Akhir-akhir ini banyak yang mempertanyakan "Ke mana Muhammadiyah?". Bagaimana menanggapi pertanyaan ini ? Tergantung dalam konteks apa pertanyaan ini dilontarkan.Â
Dalam aksi menuntut keadilan dalam kasus penistaan agama (Ahok) beberapa waktu yang lalu, ada oknum yang mempertanyakan "Ke mana Muhammadiyah pada waktu aksi 411, 212, dst ?".Â
Kemudian baru-baru ini juga muncul tulisan yang mepertanyakan sikap Muhammadiyah terhadap Peppu Pembubaran Ormas yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Di saat 14 Ormas lain dari berbagai kalangan mendukung disahkannya Perppu untuk membubarkan Ormas radikal, Muhammadiyah justru memunculkan sikap yang seolah kontra terhadap Perppu ini.
Buya Syafi'i (Prof. Dr. Syafi'i Ma'arif) selaku mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah termasuk salah satu yang mempertanyakan sekaligus menyayangkan sikap Muhammadiyah. Sebagai mantan orang nomor satu di Muhammadiyah, jelas pandangannya akan menjadi acuan sekaligus rujukan bagi beberapa orang Muhammadiyah. Namun tidak bagi Muhammadiyah itu sendiri. Karena sikap oknum bukan mewakili sikap organisasi, walaupun sikap tersebut dimunculkan oleh tokoh sekaliber Buya.
Sebaliknya, Amin Rais, Bapak Reformasi sekaligus juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Â menolak keras dikeluarkannya Perppu Ormas ini. Banyak argumen yang beliau ungkapkan untuk menolaknya. Salah satunya yaitu mengancam kebebasan berpendapat, atau lebih luas mengancam demokrasi sebagai salah satu amanat reformasi.
Lebih jauh lagi, mewakili kelompok muda di Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak (Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah) juga menyayangkan adanya Perppu yang ditujukan untuk membubarkan ormas tertentu. Dahnil tidak setuju jika pembubaran ormas dilakukan secara sepihak dari Pemerintah, tetap harus menggunakan cara-cara yang sudah diatur di dalam UU Ormas, yaitu melalui lembaga peradilan.
Muhammadiyah menganut asas kolektif kolegial di dalam menentukan sikap resmi, apalagi merespon kondisi perpolitikan di negeri ini. Dalam konteks ini, Muhammadiyah memang cenderung bersikap 'diam'. Tapi jika disurvey melalui warga maupun tokohnya, saya yakin 100% mayoritas warga  Muhammadiyah akan menolak adanya Perppu Permbubaran Ormas ini. Kenapa bisa yakin ? karena saya salah satu warga Muhammadiyah, hehe...  :D
Sama seperti yang kita tahu, Muhammadiyah merupakan salah satu Ormas tertua di negeri ini. Bahkan lebih tua ketimbang adiknya (jelas lah, namanya juga adik), Nahdlatul Ulama (NU). Karena tua inilah, sikap dewasa Muhammadiyah terlihat lebih tampak. Apalagi jelas dalam khittahnya, Muhammadiyah bukan gerakan politik walaupun tetap acuh dalam persoalan politik. Sebagai ormas yang bergerak secara kultural, Muhammadiyah mencoba bersikap tawasuth,meskipun terkadang 'dianggap' membela kelompok radikal. Namanya juga 'dianggap' pembela kelompok radikal, tentunya yang menganggap ini adalah penentang kelompok radikal.
Terlepas dari anggap-menganggap ini, sikap kehati-hatian Muhammadiyah ini adalah sikap yang sangat dewasa. Bagi orang yang sudah paham dengan Muhammadiyah, dalam konteks pembubaran ormas radikal ini saya kira sikap Muhammadiyah sudah sangat jelas. Muhammadiyah jelas menolak paham yang bertentangan dengan Pancasila, baik itu komunisme, sosialisme, marxisme, lenninisme, sekulerisme, liberalisme, dan isme-isme yang lain yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila. Tapi penolakan terhadap semua ormas berpaham 'isme-isme' itu tadi tidak harus membabi buta sampai dengan dikeluarkannya Perppu Ormas yang dianggap bisa menyebabkan kemunduran demokrasi di negeri ini.
Soal Pancasila, saya kira sudah final bagi Muhammadiyah. Melalui konsep Darul Ahdi Wa Syahadahyang sah digaungkan pada Muktamar 2015 yang lalu, sudah jelas bahwa Muhammadiyah meyakini Pancasila sebagai dasar Negara. Bahkan jika dirunut ke belakang, tokoh-tokoh Muhammadiyah lah yang justeru ikut andil di dalam perumusan Piagam Jakarta, sebagai cikal-bakal Pancasila itu sendiri. Jadi tidak tepatlah sekiranya tuduhan Muhammadiyah berdiri bersama Ormas penentang Pancasila.
Wassalam...