Mohon tunggu...
Amrullah Husein
Amrullah Husein Mohon Tunggu... -

Mahasiswa IAIN Raden Intan Lampung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Islam atau Islam Politik?

13 Juli 2017   16:47 Diperbarui: 13 Juli 2017   16:52 3123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Persentuhan ‘Islam’ dengan wilayah ‘politik’ di tanah air telah berlangsung cukup lama. Bahkan sejak Nusantara masih berbentuk kerajaan-kerajaan dengan sistem monarkhi, masa kolonialisme, hingga masa pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan yang bisa disebut dengan era Indonesia modern. Politik secara sederhana adalah ‘ring’ tempat di mana pertarungan kekuasaan untuk merebut pemerintahan.

 Dalam persentuhannya dengan wilayah politik, Islam kadang mencerahkan sejarah dan peradaban atau justru sebaliknya, bisa menggelapkannya. Islam terkadang menjadi kekuatan positif, dan kadang pula menjadi kekuatan negatif; kadang menyuburkan demokratisasi, namun kadang pula menjadi penghambat demokrasi. Islam bisa dekat dengan humanisasi, kadang juga sebaliknya, dehumanisasi.

 Diibaratkan sebuah wajah, Islam adalah satu wajah yang bisa beragam ekspresi. Islam adalah wacana yang (mungkin saja) ‘netral’, tetapi jugan penuh ‘paradoks’, tergantung para penafsir dan pemeluknya. Kata ‘Islam’-nya mungkin satu, tetapi ‘Teks Islam’-Nya bisa sangat beragam, apalagi tafsir dan interpretasinya. Justru karena Islam merupakan wajah yang multi ekspresi, maka yang bisa diidentifikasi secara riil dalam sejarah adalah ekspresi para penafsir dan pemeluk Islam yang berjenis-jenis dan beraneka.

Pragmatisme Partai Islam

Sejak kemerdekaan, rakyat Indonesiatelah melalui beberapa Pemilu, lima di antaranya secara demokratis: pada  1955, 1999, 2004, 2009, dan 2014. Dengan  memperbandingkan kelima Pemilu ini, kita mendapatkan gambaran yang sangat berbeda tentang Islam Indonesia. Alih-alih menjadi makin ideologis, sikap religius-politik muslim Indonesia malah makin pragmatis. Pada empat Pemilu terakhir jelas-jelas menunjukkan bahwa partai-partai politik Islam gagal memperbaiki rapor yang mereka capai pada 1955 (43%). Secara keseluruhan, pada keempat  Pemilu itu, partai-partai Islam hanyameraih kurang dari 20% dari total suara yang diperebutkan.

Kondisi ini direspon oleh PKS sebagai partai – yang selama ini paling konsisten dengan ‘ideologi’-nya – Islam. Renspon ini memunculkan stategi marketing baru demi mendongkrak kembali elektabilitas partai. Salah satunya yaitu dengan mengganti slogan yang awalnya “bersih, peduli dan professional” menjadi “cinta, kerja dan harmoni”. Sepertinya PKS ingin memasukan era baru dalam pengelolaan partainya. Prinsip-prinsip Islam mulai bergeser dengan mamasukkan nilai humanisme dengan harapan bahwa dengan nilai humanisme ini bisa menarik simpati khalayak yang cenderung sudah antipati dan apriori terhadap ideologi Islam.

PKS sudah melakukan terobosan baru yaitu dengan menjadi partai yang terbuka. Penggagas ide evolusi ini adalah Sekjen PKS sendiri - pada waktu itu - yaitu Anis Matta. Hal ini dilakukan dengan harapan besar bisa mendongkrak citra PKS sebagai partai yang inklusif dan demokratis. Terbukti sudah PKS mencalonkan anggota legislatifnya yang beragama Hindu di Bali pada Pemilu 9 April 2014 lalu. Pada pemilu sebelumnya yaitu tahun 2009, PKS sudah memiliki 26 anggota legislatif beragama Kristen yang duduk di DPRD provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Hal ini menunjukkan adanya pergeseran yang demikian signifikan terhadap ideologi partai-partai Islam yang selama ini konsisten ‘menjual’ Islam sebagai ‘brand’ politiknya. Nampak-nampaknya PKS juga sudah berubah, dan sudah mulai ‘menggadaikan’ Islam sebagai ‘komoditas’ politik.

Dalam tingkat wacana, semua partai Islam tampaknya bersepakat untuk memperjuangkan demokrasi dengan cara bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta memberdayakan partisipasi rakyat dalam politik, akan tetapi dalam kenyataannya hingga kini semua wacana itu hanya slogan kosong belaka. Kenyataannya, hingga kini korupsi, kolusi dan nepotisme semakin merajalela, bahkan aktor yang terlibat juga dari unsur partai politik (Islam) itu sendiri. Penegakan hukum masih memprihatinkan, sementara para elit politik yang berperilaku bobrok dan memualkan tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat.

Islam Politik dan Politik Islam

‘Islam’ menjadi sebuah ‘brand’marketing dalam pertarungan politik di Tanah Air parca-reformasi guna meraup suara mayoritas. Munculnya partai-partai Islam yang diharapkan mampu merepresentasikan politik Islam - yang pernah meraih kesuksesan pada Pemilu 1955 – yang santun, demokratis, pro-rakyat, anti kemiskinan, dan anti KKN, nampaknya telah 100% gagal. ‘Brand’atau platform Islam itu nampaknya hanya sebatas realitas semu yang dipertontonkan melalui media, namun jauh dari realitas politik Islam pada tataran teoritis. Wacana politik Islam yang seharusnya juga tidak berbanding lurus dengan perilaku personal partainya (anggota dan simpatisan).

Tentu kita selalu ingat, ketika Cak Nur (alm) merasa risih dengan kehadiran kaum fundamentalis yang berupaya merebut simpati masyarakat dengan menaerapkan atribut Islam sebagai platform partainya, ia mengatakan “Islam Yes, Partai Islam No”. Artinya, rangkaian strategi yang dibuat para punggawa partai itu tidak lain hanya untuk meraup dukungan suara dari masyarakat muslim. Alam pikiran Cak Nur kala itu bukan tidak didasari sesuatu, ia melihat fenomena partai berlabel Islam menggunakan atribut syar’i tanpa dilandasi nilai-nilai moral dan etika. Sesungguhnya, Islam tidak bisa dijadikan sebagai platform partai politik karena tujuannya hanya untuk meraup dukungan massa.

Di sisi lain, Islam politik kerap digunakan untuk berlindung dari jeratan isu yang menerpa partai. Dalam kondisi tertentu, partai ber-‘brand’ Islam tidak segan menggunakan Islam sebagai senjata untuk melawan isu miring yang menerpa partainya, sehingga nilai luhur Islam menjadi tidak dinomorsatukan karena berfokus kepada pemulihan citra. Sebut saja, ketika beredar isu di masyarakat tentang partai berplat ras, golongan, agama, nasionalis, maka atribut Islam menjadi tujuan partai dalam menguasai isu di tengah khalayak.

Di era kenabian, prinsip-prinsip politik Islam sudah diletakan berdasarkan praktiknya. Politik Islam berbeda dengan Islam politik yang cenderung menargetkan citra dan penguasaan massa semata. Politik Islam meletakkan nilai akhlak (etika) atas para pelaku politiknya. Kendati berada di partai bukan Islam sekalipun jika prinsip itu diemban dengan amanah, maka Islam senantiasa hadir. Seperti halnya dalam merumuskan Pancasila, betapa kerasnya tarik-ulur persoalan Islam dan non-Islam. Pada akhirnya, Islam berada di semua golongan, dan menempatkan keumuman (al-’ammah) sebagai tujuan dalam politiknya.

Kelahiran Islam memang untuk merubah keadaan dari tidak baik menjadi baik (mina dzulumati ilaa nuur). Dalam risalah kenabian, Islam lahir mendatangkan kepiawaian politikmya untuk menentang raja-raja yang dzhalim. Konteks kekinian pun memandang Islam sebagai langkah politik kemaslahatan, baik itu ketika memegang kekuasaan atau ketika sebagai oposisi. Seharusnya partai Islam lebih mengedepankan kemaslahatan daripada kekuasaan belaka. Jadi sangat penting untuk diingat, politik Islam terletak pada tujuan maslahat bukan tujuan meraup dukungan massa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun