[caption id="" align="aligncenter" width="544" caption="ilustrasi /kompasiana (kompas.com)"][/caption] Ujian Nasional (UN) dapat dibilang momok yang menakutkan bagi siswa dan para orang tuanya. Tes untuk menentukan kelulusan ini tergambar bagai jagal yang siap mengeksekusi masa depan siswa. Bila berhasil melalui ujian dan mendapat nilai yang melampaui standar minimal, selamat lah masa depannya. Tapi, kalau tidak, apa yang harus di lakukan?
Sistem UN memang sudah beberapa lama menjadi topik yang kontroversial. Berbagai pihak berpendapat bahwa konsep dan penerapan ujian nasional banyak memiliki kekurangan. Metode ini dinilai memiliki banyak sisi negatif dan tidak efektif dalam mengukur tingkat keberhasilan proses belajar. Meskipun begitu, pada kenyataannya sistem ini masih tetap berjalan dan harus dilalui oleh seluruh siswa dalam tingkat nasional.
Setiap tahunnya, para siswa digembleng untuk mempersiapkan diri menghadapi UN. Begitu menginjak tahun terakhir dalam masa sekolah, maka persiapan yang harus dilakukan menjadi semakin keras. Tambahan pelajaran di pagi maupun sore hari, tryout berulang kali, dan belum lagi mengikuti les khusus persiapan UN di lembaga bimbingan belajar lain. Fisik dan mental siswa dikuras habis. Saking besarnya anggapan bahwa UN adalah titik yang sangat penting dalam menentukan masa depan, maka para siswa pun menghadapinya dengan sangat serius.
Pada periode pendidikan tahun lalu, setelah UN terlaksana, maka merebak lah berbagai berita pasca-UN yang tak dapat dianggap remeh. Tidak hanya satu-dua orang siswa yang diberitakan bunuh diri karena tidak lulus UN. Lebih menyedihkan lagi karena ada pula diantaranya yang mengakhiri hidupnya hanya karena rasa takut bila tidak lulus UN.
Berita menyedihkan itu tidak cukup kuat untuk dapat mengubah sistem. Kini UN telah datang lagi dan harus dihadapi jutaan siswa di seluruh negeri. Biar lah sistem tetap berjalan, tapi jangan sampai berita duka turut mengiringi di belakangnya. Tidak lulus UN bukan berarti akhir dari kehidupan. Para siswa dan orang tua hanya harus mengerti bagaimana cara menghadapinya.
Tidak lulus UN bukan berarti seorang anak tidak akan dapat meraih cita-citanya, bukan berarti masa depannya telah kandas begitu saja. Ada beberapa cara yang tersedia bagi para siswa yang tidak lulus, diantaranya adalah mengikuti ujian ulang, mengulang tahun pelajaran, atau mengikuti kejar paket C. Kesemua jalan itu akan mendapatkan hasil yang sama, yakni ijazah kelulusan, nilainya setara dengan ijazah yang didapatkan dari hasil lulus UN. Ijazah tersebut dapat digunakan untuk meneruskan studi, atau melamar pekerjaan. Kemungkinan lain yang dapat ditempuh adalah dengan menempuh pendidikan non-formal. Bila cita-citanya dapat dicapai melalui pendidikan non-formal, maka siswa tidak perlu terlalu memaksakan diri untuk menempuh pendidikan formal. Siswa dan orang tua hanya perlu menggali informasi tentang penyedia pendidikan non-formal yang sesuai dengan keinginan.
Meskipun tersedia alternatif bagi siswa yang tidak lulus UN, namun masalah yang sesungguhnya masih belum terpecahkan: gengsi dan malu. Siswa tentu mendapat tekanan mental, sedih, dan malu karena tidak dapat lulus bersama dengan teman-temannya. Terkadang bahkan orang tua lah yang lebih membebani dengan sikap keras sehingga anak ketakutan akan dimarahi orang tuanya bila tidak lulus. Masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan kesadaran orang tua untuk lebih mengedepankan dan menunjukkan kasih sayang pada anak. Tentu orang tua merasa sedih dan malu bila anak tidak lulus UN, tapi bukankah lebih menyedihkan bila menyaksikan anak mengakhiri hidupnya hanya karena itu?
Orang tua semestinya adalah tokoh yang memegang peranan penting dalam kehidupan anak. Dukungan dari orang tua dapat menjadi pegangan bagi anak dalam menghadapi UN. Ketika siswa akan menjalani ujian, hendaknya orang tua tidak menunjukkan sikap yang keras atau menuntut anak untuk terlalu keras belajar dan mengharuskannya lulus ujian. Orang tua harus dapat menunjukkan sikap tenang dan rasa kasih sayang apa pun yang akan terjadi pada anaknya. Bila telah mendapatkan kejelasan bahwa anak tidak lulus, maka orang tua harus dapat menanamkan kepercayaan diri pada anak bahwa tidak lulus UN bukan berarti dirinya lebih rendah dari orang lain. Kepercayaan diri dapat membuat anak bersikap positif dan tidak tenggelam dalam kegagalan. Selanjutnya orang tua dapat mencari informasi tentang alternatif yang dapat ditempuh melalui komunikasi dengan pihak sekolah, hingga mendapat gambaran yang jelas sebagai jalan keluar agar siswa dapat terus menggapai cita-cita.
Ujian Nasional memang adalah penentu kelulusan siswa dalam menjalani proses belajar di sekolah. Namun UN bukan lah penentu masa depannya. Gagal lulus UN bukan berarti terputusnya cita-cita dan suramnya masa depan. Dukungan dari orang terdekat dapat menjadi jalan terang bagi siswa untuk menerima kegagalan, membuka mata pada alternatif yang tersedia, dan kembali membangkitkan semangat untuk meraih cita-cita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H