Mohon tunggu...
Sayyidati Hajar
Sayyidati Hajar Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Timor

Perempuan Timor | Traveller Kampung | Teater | Short Story | Short Movie | Suka Budaya NTT | pos-el: sayyidati.hajar@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepala Ayam

20 November 2018   09:37 Diperbarui: 20 November 2018   10:17 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Batang kasuari berbuah bunga api. Asap mengembang.  Arang merah saling mengigit dalam bara tungku lalu jatuh perlahan menyisakan bunyi patah-patah.  Bau bulu ayam terbakar menyusup keluar melewati alang-alang dan dinding bebak.  Bercampur bersama udara bebas, lantas  singgah kepada pemilik mata yang kini duduk menghadap rumah bulat. Salah seorang anak saya telah merengek sejak pisau bapaknya menembus leher ayam yang kini sedang saya bersihkan.

"Mama,  beta punya kepala," Tika,  anak perempuan saya yang keempat sudah merengek. Dia ingin kepala.  Ya.  Mestinya tak apa bila dia ingin kepala.  Tapi masalahnya adalah perjanjian mengenai kepala sudah disepakati bersama di rumah ini.  Hanya pemiliknyalah yang berhak atas kepala.  Tak ada yang berhak atas kepala milik orang lain.  Kurang lebih demikian.  Namun Tika kembali merengek minta kepala.  Dia tak mau tahu.

Setelah proses bersih-bersih, potong-potong,  dan cuci-cuci kulakukan dengan baik.  Akhirnya semua berlabuh di dandang kumal peninggalan kakek-nenek mereka dulu. Api semakin membakar.  Aroma daun sop menguasai hidung.  Bumbu kuning sudah masuk lebih dulu.  Kini mie giling sudah menanti dimasukan ke dalam dandang.  Semakin mendekati selesai,  pasang mata semakin banyak yang mengawasi saya memasak.  Rumah bulat yang tadinya lenggang mendadak sesak.  

Saya mulai pusing membayangkan keributan yang akan terjadi karena kepala ayam ini. Entah sejak kapan kegemaran saling rebut kepala ayam ini dimulai.  Saya sudah lupa. Yang ada dalam ingatan saya adalah semua anak-anak saya menggemari kepala ayam.  Dan saya harus menjadi hakim yang baik untuk memutuskan mana yang paling berhak mendapat kepala ayam.  

Dandang sudah berpindah ke tanah.  Nasi sudah saya sendok dalam piring-piring. Anak-anak sudah duduk melingkar menunggu jatah daging yang akan saya bagikan.  

"Mama,  Nene punya kepala toh?" kata Nene sambil menyodorkan piringnya ke hadapan saya, "Nene punya ayam," lanjutnya menegaskan.

Ya.  Benar itu ayam anak saya,  Nene. Tapi Tika baru sembuh dari demam.  Dia harus banyak makan agar cepat pulih.  Nah,  salah satu yang akan menambah nafsu makannya adalah kepala ayam.

"Nene punya hati saja. Enak, nanti mama tambah dengan paha satu," saya memulai negosiasi.  

Wajah Nene cemberut. Dia tetap mempertahankan kepala ayam  yang memang sah miliknya.  Sebab ayam yang kami masak adalah ayamnya.  Tika mulai menangis.  Dalam situasi ini saya masih bersyukur ada satu anak yang diam saja. Dia menyodorkan piring ketika kakak-kakaknya bertengkar. Beberapa potong daging sudah saya letakan di atas piringnya.   Dia makan dengan tenang.  

"Lihat Aci saja makan paha.  Tika mama kasih paha e?  Makan paha juga pintar sayang." Tika semakin keras menangis. Kepala saya rasanya sudah pening.

"Kalau begitu Nene saja e?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun