Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Musyawarah Nasional Tarjih ke-32: Tentang Peran Pekalongan, Ketokohan KH. Mas Mansur dan Perkembangan Muhammadiyah

22 Februari 2024   15:49 Diperbarui: 22 Februari 2024   15:50 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kongres Muhammadiyah (foto: tarjih.or.id)

Pekalongan kembali dipilih menjadi tuan rumah pelaksanaan agenda ketarjihan Muhammadiyah. Kali ini giliran Musyawarah Nasional Tarih ke-32 tahun 2024 yang akan dilangsungkan tanggal 23-25 Februari 2024 di Pekajangan, Pekalongan. Hal ini mengingatkan warga Muhammadiyah terhadap sejarah kelahiran Majlis Tarjih yang tak bisa dilepaskan dari Pekalongan, dan salah satu tokohnya KH. Mas Mansur.

Secara kelembagaan, Majlis Tarjih atau mungkin Lajnah Tarjih memang belum cukup populer di kalangan umat Islam Indonesia. Bahkan mungkin kalah masyhur dari Bahtsul Masail -nya Nahdlatul Ulama. Mulim di Indonesia mungkin lebih familiar justru dengan beberapa yang menjadi produk keputusan Tarjih Muhammadiyah, misalnya soal penetapan awal Ramadhan dan Syawal yang sering menjadi polemik diskursus tahunan.

Majlis Tarjih adalah lembaga fatwa keagamaan Muhammadiyah yang belum dikenal Muhammadiyah saat kelahirannya di 1912 sampai satu dekade awal. Maklum, Kiai Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah memfokuskan gerakan awal Muhammadiyah ini di bidang pendidikan serta kesejahteraan umum.

Gagasan tentang Majlis Tarjih baru mengemuka saat Kongres Muhammadiyah ke-16 tahun 1927 di Pekalongan, melalui usulan salah satu bintang ulama-cendekia paling bersinar saat itu, yakni KH. Mas Mansur dari Surabaya. Majlis Tarjih dengan demikian lahir sebagai bagian dari respon atas dinamika di internal maupun eksternal Muhammadiyah.

Muhammadiyah yang sedang bertumbuh pesat, menyebar ke berbagai daerah, faktanya belum memiliki semacam lembaga fatwa keagamaan untuk menyikapi soalan-soalan keagamaan yang melahirkan ikhtilaf  atau selisih pandang di tengah-tengah umat atau internal warga Muhammadiyah.

Sementara sumber lain menyebut, tuntutan untuk mendirikan Majlis Tarjih ini juga dipicu masuknya orang-orang beraliran Ahmadiyah ke dalam Muhammadiyah. Karena alasan ini pula, pada 5 Juli 1928 Pengurus Besar Muhammadiyah menerbitkan surat edaran ke seluruh Cabang Muhammadiyah yang melarang menyebarluaskan paham Ahmadiyah. Bahkan bagi yang menolak kebijakan ini dipersilahkan keluar dari Muhammadiyah.

Tahun 1927 itu kemudian ditetapkan sebagai tonggak berdirinya Majlis Tarjih. Kelahiran Majlis Tarjih menguatkan karakter Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang dinamis, yang membuka ruang bagi ijtihad. Pandangan ini sedikit banyak terpengaruh dengan dinamika di negeri-negeri muslim kala itu, di mana gerakan pembaharuan Islam atau Pan Islamisme tengah menjadi tren sebagai respon atas kolonialisme dan modernisme yang dialami dunia Islam. Salah satu poin penting dari paham dan gerakan ini adalah pada pandangan tentang pentingnya dibuka kembali pintu ijtihad yang selama beberapa abad nyaris mandeg.

Dengan latar ini, maka bisa dipahami bahwa gagasan ini muncul pertama kali dari pikiran KH. Mas  Mansur.  Ia adalah gambaran sempurna dari ulama-cendikia ataupun aktivis-cendikia, karena wawasannya yang global. Mas Mansur diketahui merupakan anak seorang pemuka Islam terkenal di Surabaya. Ia pernah nyantri ke Mbah Kholil Bangkalan, berguru ke Kiai Mahfudz Termas di Mekah, lalu menimba ilmu di Al-Azhar Mesir.

Di Mesir inilah Mas Mansur banyak berinteraksi dengan para tokoh dan pemikiran pembaharuan Islam Mesir di awal abad ke-20. Tema-tema tentang pembaharuan pemikiran Islam dan nasionalisme inilah yang membentuk alam pikir Mas Mansur dan mewarnai aktivismenya saat kembali ke Indonesia. Ia mendirikan lembaga diskusi hingga pendidikan bersama KH. Wahab Chasbullah, masuk dan menjadi Penasehat Syarikat Islam pimpinan HOS Cokroaminoto, hingga di tahun 1921 akhirnya aktif di Muhammadiyah.

Masuknya Mas Mansur ini justru semakin mengukuhkan karakter Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan. Jejak kepemimpinannya pun melesat cepat hingga di Muktamar ke-26 di Yogyakarta, Mas Mansur dipilih menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Terpilihnya Mas Mansur ini tak lepas dari gerakan Angkatan Muda Muhammadiyah yang risau dengan perkembangan Muhammadiyah yang terlalu fokus menggarap bidang pendidikan, tetapi kurang memberikan perhatian pada bidang tabligh.

Kepemimpinan KH Mansur ini dianggap relevan dengan kegelisahan Angkatan Muda Muhammadiyah. Dan terbukti, kepemimpinan Mas Mansur juga banyak memberikan terobosan bagi Muhammadiyah, termasuk dalam meneguhkan peran Majlis Tarjih.

Dalam periode yang hampir sama ini, Mas Mansur juga tampil sebagai salah satu tokoh politik muda yang disegani. Ia banyak menginisiasi dan membidani organisasi politik Islam. Sebagai tokoh pergerakan nasional, namanya juga disejajarkan dengan para tokoh utama revolusi kemerdekaan Indonesia. Bersama Sukarno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, Mansur dikenal sebagai tokoh empat serangkai yang disegani Jepang.

Muhammadiyah, Pekalongan dan Majlis Tarjih
Pekalongan dan Muhammadiyah memang sulit dilepaskan pertautannya, baik sebagai entitas wilayah, budaya, dan termasuk keagamaan. Dalam aspek terakhir itu, pun mau tidak mau terdapat perkelindanan dengan kelahiran Majlis Tarjih serta aktivismenya dalam beberapa dekade berikutnya.

Persebaran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam di berbagai daerah di Indonesia memang punya simpul historis dengan Pekalongan. Kiai Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah, lahir dan tumbuh di Yogyakarta yang kental dengan batik, baik sebagai produk budaya yang awalnya hanya lekat dengan kalangan istana dan kaum bangsawan, maupun ketika akhirnya menjadi komoditas ekonomi yang populer.

Sementara di belahan Pantai Utara Jawa, batik juga bertumbuh di Pekalongan. Bahkan Koperasi Batik pertama konon lahir di Pekalongan, yakni Koperasi Pengusaha Batik Setono (KPBS) di tahun 1942, yang peresmiannya dihadiri Bung Hatta.  Selain Setono yang secara administrasi saat ini menjadi bagian dari Kota Pekalongan, ada pula batik Pekajangan Kabupaten Pekalongan. Pekajangan dikenal sebagai basis utama Muhammadiyah, yang pada masa awal banyak dipandegani para pengusaha batik.

Batik juga telah membuat tokoh agama sekaligus pedagang asal Minang, Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau populer dengan AR Sutan Mansur, akhirnya masuk ke Muhammadiyah. Sutan Mansur diketahui adalah murid sekaligus akhirnya menantu Haji Rasul, tokoh agama terkemuka di Sumtara Barat yang juga Ayah dari ulama kharismatik Buya Hamka. Sutan Mansur menikahi Fatimah, kakak Hamka.

Setelah batal melanjutkan pendidikan ke Mesir, Sutan Mansur dan istri memutuskan merantau ke Pekalongan untuk berdagang batik. Di sinilah ia bertemu dengan Kiai Ahmad Dahlan, Ketua Muhammadiyah asal Jogja yang juga berdagang batik dan sering mengisi pengajian di Pekajangan, Pekalongan.

Sutan Mansur akhirnya aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah, dan bahkan ia pula dibantu Haji Rasul dan Hamka yang akhirnya menjadi pintu pembuka dakwah Muhammadiyah di luar Jawa sampai berkembang di tanah Sumatra. Nama Sutan Mansur pun semakin populer di kalangan Muhammadiyah, sampai akhirnya Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Purwokerto menentapkannya menjadi Ketua PB Muhammadiyah ke-6.

Maka bisa dikatakan, batik dan Pekalongan ini telah menjadi simpul penghubung Muhammadiyah dari Yogyakarta ke Pekalongan dan Sumatra. Jadi kalau Pekalongan dianggap sebagai salah satu basis penting persebaran dakwah Muhammadiyah, sepertinya anggapan ini wajar adanya.

Nah, pertautan berikutnya adalah Pekalongan dengan Majlis Tarjih, sebagaimana sudah disinggung sekilas di bagian awal. Setidaknya ada empat peristiwa yang menghubungkan Pekalongan dengan Majlis Tarjih ini. Pertama, Majlis Tarjih digagas dan didirikan di Pekalongan melalui usulan KH. Mas Mansur pada Kongres Muhammadiyah ke-6 tahun 1927.

Kedua, aspek historis ini sepertinya tak terlupakan, sehingga agenda Muktamar Khususi Tarjih di tahun 1960 juga diselenggarakan di Pekalongan. Berikutnya di tahun 1972, Pekalongan kembali menjadi tuan rumah Muktamar Tarjih, tepatnya di Wiradesa. Dan terbaru, Musyawarah Nasional Majis Tarjih ke-32 tahun 2024 juga kembali menjadikan Pekalongan sebagai tuan rumah.

Fakta ini setidaknya menegaskan dua hal. Pertama, sejarah kelahiran dan aktivisme Majlis Tarjih memiliki akar sejarah yang panjang di Pekalongan. Kedua, bagi Muhammadiyah Pekalongan sendiri, Muktamar Majlis Tarjih ke-32 ini mesti dimaknai sebagai momentum untuk meneguhkan kembali peran dan kontribusinya bagi kerja-kerja ketarjihan maupun secara umum bagi kemajuan Persyarikatan Muhammadiyah. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun