Piagam Madinah sebagai landasan konstitusi negara pertama lahir di Kota Madinah. Rasulullah sendiri selaku "the president", orang nomor satu di Madinah yang memprakarsai lahirnya tata aturan ini. Sebagai landasan konstitusi sebuah Negara, tentunya Piagam Madinah bukanlah tata aturan yang final.
Para ulama dan intelektual muslim selanjutnya mengembangkan keilmuan di bidang tata kelola Negara termasuk konsep-konsep yang berkembang selanjutnya. Salah satu ilmuan muslim, ulama terkemuka pada masa Daulah Abbasiyah, ahli politik beliau yaitu Imam al-Mawardi, atau dengan nama lengkap Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi Asy-Syafii. Beliau menulis karyanya Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Sebagai aktifis politik Islam tentunya kita wajib mengenal dan membaca karya beliau tersebut.
Sebuah anomali, pada masa itu sudah tercipta sebuah mahakarya di bidang tata pemerintahan sebuah negara dan hukum-hukumnya. Padahal pada masa itu ilmu pengetahuan sangat kuat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani, Socrates, Plato dan Aristoteles. Imam al-Mawardi mampu tampil mengedepankan orginalitas pemikirannya. Melahirkan sebuah karya, dasar-dasar ilmu politik itu mencakup berbagai hal, seperti pengangkatan imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, hingga jabatan wali pidana.
Hal ini menujukkan bahwa peradaban Islam pada masa itu sudah demikian majunya. Kemajuan Islam sudah ditampakkan bukan hanya dalam kajian keislaman saja, namun sudah pada kajian bidang politik, sosial, ekonomi, sains, dll.
Yang saya anggap menarik dari tulisan al-Mawardi yaitu tentang mekanisme pengangkat kapala Negara. Al-Mawardi menganggap bahwa mekanisme pengangkatan kepala Negara (Khalifah) bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu dengan musyawarah Ahlul Halli wal Aqdi (perwakilan di parlemen) dan atau ditunjuk oleh Khalifah sebelumnya. Hal ini banyak dilupakan oleh pengkaji ilmu politik kontemporer. Di mana mereka lupa terhadap khazanah islam klasik pada abad ke-X ini.
Gagasan al-Mawardi tentunya bukan hal yang baru. Terutama mengenai mekanisme pengangkat pemimpin apakah melalui Ahlul Halli wal Aqdi atau ditunjuk langsung. Mekanisme ini secara nyata terjadi bahkan ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW. Beliau dipilih langsung oleh masyarakat Islam pada waktu itu. Sedangkan mekanisme Ahlul Halli wal Aqdi digunakan ketika memilih Umar bin Al-Khattab menggantikan Abu Bakar.
Lalu apa relevansinya gagasan al-Mawardi dengan demokrasi ? Demokrasi memang berasal dari Liberalisme Barat. Sebagai sebuah gagasan ideology politik yang baru, tentunya banyak kritik lahir dari pakar politik Islam. Sebagai akademisi tentunya saya tidak mau terjebak pada ranah ideology politik. Melihat pandangan al-Mawardi tentang mekanisme pengangkatan pemimpin, saya rasa tak banyak pertentangan dengan system demokrasi di mana seorang pemimpin bisa dipilih langsung oleh rakyatnya atau melalu parlemen. Lalu di mana letak perbedaannya ?
Mengkaji demokrasi tentunya harus objektif dan ilmiah. Saya memandang bahwa demokrasi hanyalah sebuah ring/wadah pertarungan 'politik identitas' kelompok masyarakat. Memang mayoritas ulama menolak kedaulatan hukum dalam demokrasi, tapi setidaknya kita bisa memanfaatkan demokrasi sebagai sebuah wasilah atau alat untuk meletakkan dasar-dasar syariat islam dalam sebuah negara.
Tak bisa dipungkiri, Hizbut Tahrir sebagai organisasi politik yang begitu concern memperjuangkan politik Islam dengan jargon "tegakkan syariat Islam, dirikan daulah/khilafah islamiyah" justeru tumbuh dan berkembang di negara-negara bersistem demokrasi liberal seperti Indonesia, Amerika, Inggris, dan sulit berkembang di negara kerajaan seperti Arab Saudi dan Malaysia. Maka pesan saya buat kawan-kawan HTI, "berterima kasihlah terhadap Demokrasi"
Salam....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H