Chapter 10 : Kisah Improvisasi Rai Mahdi
Saivany Dzulqornine namanya, usia tujuh tahun menurut hitungan Abi (bapak)-nya yang sering lupa usia anaknya, apalagi tanggal lahir ulang tahunnya. Saivany memiliki akar kata dari saif, dan aeni (bahasa arabia), si empunya anak memberi arti dua mata pedang, sedangkan nama Dzulqornine atau dibaca, julqornain saja tidak apa-apa, terdiri dari dua kata yaitu, Dzul, yang artinya memiliki, sedangkan Qornain berarti mahkota atau tanduk kekuatan untuk menundukan. Mungkin orang tuanya berharap anak gendut ini di kemudian hari mampu menjadi kholifah di muka bumi dengan menundukan manusia lainnya di masa depan.
Saivany kini beranjak kelas satu, teman sebaya di sekolahnya memanggil singkat, Evan. Tapi ada juga panggilan gemes dan kesselnya orang rumah dan keluarga sepupunya, termasuk Nikita. Mereka memanggil Evan dengan sebutan Cidut.
Setiap kali Cidut sepupu Nikita yang cukup assoy geboy dan katanya masih berusia tujuh tahun menginap di rumahnya, suasana rumah Nikita serupa dengan wilayah Suriah atau kawasan tepi barat gaza di Palestina di masa infifadah, atau mungkin seramai pertikaian rusia dan ukraina di saat kisah ini kembali disajikan.
Setiap hari selalu saja ada kejadian yang membuat Bunda Nikita resah-gelisah, kesal dan sebal. Meskipun rentang usia Nikita dan sepupunya cukup jauh, tapi mereka selalu saja berkelahi dan bertengkar. Tentu saja ini membuat Bunda Nikita dirundung nestapa. Usia menjelang dewasa, tapi prilaku Nikita seperti balita. "Idealnya kan Nikita itu mengalah!" selalu begitu dipikir Bunda Nikita.
Suasana pagi ini pun demikian, "Bunda Niki!, Aku dikunci di kamar mandi!" jeritan Cidut dari kamar mandi karena dikunci Nikita dari luar. Bunda Nikita melompat dari sisi tempat tidur ketika sedang berusaha merapikannya. "Niki! Buka pintu kamar mandinya!" Teriak Bunda dari kamar tidur karena sudah bisa memastikan kejadiannya, bila Cidut teriak pagi-pagi, pastilah Nikita berulah kembali.
"Niki kan engga lagi di kamar mandi. Niki lagi di dapur." Niki menjawab sambil matanya tetap memainkan gadgetnya.
"Itu adenya bilang apa di kamar mandi? Katanya dia dikunci di kamar mandi. Udah bukain situ. Bunda madih repot beresin kamar tidur." Ujar bundany kembali.
"Engga ah, Nda! Kemarin Niki juga dikunciin 'ma Cidut. Gantian. Biar dia ngerasa betapa 'gak enaknya dikunci di dalam kamar mandi." Jawab Nikita masih dari dapur.
"Dia kan masih kecil Niki. Apalagi kemarin itu kan Cidut engga sengaja mengunci kamar mandi." Ujar Bunda membela Cidut. "Niki juga gak sengaja kok, Nda!" Ujar Nikita semi-apatis melenggang menuju sepedanya, ia hendak berangkat menuju sekolah BTS sambil membawa kunci kamar mandi.
Tentu saja akhirnya sang Ayah ikut bertindak. Dia yang semula tengah konsentrasi menggali informasi dari televisi dengan ditemani segelas kopi dan hangatnya sepiring gorengan, pisang dan ubi, harus beranjak untuk mendobrak kamar mandi.Kebetulan kisah ini bergerak pasca nisfu sya'ban, atau lima bela hari menjelang bulan ramadhan. Jadi Ayah Niki masih boleh menikmati kopi pagi. "Bunda ga adil juga sih, terlalu sayang sama Cidut. Ayah perhatikan belum pernah Bunda berpihak ke Nikita, anak kita sendiri!" Ayah Niki memberi statement singkat setengah berbisik.
"Ayah ini 'gimana?, kan Cidut masih kecil! Harusnya Niki itu mau mengalah dan ngerti setiap tingkah-polah Cidut!" jawab Bunda Niki berupaya meluruskan.
Perkara intinya, Nikita memang kurang begitu suka dengan anak kecil. Sekalipun Cidut masih saudara sepupu. Apalagi yang namanya Cidut memang anak yang hiper bandelnya konsisten. Cidut sendiri merasa dia memiliki kebebasan sebagai individu divergent kecil yang harus bergembira-ria sesuka hati. Juga harus selalu dilayani dan diperlakukan sebagai anak kecil yang sesungguhnya. Dalam benak Cidut tidak lebih dari itu.
Namun bagi Nikita justru hal itu yang menjadi pemicu rasa cemburu dan merasa diperlakukan tidak adil oleh sang Bunda. Pernah suatu ketika, di kala Nikita pulang dari Boarding Transformation School, atau BTS tempat sekolahnya. Ia mendapati kamarnya seperti bekas tawuran, super acak-acakan. Pulpen dan spidol warna-warni terserak di segala penjuru. Buku-buku pelajaran bermigrasi dari habitatnya, bahkan buku tulis hariannya penuh garis-garis lengkung tak beraturan, sebagian kecil mirip pola obat nyamuk bakar dengan warna-warna ceria karya anak belia. Namun warna ceria tak beraturan di buku hariannya tak mampu membuat Nikita tersenyum, malah sebaliknya mengundang kekesalan hati tanpa henti. Apalagi demi meihat prakarya berupa sulaman terindah yang pernah dibuatnya telah bermetamorfosis menjadi kain perca. Korban pesawat sederhana berupa gunting yang diguna-guna oleh Cidut.
Hancurlah hati Nikita, terlebih ketika dia melihat boneka 'Minion' kesayangannya juga menjadi korban mutilasi sang sepupu yang tidak lucu. "Mmmh, Ciduut...!" gumam Nikita sambil mengacak-ngacak rambut yang memang sudah berantakan. "Belum tau rasa, Dia!" gerutu Nikita sambil meremas-remas kepalan tangan kanannya.
Seperti hari-hari sebelumnya, manakala Nikita sudah naik darah-turun air mata menahan emosi. Dia langsung 'hunting' Cidut di mana pun adanya. Lalu sebagai pelampiasan emosinya, Nikita akan tega mengikat Cidut di pohon jambu yang rindang di samping rumahnya. Bisa sehari penuh Cidut menangis di sana. Full day cry Nikita menyebutnya. Hal ini terjadi karena mulut Cidut dibungkam dengan lakban layaknya penculikan dalam film gala-aksi di televise digital yang paling Nikita sukai.
Bunda Niki tak pernah tau di kala Cidut tengah tersiksa sekian lama. Beruntunglah Cidut terselamatkan oleh sampah yang dibuang Bunda Niki setiap sore. Ini pun kebetulan lokasi pengendalian sampah terpadu lima warna di rumah Nikita berada dekat dengan pohon jambu tempat Nikita mengikat Cidut tadi.
Tentu saja Bunda Niki sangat shock menyaksikan kesadisan Nikita terhadap adik sepupunya. Hingga dia lupa bagaimana harus memilah sampah lima warna, hingga akhirnya sampahpun terhampar begitu rupa di bawah pohon jambu karena tergesa menolong Evan-cidut keponakannya.
Bunda Niki memang tidak pernah tahan melihat kesadisan semacam apa pun. Jangan kan melihat Cidut diikat di pohon jambu, sekali waktu saat melihat Ayah memotong bebek atau angsa saja, bunda suka berurai air mata. "Ayah masak aja sendiri, bebek itu kan ga salah apa-apa. Kenapa harus dipotong, disiangi, terus direbus lagi? Tega amat sih, Ayah?" ujar Bunda Niki selepas Ayah memotong bebek ketika itu. "Apa harus Ayah potong angsa juga? Biar sekalian Ayah masak di kuali!" gumam Ayah jadi meracau tak tentu arah karena bunda tak mau memasak bebek kesukaannya.
Bila telah terjadi pertikaian seperti 'tragedi kamar mandi' itu, Nikita, Bunda dan Cidut pasti tidak saling menegur sehari penuh. Full Day Silent istilahnya. Padahal kedua-duanya sama saja, Cidut dan Nikita terlahir sebagai si raja tega. Karena pernah pula Cidut secara diam-diam mengolesi obat merah di belakang rok Nikita. Tanpa tau apa-apa, Nikita pun bergegas berangkat ke sekolah, BTS tujuannya, all mission with pak Amir Baqir. Dia selalu tergesa mengayuh sepeda feminimnya.
Ketika tiba di gerbang sekolah sambil mendorong sepedanya untuk diistirahatkan di tempat parkir, Nikita merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan dirinya, karena banyak teman-temannya yang memandang aneh ke arahnya sambil menahan senyum dan tawanya. "Shit, Damn You Cidut, Selamat menantikan pembalasanku!" rutuk Nikita sambil menutupi warna merah di belakang roknya dengan tas yang dibawanya. Â
Pernah pula perkara terjadi ketika Nikita pulang sekolah dari BTS. Dia melihat Cidut sedang bermain mobil-mobilan dengan menggunakan aneka benda milik Nikita. Figura-figura photo disusun menjadi jalan raya, sepatu-sepatu koleksi Nikita dijadikan batas jalan raya. Bahkan box file Nikita pun tak luput dimodifikasi menjadi sebuah garasi.
"Ciduut!.., kenapa main mobil-mobilannya pake barang-barang aku sih?" teriak Nikita. "Kan kata Bunda Niki barang-barang ini enggak kepake, kok." jawab Cidut tenang.
"Apa? Kepala kamu ijo, engga kepake! Ayo kembalikan ke tempatnya! Rapikan!" suruh Nikita kesal. "Huuu...wenak aja, orang aku udah capek-capek nyusun jalan kayak begini. Gak mau! Udah jelas engga dipake kok!" jawab Cidut tak mau kalah.
"Itu masih aku pake!.., Siapa lagi yang suruh kamu bikin jalan raya di sini?" Nikita semakin kesal. "Ga ada yang nyuruh, aku bikin sendiri, kok!" jawab Cidut lagi.
"Udah dibilangin ini semua masih kepake! kepake! heuh!" rutuk Nikita sambil berupaya mengambil koleksi sepatunya yang dijadikan mainan Cidut.
"Udah dibilangin semuanya engga dipake, kalau dipake kan pasti gak ada di sini. Itu kan kakak cuma pake sepatu yang itu, yang ini engga! Yey, maksa!" jawab Cidut tetap tak mau kalah sambil gesturnya mengarah pada sepasang sepatu yang baru saja Nikita lepas di rak sepatu.
"Sebodo, pokoknya masih mau aku pake!" tegas Nikita kembali sambil membereskan figura-figuranya yang sudah menjadi jalan raya bagi mobil-mobilan Cidut.
"Orang Bunda Niki juga bilang, kok. Kalau figura ini juga engga dipake, Kak Niki gak mungkin pake Figura, paling juga pake kerudung, itu pun kalau lagi insyaf." jelas Cidut sambil terus memainkan mobil-mobilannya di atas figura yang masih tersisa.
"Sini, beresin Gak!" bentak Nikita sambil berusaha merebut sepatu-sepatunya yang jadi mobil-mobilan dari Cidut. "Enggak mau!" Cidut tidak pernah kalah gesit. Maka terjadilah huru-hara kembali di rumah itu.
Nikita terus berupaya merebut sepatu-mobilan Cidut. Sedangkan Cidut pun terus berusaha menghindar, dia melompat berpindah-pindah tempat. Lari ke dapur, melompati meja makan, lari lagi ke ruang tengah dengan melompati sofa, ke buffet, ke ruang kerja ayah, ke rak piring dan akhirnya Cidut basah kuyup di kolam ikan halaman depan.
Cidut berbasah-kuyup ria bukan berarti dia dengan ikhlas menceburkan diri ke kolam ikan hias di depan rumah. Namun karena Nikita berhasil menangkapnya lalu melemparkannya ke kolam tersebut setelah mengambil mobil-mobilan yang menjadi biang masalah huru-hara dan sengketa berkepanjangan.
Untuk hari ini, tepatnya siang menjelang sore. Nikita telah berbusana rapi dengan kerudung hijau daun pisang, sepatu kets putih berplat hijau pula. Semakin terkesan enerjik dengan celana jeans warna hijau gelap yang dipadu-padan dengan atasan kuning menyala.
Rencananya ia hendak menuju sekretariat komunitas asalist tempat dimana dia mengabdikan diri sebagai makhluk sosial. Berbagi, berkreasi dan menghidupkan bumi dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi makhluk bumi lainnya.
Peristiwa besar pun terjadi menjelang sore itu, Cidut terdengar menjerit histeris di kamar Nikita. Dan Nikita bergegas menuju pintu ke luar dan siap terbang dengan tenang. Tapi sang Bunda sudah mencegatnya di halaman dekat tiang jemuran.
"Apalagi yang kamu lakukan terhadap si Cidut, Niki?" tanya Bunda Niki. "Enggak apa-apa, nangis gitu aja kok." jawab Nikita sambil berusaha menghindari bundanya dan melangkah menuju pintu pagar.
"Engga apa-apa, kok nangis histeris begitu?" tanya Bunda Niki lagi sambil merentangkan tangannya menahan Nikita pergi. Nampak tatapan mata Bunda penuh selidik meski tidak mendelik.
"Dianya aja yang cengeng, baru dikelitikan pakai ujung pisau dapur aja nangis."Jawab Nikita langsung kabur. "Hah!" kali ini mata Bunda Nikita  terbuka lebar, bersamaan dengan mulutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H