Di sepanjang perjalanan, Nikita lebih sering melamun. Merenung dan berdiam diri memikirkan kenakalan adik sepupunya. Siska yang belum pernah ke rumah Pak Baqir jadi merasa kesal juga dengan sikap Nikita. Ini karena Nikita seperti malas menunjukan jalan menuju rumah Pak Baqir. Kalau pun memberi perintah belok kiri atau belok kanan suka dilakukan mendadak. "Kiri, Sis, eh, kanan, kanan deh!" ujar Nikita.
      "Haddeuh!, kamu gimana sih, Niko?" karena kesal, nama Niki pun Siska ungkapkan jadi Niko. "Yang bener mau kemana. Belok kiri apa kanan, nih?" Siska protes.
"Kalo gitu lurus aja, deh. Nanti beloknya di depan lagi. Bisa kok lewat Blok depan." jawab Nikita masih dengan santai. Beruntung Siska termasuk teman yang sabar meski sering berkoar dan cukup ikhlas meskipun kadang kala sedikit malas untuk berbuat ikhlas tersebut.
      Namun kesabaran Siska tidak berlangsung lama. Ketika mobil-mobil di belakangnya mulai iri hati dan dengki karena Siska tidak sempat memberi tanda lampu sign di saat mau belok mendadak ke kanan meski tetap waspada dengan melihat spion.
"Engga punya sein, apah?" rutuk seseorang dari balik jendela mobilnya. "Punya dong! Tapi bukan untuk kamuh!" jawab Siska sekenanya. Mobil di sampingnya pun langsung menyalip dan tancap gas tanpa peduli celotehan Siska.
      "Kamu juga sih, Niko! Kalau mau ngasih tau jalan, jangan mendadak begitu, dong. Aku jadi repot, nih!" ujar Siska menyalahkan Nikita karena tadi sempat kena semprot pengendara lainnya yang mengikutinya dari belakang.
"Oke, oke. Really sorry, Sis! Ya, udah nanti aku buat proposalnya dulu kalau di depan nanti aku membutuhkan belok kanan. Hnah, nanti kalau proposalnya sudah kamu terima, dan setuju, baru kita belok, ya!" jawab Nikita masih tetap santai. Siska melirik penuh kesal lewat tatapan matanya.
      Setibanya di rumah Pak Baqir, Nikita bergegas keluar dari mobil dan membuka pintu pagar rumah yang asri, hijau dan tertata minimalis. "Sini, Sis! Ikut masuk. Mobilnya udah parkir di situ aja." seru Nikita ke arah Siska.
      "Silakan duduk! Siapa, Niki?" tanya Pak Baqir sambil mempersilakan Nikita. "Itu Siska, Pak. Teman sekelas di BTS juga simpatisan Asalist, Pak!" jelas Nikita. "Ohiya, baguslah kamu ajak ke sini. Semoga dia mampu berkontribusi untuk Asalist! Kebetulan saat ini kita sedang ada trouble." ujar Pak Baqir kemudian. "Silakan, Siska!" kata Pak Baqir sambil mengarahkan tangan ke kursi yang terbuat dari bambu. Ruang tamu yang sangat natural dan estetis, serta memiliki kesan sejuk dan nyaman.
"Sebentar, saya ambil program kamu yang kemarin. Itu minumnya, silakan swalayan saja, ya! Seperti biasa!" ujar Pak Baqir mengarah ke sebuah meja dan perangkat sejenis dispenser yang sudah tersedia pilihan jenis minuman untuk para tamunya.
      Beberapa saat kemudian, Pak Baqir pun kembali ke ruang tamu dengan membawa berkas di tangannya. "Programnya sudah cukup baik.Tinggal konsistensi dari para Asalist saja yang harus lebih ditingkatkan. Tolong bantu Nikita, ya Siska!" pinta Pak Baqir akhirnya.