Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Aku Jatuh Cinta dengan Pancasila

1 Juni 2021   11:32 Diperbarui: 1 Juni 2021   16:37 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KITA yang menikmati bangku Sekolah Dasar sebelum era reformasi, pastilah menyimpan kenangan indah saat menghapal butir-butir Pancasila, preambule UUD 1945, hingga bahkan nama-nama menteri kabinetnya Pak Harto. Bahwa ingatan itu mungkin saja sekadar hapalan di kepala dan mulut, itu lain hal. Tetapi coba tanyakan hal yang sama ke anak-anak SD saat ini, generasi Z yang begitu lahir mak ceprot mungkin sudah menyanding smartphone, hahaha.

Saya sendiri selain hapal lima sila Pancasila, preambule UUD 1945, hingga nama-nama menteri di era Orde Baru, lebih dari itu sebetulnya pernah memiliki pengalaman yang sedikit heorik (kalau ini subyektif saya sendiri) yang membuat saya begitu bangga dengan konsep nilai-nilai konstitusi Negara kita. Salah satu pengalaman membekas itu adalah saat duduk di bangku SMA.

Saat kelas 1 SMA, saya pernah terlibat perdebatan kecil di dalam kelas. Debat kecil tapi cukup panas. Pun pada awalnya dengan sesama teman sekelas (kelompok kecil) yang tengah mempresentasikan tugas mata pelajaran ekonomi. Saya tak mengingat pasti judul makalahnya, tetapi pembahasannya tentang sistem ekonomi dunia (kalau tidak salah). 

Saat itu, saya bertanya dengan nada menggugat, bahwa ketergantungan Indonesia pada hutang luar negeri, terutama dari lembaga IMF dan World Bank, justru menjadikan Indonesia tidak bisa mandiri. Karena selain APBN akan terus terbebani untuk membayar cicilan hutang berikut bunganya yang tinggi, selalu ada syarat-syarat yang dituntut oleh kreditur menyangkut kebijakan ekonomi Negara yang berhutang. Dan tentu saja syarat-syarat dimaksud mengarah pada liberalisasi ekonomi sebagaimana ideologi ekonomi (dan politik) yang dianut Negara-negara kreditur. Jadi, kenapa tidak untuk memutus ketergantungan itu dengan IMF dan World Bank, begitu pertaanyaan saya.

Singkat cerita, teman-teman yang sedang presentasi tetap kekeh menolak pertanyaan dan pernyataan saya, meski cukup kewalahan menjelaskan alasannya. Saya pun tak mau kalah, terus membantah jawaban mereka. Karena cukup memanas, perdebatan langsung diinterupsi oleh guru pengampu. Dia bahkan ikut memberikan pembelaan terhadap kelompok yang tengah presentasi. 

Saya pun sempat mendebat pendapat sang guru yang dengan absolut menyatakan Indonesia mustahil memutus hubungan dengan IMF dan World Bank, karena sistem ekonomi dunia memang seperti itu. 

Sayangnya sanggahan saya yang seorang diri itu disudahi oleh sang guru secara adat, akhirnya perdebatan dan diskusi pun berakhir. Meski pergolakan batin saya justru mendidih. Saya meyakini, setidaknya saat itu (tahun 1998), tatanan ekonomi dunia yang berpaham liberal kapitalistik itu alih-alih membantu Negara berkembang, justru menghalangi Negara itu untuk maju dan mandiri.

Inti yang menjadi kekuatan utama ekonomi Pancasila disebutnya tercermin dalam Pasal 33 UUD 1945 yang ekspresi pendukungnya bisa dilihat juga pada Pasal 27, Pasal 31, dan Pasal 34 UUD 45. Ada baiknya penulis uraikan sedikit memori pengetahuan yang membuat saya mengagumi Pancasila dan UUD 1945 sejak kelas VI SD.

Pertama, secara prinsip dasar konsep dasar ekonomi Pancasila adalah senafas dengan nilai-nilai ekonomi Islam. Bahkan, bolehlah disebut bahwa ruh dari ekonomi Pancasila adalah nilai-nilai Islam. Pertama, tentu mempertimbangkan fakta bahwa para penyusunnya sebagian besar adalah tokoh Islam dan berlatar belakang ulama-cendikia, seperti ada dalam diri Moh Hatta, H Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan lainnya. Jadi, kalau ada pertanyaan yang menghadapkan Pancasila dengaan Islam secara oposisi biner, saya malah bingung.

Yang kedua, prinsip dasar ekonomi Pancasila cenderung bersifat ekletik yang berpijak pada prinsip dasar Islam yang moderat (wasathan). Tidak heran, semangat ekonomi Pancasila adalah beyond capitalism and socialism. Sederhananya, kalau ekonomi kapitalisme berpijak pada kekuatan individualisme, persaingan dan liberalisasi pasar, privatisasi, dan sejenisnya, sedangkan sosialisme/komunisme mentahbiskan peran Negara dengan semangat awal menyetarakan kepemilikan atas faktor-faktor produksi, di mana sebagian besar dimiliki dan dikelola oleh Negara, serta pembatasan maksimal atas kepemilikan individu atas faktor-faktor produksi.

Kapitalisme yang mengandaikan persaingan sebagai mekanisme untuk pemenuhan permintaan dan penawaran,  akan mendorong individu atau swasta terus berkembang, kreativitas dan inovasi juga bertumbuh. Namun demikian, persaingan bebas juga menunjukkan watak kapitalisme yang tamak, hanya peduli dengan penumpukan modal dan keuntungan, sehingga berpotensi melahirkan eksploitasi kepada kaum lemah maupun terhadap lingkungan. 

Di sisi lain, sosialisme menawarkan kesetaraan dalam penguasaan faktor-faktor produksi, serta terjaminnya pemenuhan kebutuhan atas pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya, karena semua diatur oleh Negara. Tetapi kelemahan sistem ini adalah karena menafikkan aspek fitrah manusia dalam hal kepemilikan dan bersaing, sehingga kreativitas dan inovasi pun berpotensi terbatasi.

Sementara ekonomi Pancasila sebagaimana juga ekonomi Islam berpijak pada pandangan bahwa hak individu tetap diakui, tetapi ada pengendalian terhadap apa yang boleh dan tidak boleh dimiliki. Pada aspek inilah Negara hadir untuk tidak hanya berfungsi sebagai regulator semata, melainkan juga menguasai cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk kepentingan terpenuhinya kebutuhan rakyatnya.

Hak individual pada dasarnya sesuai fitrah penciptaan manusia yang dianugerahi akal dan hak otonom untuk menentukan nasibnya sendiri. Persaingan antar individu juga melahirkan kreativitas. 

Namun demikian, sistem kapitalisme  mengabaikan fakta bahwa sumber daya yang dimiliki setiap individu atau bahkan Negara di arena pasar bebas tidaklah sama, sehingga prinsip keadilan berpotensi dilanggar. Bagaimana mungkin misalnya, Negara-negara Afrika akan bisa bersaing secara adil dengan Negara-negara/masyarakat Amerika Utara yang jauh lebih maju. Dalam konteks ini, Negara harus hadir dan memberpihaki yang lemah.

Soal kepemilikan, tidak mungkin semuanya, termasuk sumber daya alam vital dikuasai pribadi atau swasta. Maka Negara mengendalikan dengan berpijak pada prinsip dasar sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Coba simak bunyi Pasal 33 Ayat 2, "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara". Lalu pada Ayat 3, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Prinsip ekonomi nasional ini adalah hasil pemikiran Bung Hatta, seorang pemikir yang juga ulama.

Tidak diperkenankannya individu atau privat group untuk menguasai cabang-cabang produksi vital ini senafas dengan sebuah hadits; "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Bahwa energi-energi vital yang yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak diperbolehkan untuk dikuasai individu atau swasta.  Dalam alam modern, padang rumput bisa saja berwujud produksi pangan, lalu air yang menjadi hajat dasar manusia, dan api adalah energi minyak, gas, listrik, uranium dan sejenisnya.

Sistem ekonomi Pancasila yang berprinsip ekletik juga tidak bisa dilepaskan dari konteks zaman di masa-masa formatif keIndonesiaan, di mana Negara-negara penganut sistem kapitalisme liberal tengah bersaing dengan para penganut sistem sosialisme/komunisme. Artinya, secara prinsip ekonomi Pancasila sebetulnya sangat ideal, meski pada implementasinya ekonomi Indonesia tampak lebih condong pada kapitalisme. Salah satu indikatornya adalah jerat hutang yang masih melilit Indonesia sejak Orde Baru sampai saat ini.

Tetapi apapun itu, sebagai anak bangsa saya tetaplah bangga dengan bagaimana para founding fathers dulu merumuskan dasar-dasar haluan bernegara. Mereka memandang jauh ke depan (visioner), tetapi sekaligus berpijak pada khazanah masa lalu yang kaya. Selamat Hari Lahir Pancasila, selamat menghayati kenangan tentang ideologa bangsa. []

________

Disadur dan edit kembali dari buku "Lawan Minder Raih Sukses"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun