saya lantas memutar otak kembali merayu Tika. 

"Makan ini dulu e.   Nanti kalau bapak datang kita bakar ayam lagi.  Nanti Tika dapat kepala," saya melancarkan rayuan. Mujarab,  Tika berhenti menangis.  Pelan-pelan menarik piring lalu mulai makan meski dengan wajah tak beragairah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun