Nene tetap menggeleng, Â "Paha tidak ada otak, nanti nene tidak pintar," tegasnya. Â
Saya benar-benar putus asa. Â Sejak kapan makan otak ayam bisa bikin pintar? Jelas ini sebuah simpulan tidak berdasar.
"Siapa bilang makan  paha tidak pintar? Semua daging sama Nene,  ayo makan yang ini saja e."
"Tidak! "
"Tika makan ini e"
"Tidak!"
"Kalau begitu kita bagi dua e, Â Tika dapat sebelah Nene dapat sebe..."
"Tidak mau!!!" keduanya berteriak kompak memotong tawaran saya yang kesekian kali.
Api kayu kasuari sudah tak berarang merah
lagi. Â Tapi suasa semakin panas. Â Saya mulai menarik napas panjang sambil mengusap keringat. Nasi dan daging dalam piring Aci hampir kandas ketika ringkikan kuda terdengar di halaman. Â Tika dan Nene berebut pintu. Â Seketika wajah mereka bercahaya menyambut pemilik kuda merah itu.
"Mama, Â Bai Mollo datang. Â Mama Bai datang," mereka girang berlari menyambut kakeknya yang sering mereka sapa Bai Mollo. Â Saya beranjak dari dapur menghampiri Bai Mollo. Â Mengambil karung kecil yang dibawanya. Isinya pastilah daging kering, Â madu, dan sagu. Â Itu oleh- oleh yang paling sering dibawa Bai Mollo ketika datang mengunjungi cucu-cucunya. Â